Kanal

Surat Kepada Ibu yang Tidak Bisa Membaca dan Menulis

Ibu tercinta, dalam menjalani masa-masa kecil itulah, ada banyak hal yang diam-diam merasuk ke dalam alam bawah sadar kami. Dan, akhirnya turut mewarnai jalan hidup dan cita-cita kami. Terutama karena pada saat-saat menjelang tidur, di atas sebuah ranjang besi yang besar, yang dibuat sendiri oleh Ayah, di mana anak-anak Ibu tidur berjajar seperti ikan pindang, Ibu selalu bercerita tentang bagaimana perjuangan hidup keluarga.Tentang bagaimana pertama kali Ibu bertemu Ayah di Bandung, kemudian menikah, lalu membuka pabrik cemilan koya di Jatibarang, sebelum pindah ke Pegaden Baru, dan kemudian memulai usaha bengkel sepeda.

Oleh   : Noorca M. Massardi

Ibu tercinta, kami tahu bahwa sampai Ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya, Ibu tidak pernah bisa membaca dan menulis. Tapi kami juga tahu bahwa setiap kali Ibu menerima surat, selalu saja ada yang membacakannya, dan Ibu akan mendengarkan dengan penuh perhatian serta khidmat, bahkan meneteskan air mata. Baik ketika mendengar kabar yang menyenangkan, lebih-lebih untuk berita kurang menggembirakan tentang kami, anak-anak Ibu.

Ibu tercinta, lahir sebagai putra kembar nomer lima, dari 12 bersaudara, dengan hanya satu orang perempuan sebagai kakak nomer dua, tentu merupakan suatu keistimewaan bagiku dan bagi kembaranku yang berada di nomer urut enam. Termasuk dengan kemiripan kami yang selalu menjadi bahan pembicaraan, bahkan senda gurau. Baik semasa kecil Subang, saat remaja di Jogja, lebih-lebih ketika dewasa di Jakarta.

Ibu tercinta, mengenang masa-masa kecil yang menyenangkan, dan membayangkan masa-masa remaja yang penuh dengan keprihatinan, rasanya tak ada ungkapan yang bisa kami sampaikan kepada Ibu, kecuali kebanggaan dan kekaguman luar biasa. Betapa Ibu sebagai ibu rumah tangga yang buta huruf, tidak hanya mampu melahirkan anak-anak demikian banyak, namun dapat membesarkan serta mendidik kami dengan penuh ketabahan, dan  kesabaran, terutama dalam melakukan pelbagai upaya untuk membantu Ayah mencari nafkah dan penghidupan, yang pasti tidak mudah pada masa-masa itu.

Ibu tercinta, sungguh indah rasanya kami menikmati masa kecil yang tiada berkekurangan, untuk ukuran penduduk di Kota Subang, Jawa Barat, saat itu. Kendati Ayah sudah membuka usaha bengkel sepeda, yang pertama di Kota Subang, Ibu masih sempat membuka rumah makan sate dan gulai a la Cirebon bernama “Goncang Lidah” di tempat yang sama dengan bengkel.

Sementara Ayah, selain mengajarkan kiat-kiat memperbaiki sepeda, menambal ban, juga memberi contoh bagaimana merangkai serta membuat sepeda sendiri. Dan, apa yang diajarkan Ayah itulah yang juga menjadi satu-satunya cara, dan kemampuan kami dalam mencari nafkah, baik untuk makan maupun untuk biaya sekolah. Yakni, dengan membuka bengkel kecil, dan menerima pekerjaan menambal ban, mengganti roda, bahkan memompa ban kempes. Sementara usaha sampingan Ayah menjadi agen beberapa koran harian terbitan Jakarta waktu itu, juga telah membuka peluang bagi kami, untuk kelak menyambung hidup dengan berjualan koran, selain mendapatkan pengetahuan umum yang luas mengenai pelbagai berita dari seluruh dunia. Baik  saat kami di Subang maupun di sepanjang jalan Mangkubumi-Sudirman-Jalan Solo, di Jogjakarta. Tentu saja setiap pulang sekolah, dan kami berjalan kaki menyusuri jalanan, menjajakan koran ke setiap kantor, toko, restoran, sebelum akhirnya mangkal di pompa bensin Penny.

