Di Syprus, negeri yang masih underhand Turkiye, banyak gereja yang sudah berubah fungsi jadi masjid, namun instrumennya tak berubah, bahkan patung Bunda Maria masih terpajang di depannya, tapi kami umat Islam salat Jumat di situ.
Ada beberapa gereja yang sudah dijual oleh mantan jemaatnya, yang sudah masuk Islam, mengubah fungsi gereja jadi masjid untuk mereka, salat 5 waktu. Suara azan sengaja dibuat sekali saja, yang direlai dari satu tempat, sehingga terkesan hanya ada satu mesjid yang melantunkan azan. Cuma, iqomahnya masing-masing dan tak pakai mikrofon.
Untuk membuat shaf, letakkan kompas, baru pasang alas atau sajadah untuk salat. Selesai salat, langsung dibereskan seperti semula, seakan tak ada perubahan pada gereja tersebut. Untuk menjaga toleransi. Tidak seperti di tempat kita, Indonesia, “perang azan antarmasjid”.
Karena dijuluki negeri sejuta masjid.
Bukan Budaya, tapi Syariat
Seruan azan bukan lagu dan syair, bukan seni budaya, bukan pula segala macam narasi yang disenandungkan oleh manusia. Tapi, panggilan yang Maha Memanggil, yang Maha Menciptakan seluruh jagat, tujuh lapis langit dan bumi, manusia dan Jin.
Dalam hadis disebutkan, “Barang siapa mendengar panggilan, tapi tak menghentikan kegiatannya untuk ikut panggilan, itu, maka salat yang dijerjakannya tak diterima”.
Dalam hadis, saat mendengarkan azan, maka umat muslim disunnahkan untuk diam, menyimak, menjawab azan, dan membaca doa setelah azan. Bahkan ketika sedang membaca ayat-ayat Alquran, disunnahkan untuk berhenti sejenak dan mendengarkan azan. Jadi azan itu disuarakan dengan lantang, maksudnya agar semua orang mendengar. Jadi, tak bisa diganti dengan teks, tulisan, atau sejenisnya.
Sebagaimana diriwayatkan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri:
إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
Jika kamu mendengar panggilan, maka jawablah seperi apa yang diucapkan muazin. Ini jelas, “Jika kamu mendengar”, bukan “Jika kamu membaca teks”.
Asbabun nuzul surat Al Kafirun adalah tanggapan kehadiran beberapa tokoh kaum musyrik kepada Rasulullah SAW, yang berkompromi tidak menghina tuhan-tuhan mereka. Di samping itu, mereka menawarkan kepada Nabi Muhammad SWA supaya menyembah kepercayaan kaum musyrikin selama setahun.
Surah Al-Kafirun memiliki keutamaan yang besar apabila dibaca seorang muslim. Ketika surah tersebut dilantunkan sekali, pahalanya setara dengan mengkhatamkan seperempat Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Thabrani dan Abu Ya’la, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut:
“Qul huwallahu ahad [Al-Ikhlas] menyamai sepertiga Al-Quran dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun [Al-Kafirun] menyamai seperempat Al-Quran. Beliau [Rasulullah Saw.] membaca kedua surat itu dalam dua rakaat fajar,” (H.R. Thabrani dan Abu Ya’la).
Jalaludin As-Suyuthi, seorang ulama sekaligus cendekiawan muslim asal Mesir abad ke-15 dalam kitab Asbabun Nuzul menjelaskan, Asbabun Nuzul turunnya Surah Al-Kafirun adalah tanggapan kehadiran beberapa tokoh kaum musyrikin yang meminta kompromi menyangkut kepercayaan dan agama kepada Muhammad.
Imam Thabrani dan Ibnu Abi Hatim menjelaskan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa kaum musyrikin bersedia memberikan harta berlimpah dan wanita yang disukai apabila Nabi Muhammad SAW tidak mengolok-olok kepercayaan mereka.
Buku Menyelami Makna Kewahyuan Kitab Suci (2009) karangan Mahmud Arif menjelaskan, tokoh kaum Quraisy meliputi Umayyah bin Khalaf, Al-Walid bin Mughirah, dan Aswad bin Abdul Muthalib pada waktu itu juga menegosiasikan supaya Nabi Muhammad SAW menyembah tuhan mereka.
Kaum musyrik menyeru mau menyembah tuhan umat Islam, apabila Nabi Muhammad SAW bersedia mempercayai sesembahan mereka.
