News

Manuver Buzzer dan Operasi Tentara Bayaran Jagat Maya Menjegal Anies

Buzzer atau pendengung kian menjadi ancaman serius bagi demokrasi yang tengah merosot di negeri ini. Memanfaatkan ruang siber yang tanpa batas, para pendengung itu merekayasa informasi serta memanipulasi opini publik demi kepentingan. Berkedok kebebasan berekspresi, mereka tak segan mengumbar fitnah untuk menyerang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden.

Hasil penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) beberapa waktu lalu mengkonfirmasi keberadaan buzzer yang mendapat order dari lingkaran pejabat pemerintah dan elite politik lain. Bekerja demi uang, tentara bayaran dunia maya itu bekerja secara terorganisasi untuk memanipulasi opini publik. Mereka direkrut para koordinator untuk berkomplot dengan pembuat konten dan sejumlah influencer (pemengaruh) di media sosial.

Di ruang jagat maya, para pendengung tak pernah berhenti untuk berusaha menenggelamkan narasi positif Gubernur Anies yang akan purnatugas pada besok 16 Oktober 2022. Selain kalangan politikus, individu, dan akun-akun anonim juga rajin menyebarluaskan kebohongan Anies di Ibu Kota.

Para buzzer baru ini kembali menggarap isu-isu yang kental jadi bahan serangan politik, seperti banjir Jakarta dan kebijakan Anies lainnya, misalnya, para pendengung menghasut warganet bahwa Program sumur resapan yang dijalankan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah gagal mengatasi kebanjiran di Jakarta.

Akun-akun pemengaruh seperti Denny Siregar kerap aktif seperti yang dilakukannya baru ini dengan menyebarkan foto hasil editan di mana ada bus yang nyungsep atau kecelakaan namun dibuat seakan-akan itu adalah bus relawan Anies Baswedan.

“Belum apa-apa udah bikin sial,” cuit Denny di akun twitternya dalam postingan foto hoax tersebut, dikutip Jumat (14/10/22).

Namun akun @ARSIPAJA menemukan temuan rupanya foto serta klaim yang dipaparkan oleh Denny adalah keliru hingga ia akhirnya menghapusnya. Begitulah cara buzzer bekerja.

Denny Siregar produsen hoax nomor 1. pic.twitter.com/5qsi667yEJ

— Jejak digital. (@ARSIPAJA) October 13, 2022

Pendengung politik merajalela karena aparat hukum melindungi mereka. Aparat begitu gandrung memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengkriminalkan pengkritik pemerintah. Namun undang-undang tersebut tak pernah dipakai untuk menjerat buzzer yang merusak, memfitnah, dan menyerang kehidupan pribadi (doxing) pengkritik penguasa.

Strategi untuk Politik 2024

Pengamat Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) dari ICT Institute Heru Sutadi mengatakan kasus pendiskreditan digital utama terkait kasus Anies Baswedan dimulai oleh pasukan buzzer atau influencer politik.

Menurut Heru, buzzer yang terus menyerang tersebut merupakan strategi awal untuk menjegal Anies dalam perhelatan politik di 2024.

Modus operasi para buzzer ini dilakukan dengan cara membentuk opini bahwa apa pun pendapat dan perbuatan Anies itu salah.

“Meski masih 1,5 tahun lagi, memang Pemilu dan Pilpres 2024 sudah terlihat panas. Para kandidat yang sudah mulai digadang-gadang, harus berhadapan dengan netizen dan para buzzer yang kontra, meski yang pro juga terus menggaungkan keberhasilan dan kiprah kandidat dimaksud,” kata Heru saat dihubungi inilah.com, Jumat (14/10/2022).

Terkait serangan-serangan tentara bayaran dunia maya, Heru mengatakan buzzer akan menyerang media atau siapa pun, sesuai dengan pesanan.

“Bisa dikampanyekan dengan fitnah bahwa media atau orang yang mendukung dianggap dibayar, Pro ISIS, radikal, anti toleransi, kadrun, dan sebagainya,” kata Heru.

Heru mengatakan praktik ini sesungguhnya tidak sehat. Pasalnya para buzzer seolah merupakan suara publik yang asli, padahal isu yang mereka gaungkan adalah isu pesanan.

Alhasil Twitter yang seharusnya menghasilkan suara publik yang alami, seolah menjadi panggung sandiwara yang dikendalikan oleh buzzer ini.

Capres potensial

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga, mengatakan, Anies Rasyid Baswedan merupakan satu-satunya calon presiden (capres) potensial di luar lingkar kekuasaan Istana Kepresidenan. Hal itu dapat dilihat dari hasil berbagai survei lembaga kredibel yang menempatkannya selalu di urutan tiga besar.

“Anies bersama Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo selalu bergantian menempati elektabilitas urutan pertama. Dari tiga nama tersebut memang Anies yang berada di luar lingkar kekuasaan Istana. Sementara Prabowo dan Ganjar merupakan bagian dari lingkar kekuasaan Istana,” kata Jamiluddin dalam keterangannya.

Dia menyebut, Anies juga capres potensial dari kelompok yang selama ini berseberangan dengan kebijakan Istana. Bahkan, kata dia, tidak berlebihan Anies dianggap capres dari para oposan. Menurut Jamiluddin, wajar apabila Anies kerap mendapat serangan dari buzzer. Para buzzer pun secara konsisten berupaya menafikan kinerja Anies dan menjatuhkan kredibilitas eks rektor Universitas Paramadina tersebut.

“Anies kerap digambarkan gubernur yang tidak tahu kerja. Para buzzer tidak pernah mau mengakui prestasi Anies baik nasional dan internasional,” kata Jamiluddin.

Dia menyebut, pola yang digunakan buzzer itu bertujuan untuk memberi image buruk terhadap Anies. Jamiluddin menganalisis, kerja buzzer membuat Anies terlihat gagal dan menyampaikan informasi negatif secara terus-menerus kepada masyarakat agar lapisan bawah percaya.

“Semua itu bertujuan untuk menggagalkan Anies sebagai capres. Anies di-framing sebagai sosok yang tak pantas menjadi capres,” kata Jamiluddin.

Meski dihajar dengan kampanye hitam, dan fitnah. Sedikit pun tidak tampak rasa kesal atau marah yang pernah ditampakkan Anies atas ulah buzzer. Anies memahami fenomena yang ada.

“Saya tidak takut dihujat di medsos. Yang saya takutkan adalah apa yang kelak di tulis sejarawan tentang saya, karena mereka menulis dengan data,” ucap Anies pada satu kesempatan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button