Ibu tercinta, anjuran Ibu agar kami tidak jajan di luar, yang tentu akan membutuhkan anggaran cukup besar, juga tidak pernah membuat kami kecil hati. Apalagi menderita. Justru kami merasa berbahagia. Sebab, selain membuka bengkel dan rumah makan, setiap musim buah-buahan tiba, Ibu juga selalu menjual hal yang sama. Bukan untuk mencari keuntungan, tapi terutama untuk menjamin kebutuhan kami, sehingga kami tidak perlu membeli buah-buahan, atau sayuran ke tempat lain. Tentu saja waktu itu belum ada buah dan sayur yang diimpor dari luar negeri.

Ibu tercinta, semua yang disajikan Ibu di rumah makan, sebenarnya Ibu maksudkan juga untuk konsumsi kami. Karena setiap hari kami boleh menikmati nasi, gulai, sate, emping, kerupuk, juga sirup, soda, susu, lemonade, es, kelapa muda, dodol, dan aneka jajanan lainnya yang dijual di atas meja.  Walau akibatnya, kami baru menyadari belakangan, ternyata, karena kami setiap hari ikut menikmati hidangan di restoran, keuntungan rumah makan pun makin menyusut dan akhirnya tutup. Tapi kami tahu, setiap musim buah tiba, Ibu pasti akan berjualan lagi. Dan ketika musim panen datang, rumah makan pun akan dibuka kembali. Begitulah roda terus berputar.

Ibu tercinta, dalam menjalani masa-masa kecil itulah, ada banyak hal yang diam-diam merasuk ke dalam alam bawah sadar kami. Dan, akhirnya turut mewarnai jalan hidup dan cita-cita kami. Terutama karena pada saat-saat menjelang tidur, di atas sebuah ranjang besi yang besar, yang dibuat sendiri oleh Ayah, di mana anak-anak Ibu tidur berjajar seperti ikan pindang, Ibu selalu bercerita tentang bagaimana perjuangan hidup keluarga Ibu yang lahir di Maos, Cilacap, dan keluarga Ayah, yang lahir di Jatibarang, Cirebon. Juga tentang bagaimana pertama kali Ibu bertemu Ayah di Bandung, kemudian menikah, lalu membuka pabrik cemilan koya di Jatibarang, sebelum pindah ke Pegaden Baru, dan kemudian memulai usaha bengkel sepeda. Itu, karena Ayah dulu seorang montir yang bagus dan berbakat. Dan, di kecamatan Pegaden yang berada di jalur kereta api Jakarta-Surabaya, itulah Ibu melahirkan putra pertama pada 1941.

Tak lama kemudian, Ibu dan Ayah pindah ke Subang. Sebuah persinggahan yang ternyata paling akhir dan langgeng, dengan membuka bengkel sepeda dan rumah makan sate dan gulai. Di situlah, delapan tahun kemudian, Ibu baru melahirkan anak kedua pada 1949, seorang perempuan. Namun, karena jarak anak pertama dan kedua itu dirasa terlalu jauh, Ibu kemudian pergi berkonsultasi ke pelbagai pihak, baik medis dan maupun nonmedis, untuk mencari cara bagaimana bisa memiliki anak lagi. Mungkin karena pada masa itu memiliki sebuah keluarga besar adalah suatu anjuran atau bahkan kebanggaan. Karena itulah, Ibu terus berusaha mencari cara agar dapat memiliki anak yang ketiga. Dan, ternyata, harapan itu baru dikabulkan Allah Swt pada 1952, dengan kelahiran seorang anak lelaki.

Ibu tercinta, mungkin karena doa Ibu demikian keras saat kekosongan yang panjang itulah, maka  sejak 1952, nyaris setiap tahun Ibu diberi anugerah anak-anak yang akhirnya berjumlah 12 (duabelas). Dan, proses kelahiran itu selalu dilakukan di rumah sakit umum yang sama, yang hanya beberapa langkah dari rumah tinggal kita.

