Kanal

Stadion Kanjuruhan, Sayyidina Ali, Keberanian dan Kesia-siaan

Sahabat dan menantu Nabi SAW, Sayidina Ali bin Abi Thalib, menyebut sumber kekuatan itu ”Al-Ghawga”, gerombolan manusia. Dalam bahasa modern, Gustave Le Bon menyebutnya crowd, massa, yang saat berkumpul padu, apalagi manakala di dalamnya hidup dan dihidup-hidupkan aneka serapah dan keyakinan toxic, kadar kemanusiaan mereka umumnya turun ke derajat yang lebih bawah.   Al Ghawgha, kata Ali, sebenarnya kumpulan massa manusia biasa yang normal. Kekuatan ‘misterius’lah yang menjadikannya abnormal.  

Oleh: Darmawan Sepriyossa

Ke depan, bila masyarakat dunia membicarakan kegilaan sepak bola, mereka tak akan lagi menunjuk Stadion Heysel di Brussel, Belgia, yang selama ini diingat publik sebagai contoh anomalinya sepak bola. Telunjuk dan mata dunia akan terarah ke kota sejuk di kaki Gunung Arjuna, Malang, yang kemarin tak kuasa menahan gelegak panasnya darah para suporter. Lalu kita tahu, 127 nyawa melayang, entah untuk apa.

Benar, tragedi Kanjuruhan bukan yang terbesar. Ada musibah berupa kematian 328 orang di Stadion Nasional Lima, Peru, pada pertandingan  antara tim nasional Peru vs Argentina untuk kualifikasi Olimpiade Musim Panas, 24 Mei 1964. Tercatat 500 orang lebih cedera, tergolek di bangsal-bangsal rumah sakit. Hanya berbeda satu korban jiwa dengan angka terakhir yang dicatatkan Kanjuruhan kemarin, 126 nyawa juga memang meregang dan putus di Stadion Nasional Acra, Ghana, 9 Mei 2001.

“Kita hanya yang kedua,”kata mereka yang tergoda mencari-cari alasan. Lupa bahwa bahkan satu kematian pun hakikatnya memutus sekian simpul pertalian kasih dengan begitu banyak manusia lain yang masih hidup. Apalagi,“…bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia…” seperti ditegaskan Allah SWT dalam Quran surat Al-Maidah ayat 32. Ini ratusan manusia, dalam momen-momen yang bahkan seharusnya sepenuhnya waktu untuk bergembira!

Karena itu, seringkali terbersit di kepala, apa yang membuat orang begitu gigihnya membela sebuah kesebelasan sepak bola, mensucikannya dengan niscaya dan dengan keberanian sebulat-bulatnya (seolah) mau berkorban jiwa buat dia? Melihat keberingasan supporter sepakbola pada momen-momen lain sebagai misal, wajar orang berpikir mungkin rasa takut itu hanya muncul sekilas di momen-momen akhir kehidupan sebelum nyalanya padam. Sebelum meninggal.

Sahabat dan menantu Nabi SAW, Sayidina Ali bin Abi Thalib, menyebut sumber kekuatan itu ”Al-Ghawga”, gerombolan manusia. Dalam bahasa modern, Gustave Le Bon menyebutnya crowd, massa, yang saat berkumpul padu, apalagi manakala di dalamnya hidup dan dihidup-hidupkan aneka serapah dan keyakinan toxic, kadar kemanusiaan mereka umumnya turun ke derajat yang lebih bawah. Al Ghawgha, kata Ali, sebenarnya kumpulan massa manusia biasa yang normal. Kekuatan ‘misterius’lah yang menjadikannya abnormal.

Kekuatan misterius itu bisa bermacam-macam, tetapi yang paling sering adalah kekecewaan-kekecewaan pribadi yang lama terpendam. Mungkin karena putus dengan pacar, merasa gagal dalam hidup, ekonomi yang mencekik, pengangguran , harga-harga naik sementara gaji bertahun-tahun tak beranjak, bisa menjadi sekian banyak alasan. Bisa rasional, artinya ia sangat terdampak, atau boleh jadi pula tidak.

Saat berkumpul sebagai massa, kekecewaan itu meledak dengan daya rusak yang kadang tak terpikirkan sebelumnya. Lalu di sini kita melihat tak jarang dalam demonstrasi kantor-kantor pemerintahan dibakar, jalan tol ditutup, aparat pemerintah pun dipandang tanpa harga. Anarkisme kemudian tumbuh, mengakar, bertunas.

Dalam konteks inilah, Eric Hoffer dalam “The True Believer” bisa cukup menjelaskan. Kata Hoffer, mereka yang berpotensi bergabung dalam gerakan massa, akan dengan penuh kerelaan mengorbankan diri demi mencapai harapan yang berapi-api tentang ‘masa depan’. Mungkin pula, ‘masa depan’ itu begitu dekatnya. Misalnya, keinginan melihat pos-pos polisi—yang dalam demo seringkali dianggap para pendemo sebagai ‘musuh’—dirusak. Kata Hoffer, mereka yang berpotensi bergabung dengan gerakan massa, menjadi ‘hanya’ massa alias Al-Ghawga itu, umumnya mereka yang merasa hidupnya sia-sia.

Barangkali, seperti juga yang terjadi di Stadion Heysel, mungkin pada saatnya sebuah monumen akan dibangun di Kanjuruhan. Mungkin pula, laiknya tugu peringatan Tragedi Heysel yang dihiasi sebuah puisi penyair Inggris, W.H Auden, “Funeral Blues”, kuplet puisi yang bernas akan menjadi penghias. Belum lagi 127 lampu—alih-alih ‘hanya’ 39 yang ada di Heysel sebagai pengingat jumlah korban.

Namun jangan lupa, mengikuti jejak solusi untuk Tragedi Heysel, barangkali kita pun sudah sepatutnya melakukan pengucilan pada klub-klub yang tak bisa membina fans dan pendukung fanatiknya. Harus ada sanksi yang ditanggung bersama klub dan suporter. Tanpa itu, kita akan terus membiarkan sekian nyawa melayang sia-sia.

Kullu nafsin żā`iqatul-mat,”firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 57. “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.” Kematian, akhirnya sebuah keniscayaan. Hanya satu solusinya, hadapilah dengan berani.

Namun kematian, menurut Syeikh Ibn Al-Qayyim AlJauziyah dalam Madarij As-Salikin, sebuah kitab tiga jilid dan khusus menafsirkan ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nastain”, adalah proses penyucian, menjadikan manusia suci sebelum menghadap Ilahi. Maka kita pun harus berupaya sungguh-sungguh untuk mengadapi penyucian itu dengan cara yang patut. Allahu álam. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button