Dalam kitabTafsir Al-Jalalain (1997), Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi menuliskan, orang kafir meminta Rasulullah SAW menyembah berhala mereka selama setahun.
Dalam keadaan di atas, turunlah Surah Al-Kafirun sebagai penegas bahwa Muhammad SAW dan pengikutnya tidak akan menyembah tuhan selain Allah SWT. Di samping itu, Surah Al-Kafirun membawa makna kerukunan dan toleransi beragama, selagi tidak mencampuri urusan akidah dan tauhid.
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ ١ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Artinya: “Katakanlah [Nabi Muhammad], ‘Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah. Aku juga tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tidak pernah [pula] menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun 1-6).
Hanya Islam
Seorang cendikiawan muslim, Budi Putrawijaya, SH, LLM, MKn bertanya, “Bagaimana pendapat ustaz mengenai perkara ini? Apakah dibenarkan umat Kristen, Katolik khususnya melakukan acara di masjid negara (Istiqlal) kebanggaan umat islam. Maklum ustaz saya dan kawan-kawan kurang ilmu dan mereka suka memposting hal-hal yang menimbulkan perkara yang Allah benci di grup, terutama masalah politik. Mohon penjelasannya ustaz.”
Saya jawab realistis saja. Itu kerjanya orang-orang Islam Liberal, yang chasing Islam, tapi merusak Islam dari dalam, saya sudah menulis buku Sorotan Al Quran dan As Sunnah terhadap Islam Liberal, ditahqiq oleh Sekjen MUI pusat, Drs. Ikhwan Sjam Rahimahullah, dibedah di Universiti Islam Anrar Bangsa (UIA) Malaysia, dan dijadikan salah satu referensi oleh Mufti Malaysia, untuk menghempang pemikiran Islam Liberal di Malaysia.
Alhamdulillah, Malaysia menutup pintu dari gerakan Islam Liberal, sayangnya Indonesia dibiarkan dan sudah masuk ke seluruh lapisan, pemerintah dan swasta, termasuk sekolah dan pesantren. What next ? We are in waiting.
Firman Allah berbunyi : اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran 19).
Menurut Ibnu Katsir, ini, bahwa agama yang diterima Allah SWT di sisi-Nya hanyalah Islam. Islam di sini yang diajarkan tiap-tiap rasul yang diutus-Nya hingga terakhir dibawa Nabi Muhammad SAW. Dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW, jalan menuju Allah SWT hanya datang darinya.
Maka barangsiapa wafat setelah diutusnya Rasulullah Muhammad SAW dalam keadaan menganut agama selain Islam, tidak akan diterima Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman Allah:
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tak akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS Ali Imran 85).
Tafsir Tahlili Kementerian Agama RI (Kemenag) juga menjelaskan maksud ayat “Innaddina indallahil Islam” adalah, agama yang diakui dan sah di sisi-Nya hanyalah Islam, yakni agama tauhid yang mengesakan Allah SWT.
Islam tak terbatas pada risalah Nabi Muhammad SAW saja, tapi juga apa yang dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya. Sebab hakikatnya, inti semua agama dan syariat yang datang dari para utusan Allah SWT adalah Islam.
Karena ajaran para Nabi terdahulu juga mengajak untuk tunduk dan berserah diri kepada-Nya, meski beberapa kewajiban yang ditetapkan dalam syariat ada perbedaan, sesuai keadaan dan zaman.
Menurut ulama Asy-Sya’rawi, dikutip dari Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab, kata Islam untuk ajaran rasul sebelumnya merupakan sifat. Sementara untuk Nabi Muhammad SAW, Islam menjadi tanda dan nama bagi agama umatnya. Karena Allah SWT tak lagi menurunkan agama setelah datangnya Rasulullah Muhammad SAW.
Membesarkan Allah
Kembali ke topik masalah, suara azan adalah syariat yang merupakan rangkaian salat lima waktu itu sendiri. Tak bisa diganti dengan tulisan dan isyarat lain. Bukan sekadar tanda masuknya waktu salat, tapi lebih pada kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tak ada satu kekuatan apapun yang boleh mengubahnya. Karena suara azan adalah suara membesarkan Allah itu sendiri.
Wallhu A’lam
Al Faqeer Abdurrahman Lubis adalah Pemerhati Keislaman