Perdebatan mengenai sunat perempuan di Indonesia kembali mencuat seiring dengan perbedaan pandangan antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
MUI sudah mengeluarkan fatwa No. 9A Tahun 2008 yang menganjurkan sunat perempuan sebagai “makrumah” yakni tindakan yang kemuliaannya lebih ditujukan sebagai ibadah yang dianjurkan. Sebaliknya, KUPI menegaskan bahwa praktik tersebut haram karena dianggap merugikan perempuan.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Eni Widiyanti, menyatakan bahwa perbedaan tafsir keagamaan ini menjadi tantangan utama dalam upaya penghapusan praktik pemotongan dan pelukaan genital perempuan (P2GP) di Indonesia.
“Tantangan terbesar berasal dari sisi agama, sementara dari sisi sosial budaya dan kesehatan relatif dapat diatasi,” ujar Eni dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Dari perspektif kesehatan, Eni menegaskan bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru berpotensi membahayakan kesehatan perempuan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Risiko yang dihadapi termasuk infeksi, kesakitan saat melahirkan, hingga trauma psikis. Hal ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa penghapusan praktik sunat perempuan merupakan bagian dari upaya penyelenggaraan kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah.
KemenPPPA telah menyusun peta jalan dan rencana aksi pencegahan P2GP untuk periode 2020-2030, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk kementerian lain seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama.
Eni menekankan pentingnya kolaborasi antar-kementerian, terutama peran Kementerian Agama dalam menyebarkan edukasi pencegahan P2GP hingga ke tingkat akar rumput melalui institusi seperti majelis taklim.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menegaskan bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat dari sudut pandang kajian Tarjih. Ia juga menyoroti bahwa alasan “dosa waris” untuk sunat perempuan bertentangan dengan prinsip bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci.
“Banyak Muslimah yang tidak dikhitan dapat mengendalikan nafsunya dan setia pada pasangannya. Sebaliknya, meskipun di Gorontalo banyak yang dikhitan, angka pernikahan anak tetap tinggi,” ujar Alimatul, yang juga akademisi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Perbedaan pandangan antara MUI dan KUPI ini menunjukkan perlunya dialog lebih lanjut untuk mencapai kesepahaman yang dapat melindungi hak-hak perempuan di Indonesia.