Kanal

Stempel Riba Mengusik Layanan Paylater yang Lagi Booming

Transaksi berskema bayar tunda atau ‘buy now pay later’ terutama pada e-commerce banyak digandrungi masyarakat untuk membeli barang. Perbankan pun ikut berlomba-lomba menyediakan layanan ini. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyatakan metode paylater atau sistem bayar kemudian adalah haram.

Layanan paylater memberi kemudahan serta keuntungan bagi konsumen saat bertransaksi online. Apalagi jika ada kebutuhan mendesak padahal sedang tidak memiliki dana. Transaksi menggunakan layanan ini juga dapat menawarkan banyak keuntungan, mulai dari diskon harga hingga bebas ongkos kirim (ongkir). Prosesnya juga bisa berlangsung cepat dan mudah.

Indonesian E-Commerce Consumer Behavior mengungkapkan laporan per Juni 2022 berdasarkan survei yang dilakukan pada Maret 2022, sebanyak 38 persen konsumen mengaku menggunakan paylater saat berbelanja di platform e-commerce selama setahun terakhir. Porsi ini meningkat dibandingkan tahun lalu, yang mencapai 28 persen.

E-wallet atau dompet digital sejauh ini masih mendominasi pembayaran di perdagangan online. Sebanyak 79 persen konsumen menjatuhkan pilihanya ke layanan ini, meningkat dari posisi 69 persen pada 2021.

Pesatnya laju pertumbuhan paylater juga diikuti dengan jumlah frekuensinya. Masih dalam survei yang sama, lebih dari satu kali selama sebulan sebanyak 27 persen konsumen memilih menggunakan paylater, naik dari frekuensi tahun 2021 yang sebesar 23 persen. Tak cuma di Indonesia, pertumbuhan skema pembayaran yang jamak ditawarkan oleh perusahaan financial technology (fintech) ini juga terjadi secara global.

Sementara Laporan Global Payments Report yang dirilis oleh FIS, penyedia perangkat lunak teknologi keuangan yang berbasis di Amerika Serikat, mencatat paylater masuk dalam 5 besar metode pembayaran pilihan konsumen setelah e-wallet, kartu kredit, kartu debit, dan transfer bank.

FIS juga menyebutkan bahwa paylater menyumbang 2,9 persen dari total transaksi e-commerce secara global pada 2021. Angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi 5,3 persen pada 2025.

Sementara itu, laporan International Data Corporation (IDC) bertajuk How Southeast Asia Buys and Pays: Driving New Business Value for Merchants mengungkapkan penggunaan layanan bayar tunda pada transaksi e-commerce di Indonesia tahun 2020, mencapai US$530 juta.

“Angka ini setara dengan 58 persen dari total penggunaan paylater pada transaksi e-commerce di Asia Tenggara sebesar US$910 juta pada 2020,” tulis laporan tersebut.

IDC juga memproyeksikan nilai penggunaan paylater dalam transaksi e-commerce di Asia Tenggara bakal mencapai US$8,84 miliar pada 2025 atau naik 8,8 kali dibandingkan 2020. Nilai yang cukup menggiurkan bagi perbankan untuk masuk ke bisnis tersebut.

Mengandung Unsur Riba

Namun pertumbuhan paylater bisa terganjal. MUI Jatim memberikan stempel haram. Ketua Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, Jumat (29/7/2022) menyebutkan layanan ini sebagai mengandung unsur riba. Keputusan tersebut berdasarkan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Jatim yang digelar baru ini.

MUI Jatim menilai paylater mirip dengan mengutang di perusahaan pembiayaan atau leasing dengan bunga sekitar 2 persen dan denda sekitar 1 persen kalau ada keterlambatan pembayaran. Hal seperti itu secara fiqih tidak dibenarkan. “Tetapi, ada pengecualian kepada paylater yang tempo pembayarannya kurang dari satu bulan dan tidak mengenakan bunga,” kata Ma’ruf Khozin.

Ia juga menjelaskan bahwa paylater mengandung unsur riba atau secara bahasa berarti ziyadah atau tambahan yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumen. Namun, berbeda dengan kredit yang harus memenuhi kesepakatan terlebih dahulu antara penjual dan pembeli untuk nominalnya kemudian baru dilakukan akad.

“Paylater tergolong sesuatu yang tidak diperbolehkan. Apalagi, di paylater itu akan ada debt collector, kemudian akan ada yang mengumumkan. Ini akan sama dengan pinjaman online (pinjol),” sambungnya.

Bank Ikut Tawarkan Paylater

Di Indonesia, paylater difasilitasi beberapa lembaga jasa keuangan seperti bank, lembaga pembiayaan atau Fintech Peer-to-Peer Lending. Beberapa contoh layanan paylater adalah Traveloka Paylater, GoPayLater, Kredivo PayLater, ShopeePayLater, dan sebagainya.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), paylater adalah istilah pada transaksi pembiayaan barang atau jasa. Institusi penyedia layanan akan memberikan dana talangan kepada peminjam untuk membayar transaksi barang atau jasa yang dibutuhkan.

Kini perbankan juga ikut menyediakan layanan paylater. Hal ini mengingat pertumbuhan pengguna layanan ini semakin meningkat karena memudahkan bagi masyarakat. Beberapa perbankan nasional berharap berkah dari layanan ini. Fleksibilitas pembayaran jadi faktor utama mengapa konsumen tertarik menggunakan layanan ini.

PT Bank Mandiri merencanakan pada kuartal III-2022 superapp miliknya yakni Livin’ by Mandiri nantinya juga dilengkapi dengan pinjaman bisnis ke konsumen (B2C) dan paylater. Rencana peluncuran sejumlah fitur tersebut bakal bertepatan dengan perayaan tahunan atau anniversary dari Livin’ pada Oktober 2021.

PT Bank CIMB Niaga juga berencana merilis layanan paylater meski beberapa waktu lalu telah meluncurkan kartu kredit digital. Produk baru ini merupakan hasil kolaborasi tiga principal, yakni JCB, Mastercard, dan Visa.

Bank lain juga tengah siap-siap memberilan layanan paylater terhadap nasabahnya. Saat ini perbankan sebenarnya sudah memiliki layanan kartu kredit yang memberikan fasilitas mirip paylater dengan tempo pembayaran yang fleksibel. Namun, kredit tetap harus mematuhi aturan minimum pendapatan dan maksimum limit kredit yang dapat diberikan sesuai dengan regulasi dari Bank Indonesia.

Akankah fatwa MUI Jatim ini berpengaruh terhadap perkembangan layanan paylater ini? Padahal pemberi layanan ini termasuk perbankan yang ikut menyalakan mesin uang baru bernama paylater ini berharap mendapat berkah dari bisnis ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button