Ibu tercinta, entah apa kehendak Allah Swt, setelah menggenapi anak-anak Ibu menjadi satu lusin, tiba-tiba kita harus menghadapi badai kehidupan yang tak pernah kita bayangkan. Peristiwa 1965 di negeri kita, ibarat gelombang tsunami, ternyata ikut menyeret keluarga kita menjadi korban situasi. Atau mungkin lebih tepat, korban konspirasi orang-orang sekitar, yang mungkin irihati pada kehidupan keluarga kita. Sebab, walau Ayah hanya seorang montir bengkel sepeda, namun bakat dan kecerdasannya telah membawanya ke jabatan pengurus sebuah lembaga koperasi sandang pangan, yang membawahkan sebelas kecamatan di Kabupaten Subang. Sementara itu, semua anak-anaknya bisa bersekolah di sekolah yang baik, dengan rata-rata nilai peringkat tertinggi di sekolah masing-masing, serta di madrasah pada sore hari, walau sesungguhnya keluarga kita bukan termasuk keluarga kaya.

Ibu tercinta, tentu Ibu sangat terpukul ketika keguncangan politik ekonomi dan keamanan di negeri kita, itu akhirnya harus memisahkan kami, anak-anak Ibu, dari rumah. Untuk dapat melanjutkan kehidupan dan meneruskan jenjang pendidikan kami, itulah kami terpaksa meminta bantuan dan pertolongan dari keluarga besar Ibu dan Ayah, yang berkenan menampung kami, baik di Yogya, di Wates, di Cirebon, di Subang, maupun di Jakarta. Tentu saja dengan imbalan harus membantu pelbagai pekerjaan rumah tangga, belanja ke pasar, mengangkut dagangan, memandu pelajaran adik-adik, dan lain sebagainya.

Ibu tercinta, maafkan kami, bila akibat perjalanan hidup kami yang berliku, itu akhirnya kami tidak mampu menjadi dokter atau insinyur, seperti yang Ibu selalu sampaikan dan cita-citakan, setiap kali mengantar kami tidur. Meskipun demikian, kami sangat berterima kasih kepada dua hal penting yang selalu Ibu tanamkan kepada kami sejak kecil.

Pertama, karena Ibu tidak bisa membaca dan menulis, Ibu selalu menekankan dan sangat berharap, agar kami, anak-anak Ibu, bisa membaca dan menulis. Dan, Alhamdulillah, doa dan harapan Ibu telah dikabulkan Allah Swt, karena kami, sebagian besar anak-anak Ibu, kini bisa hidup, berkarir, serta berprofesi hanya sebagai Pembaca dan Penulis.

Kedua, nasehat Ibu yang tak pernah lelah Ibu sampaikan dan tanamkan kepada kami, kini telah berhasil membentuk karakter dan jatidiri kami, dan insya Allah, juga keluarga besar kami kelak. Nasehat Ibu: “Jangan iri, dengki, jahil, dan aniaya kepada siapa pun” insya Allah selalu kami jalankan, sehingga kami bisa memiliki banyak teman dan atasan yang baik. Selain itu, kami juga tetap mampu menjalani hidup dan kehidupan secara sederhana, apa adanya, ikhlas terhadap apa pun yang menimpa kami, dan selalu bersyukur atas rahmat, hidayah, dan anugerah yang selalu Allah Swt berikan. Terutama bila kami mengenang betapa beratnya kehidupan yang telah dan harus kami jalani seorang diri, tanpa koneksi dan relasi, terutama ketika harus memasuki dunia profesi sebagai penulis, pekerja seni, yang penuh lika-liku, kiat, muslihat, dan misteri kehidupan di Jakarta ini.

Demikianlah kabar untuk Ibu tercinta, walau kami tahu bahwa sampai Ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya, Ibu tidak pernah bisa membaca dan menulis.

Sembah sujud ananda,

Jakarta, 21 April 2014

Noorca M. Massardi

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button