Hasil studi Center of Economic and Law Studies (Celios) membeberkan semakin lebarnya ketimpangan ekonomi. Kekayaan dan penghasilan kelompok kaya perlu direm karena bisa mengancam kestabilan sosial dan masa depan secara berkelanjutan.
Dalam Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024 yang diterbitkan Center of Economic and Law Studies (Celios) bertajuk Pesawat jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin, dikutip Rabu (25/9/2024), meneliti adanya kenaikan kekayaan dari 25 konglomerat Indonesia.
Artinya, kekayaan orang-orang super kaya di Indonesia bisa bergerak leluasa cepat, bak pesawat jet. Sementara kelompok menengah ke bawah, begitu sulitnya mengoleksi kekayaan. Yang ada malah menguras isi tabungan untuk menyambungb hidup alias makan tabungan (mantab).
Dari ke-25 daftar orang super tajir yang menjadi catatan Celios, lima besarnya adalah, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, pengusaha minyak sawit serta tambang (Harita Group), kekayaannya melonjak 109 persen pada tahun ini. Disusul Low Tuck Kwong (Bayan Resources) 78,5 persen, Prajogo Pangestu (Barito Pacific) 70,2 persen, Wijono dan Herman Tanoko (Avia Avian) 63 persen, Bachtiar Karim (Musim Mas Group) 26 persen.
Sedangkan lima di papan bawah, Ciliandra Fangiono ( First Resources) kekayaannya naik 5 persen menjadi Rp38,07 triliun, Husain Djojonegoro naik 4 persen (Rp18,63 triliun), Chairul Tanjung 4 persen (Rp707,94 triliun, Keluarga Widjaja 3 persen (Rp174,96 triliun) dan Bambang Sutantio 2 persen (Rp26,73 triliun).
Director of Fiscal Justice Celios, Media Wahyudi Askar mengatakan, sebagian besar konglomerat di Indonesia, kekayaannya berasal dari bisnis yang mengandalkan sumber daya alam. Istilahnya bisnis ekstraktif.
“Seharusnya, pemerintah melihat kelompok kaya di Indonesia sebagai potensi pajak yang berguna untuk menopang pembangunan, menumbuhkan perekonomian menuju kesejahteraan rakyat,” ungkapnya.
Saat ini, kata Media, kelompok kaya semakin kaya sedangkan kelas menengah ke bawah justru semakin merana. Jika seluruh aset atau kekayaan 50 juta rakyat Indonesia dikumpulkan, nilainya setara dengan kekayaan 50 orang terkaya itu.
“Artinya, kelompok kaya begitu mudahnya menambah kekayaannya. Sementara kelas menengah ke bawah, jangankan menambah kekayaan, untuk bertahan hidup saja sulit,” imbuhnya.
Dikhawatirkan, kondisi ekonomi yang timpang ini memunculkan kecemburuan sosial. Ketika didiamkan, eskalasi membesar menjadi konflik sosial. Friksi-friksi di bawah sudah mulai kelihatan.
“Angka kriminalitas naik, itu tandanya. Di daerah perkebunan, banyak kasus pencurian sawit. Saya yakin, mereka orang baik, tak punya niat mencuri. Tapi karena terpaksa, demi kebutuhan hidup, akhirnya nekat. Apalagi jika pengusahanya tak mau berbagi,” imbuhnya.
Ketimpangan ini, lanjut Media, juga memengaruhi perekonomian secara makro. Ketika ada segelintir pengusaha yang super kaya berpotensi terjadinya monopoli atau persaiangan usaha yang tidak sehat. Berdampak kepada monopoli harga yang memberatkan masyarakat sebagai konsumen. “Ujung-ujungnya, daya saing dari produksi kita turun. Pertumbuhan tidak bisa tinggi,” imbuhnya.
Idealnya, kata Media, semakin banyak orang super kaya lahir di Indonesia, memberikan manfaat kepada pemerintah. Misalnya, tetapkan aturan tarif pajak kekayaan sebesar 2 persen.
Menurut perhitungan Celios, pajak kekayaan dari 50 orang super kaya di Indonesia, menghasilkan penerimaan sebesar Rp81,6 triliun. “Saya kira, jumlah orang super kaya di Indonesia lebih dari 50 orang. Artinya, setoran pajak pribadi bisa lebih tinggi lagi. Tinggal pemerintah punya nyali atau tidak,” pungkasnya.