Suyatmi dan Lurik: Ketika Tradisi Tua Berperang Melawan Produk Murah China


Di sudut desa Karangasem, Klaten, suara ritmis alat tenun tradisional menjadi pengiring keseharian Suyatmi. Bagi wanita 43 tahun ini, menenun lurik bukan sekadar pekerjaan. Di antara jalinan benang yang melintas di tangannya, tersimpan kisah tentang tradisi yang berakar kuat dan bertahan di tengah derasnya arus modernitas.

Sejak kecil, Suyatmi telah akrab dengan tenun lurik. Ibunya, seorang pengrajin lurik, menjadi guru pertama yang memperkenalkan seni ini. 

“Dari kecil saya sudah biasa bantu ibu. Sepulang sekolah, saya ikut menenun,” kenang Suyatmi, matanya berbinar mengingat masa lalu.

Namun, kehidupan membawanya merantau ke Jakarta, bekerja sebagai buruh pabrik. Rutinitas itu tidak memberinya kenyamanan, hingga pada tahun 2004, Suyatmi memutuskan kembali ke desa, menikah, dan kembali menenun. Awalnya, hasil karyanya masih kasar, jauh dari sempurna. Tetapi, dengan ketekunan dan bantuan tetangga, ia perlahan meningkatkan kualitas tenunannya.

Setiap pagi, ia memulai hari dengan menyiapkan benang, merangkai motif, dan duduk di alat tenun. Proses ini memakan waktu berjam-jam, menuntut konsentrasi dan kesabaran tinggi. Di sela-sela kesibukannya, Suyatmi tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, memastikan anak-anaknya tetap mendapat perhatian.

Gempuran Produksi Massal dan Barang Impor

Di era globalisasi, tantangan besar menghampiri pengrajin seperti Suyatmi. Produksi massal pabrik besar menawarkan harga murah, sementara produk tekstil impor asal China membanjiri pasar lokal.

“Kadang kami kalah saing karena harga kain dari luar itu lebih murah. Tapi kalau soal kualitas, lurik tetap lebih baik,” ujar Suyatmi dengan keyakinan penuh.

Namun, ia sadar kualitas saja tidak cukup. Suyatmi mulai berinovasi, menciptakan desain-desain unik yang mampu menarik perhatian konsumen modern. Bantuan dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) menjadi angin segar. Dengan pelatihan dan pameran, Suyatmi mendapatkan platform untuk memperkenalkan tenun luriknya ke pasar yang lebih luas.

Tradisi di Era Digital

Dekranasda juga membantu para pengrajin memasuki dunia digital. Dengan media sosial seperti Instagram dan WhatsApp, Suyatmi kini dapat langsung menjangkau konsumen tanpa perantara. 

“Melalui pameran dan media sosial, produk kami jadi lebih dikenal,” katanya.

Langkah ini menjadi kunci keberlanjutan tradisi lurik di tengah serbuan produk impor. Kesadaran masyarakat terhadap produk lokal semakin meningkat, memberikan harapan bagi para pengrajin seperti Suyatmi.

WhatsApp Image 2024-12-07 at 2.11.13 PM.jpeg

Harapan untuk Regenerasi

Namun, tantangan lain muncul: regenerasi. Bagi Suyatmi, menjaga tradisi tenun lurik tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga warisan budaya. Ia prihatin melihat anak-anak muda enggan belajar menenun. 

“Kalau tidak ada yang mau belajar, tradisi ini bisa hilang,” ungkapnya dengan nada penuh kekhawatiran.

Dekranasda dan lembaga terkait terus didorong untuk membuat kebijakan yang melindungi produk lokal dari gempuran barang impor. Di sisi lain, pengrajin seperti Suyatmi perlu terus berinovasi agar produk mereka tetap diminati di pasar modern.

Lurik: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan

Bagi Suyatmi, menenun lurik adalah lebih dari sekadar pekerjaan. Itu adalah caranya menghormati masa lalu dan menghidupkan tradisi untuk masa depan. Di setiap pola dan motif yang ia ciptakan, ada harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Suyatmi dan tenun luriknya adalah bukti nyata bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang kaku. Dengan ketekunan, inovasi, dan dukungan yang tepat, warisan ini dapat terus hidup, bahkan di tengah gempuran zaman. Seperti lurik yang ia tenun, benang masa lalu tetap terjalin erat dengan pola masa depan.