Sudah Huni 20 Tahun, Warga Perumahan Eks Karyawan PJKA Semarang Diusir KAI


Sejumlah warga di kompleks eks karyawan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) di Jalan Yogya, Randusari, Semarang Selatan, menolak pengusiran oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero/KAI).

Hal itu menyusul adanya somasi KAI kepada warga di wilayah tersebut, untuk segera mengosongkan rumah, maksimal Senin (29/6/2024).

Dikutip dari Inilahjateng.com, salah satu warga bernama Eko Hariyanto, mengaku tetap akan bertahan. Meski dirinya mendapat banyak teror dari pihak-pihak yang mengaku kuasa hukum KAI. Eko dan warga lainnya menolak untuk mengosongkan rumah.

“Isi somasi itu kami disuruh mengosongkan rumah. Jelas kami menolak dan kami akan lawan,” ungkapnya di Semarang, Senin (22/7/2024).

Pihak KAI, kata Eko, menganggap lahan yang ditempatinya bersama warga lain, merupakan aset KAI. Berdasarkan sertifikat Hak Pakai nomor 6 tahun 1988 dan dinilai sudah berakhir masa berlakunya. Atas dasar itulah, lanjutnya, PT KAI meneror warga melalui pengacaranya.

“Saat ini somasi ketiga, somasi terakhir untuk mengusir warga tanpa adanya putusan pengadilan. Kami berharap bisa lewat pengadilan,” katanya.

Tak hanya somasi, Eko menuturkan, warga Perumahan PJKA juga geram karena KAI telah memasang CCTV untuk memantau aktivitas warga di perumahan tersebut.

“Itu, bisa dilihat bersama, CCTV itu mereka yang pasang. Rumah jalan Jogja Nomor 1 ini, satu diantara warga yang mendapatkan somasi,” tandasnya.

Sementara, kuasa hukum warga, Novel Al Bakrie menambahkan, KAI tidak taat aturan karena melakukan perusakan cagar budaya.

“PT KAI merubah peninggalan heritage menjadi pertokoan komersil, dan pompa bensin. Hal itu jelas melanggar undang-undang karena mereka (PT KAI) tidak memiliki hak memindah tangankan,” ucapnya.

Sedangkan, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Riyanta menambahkan, warga yang menghuni di komplek itu, memiliki itikad baik.

“Mereka tinggal sejak 1980, semua tanah yang merupakan tanah bekas hak harus dikonversi menjadi tanah negara bebas, bukan aset,” tambahnya.

Dirinya menyebut bahwa warga yang menempati kompleks itu, disarankan untuk membuat surat pernyataan bahwa warga telah menguasai tanah itu selama 20 tahun, dengan itikad baik.

“Dengan adanya surat itu dengan diketahui kepala desa lurah, dan camat. Kemudian ajukan pengukuran di BPN. Apabila ditolak, maka warga bisa mengajukan gugatan sesuai UU Nomor 15 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan melaporkan ke Ombudsman,” pungkasnya.