Hangout

Kemenkes Tegaskan Sufor Bukan Pemicu Diabetes Pada Anak

Beberapa waktu lalu muncul informasi terkait banyaknya anak-anak (10-15 tahun) terjangkit penyakit gula alias diabetes. Karena dipicu konsumsi susu formula (sufor). Benarkah?

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi buru-membantahnya. Kandungan nutrisi sufor telah disesuaikan dengan standar yang berlaku, serta kebutuhan anak sesuai umur. Dalam hal ini, sufor tidak diposisikan sebagai pengganti susu ibu (ASI).

“Kalau susu formula kita tahu ya kalau pada anak mereka ada yang tidak bisa mendapatkan ASI karena kondisi tubuh ibunya, kemudian anaknya juga alergi, tapi sebenarnya susu formula itu sudah disesuaikan dengan usia anak-anak,” jelas Nadia, Jakarta, Senin (3/4/2023).

Menurut Siti Nadia, faktor dominan diabetes pada anak, adalah pola hidup yang salah. Misalnya, makan dan minum dengan kadar gula berlebih dari standar konsumsi gula harian. Selain juga karena kurang olahraga.

Jika seorang anak tak memiliki penyakit bawaan atau penyakit yang mengganggu keseimbangan kadar gula darah, kata Siti Nadia, sangat kecil kemungkinan terkena diabetes.

“Kalau anak tidak ada penyakit (penyerta) yang menyebabkan gangguan kadar insulin yang diproduksi oleh pankreas, itu tidak bermasalah kan (karena) pola perilaku dan gaya hidup, pola perilaku dan gaya hidup inilah yang berkontribusi terhadap penyakit diabetes,” ucapnya

Berdasarkan data Kemenkes, mayoritas kasus diabetes yang menyerang anak-anak di Indonesia merupakan diabetes tipe 2 yang diakibatkan karena pola hidup. Adapun untuk diabetes tipe satu biasanya disebabkan karena kelainan fungsi sel beta pankreas antara lain karena faktor genetik namun diabetes tipe ini lebih sedikit kasusnya di Indonesia.

Pengamat kesehatan yang juga Dokter Spesialis Anak Tiurma Lisapine, menjelaskan, agar anak terhindar dari Diabetes, perlu menjaga pola makan dan hidup sehat dengan berolahraga.

Ada dua jenis diabetes, lanjut Tiurma, yaitu tipe satu dan diabetes tipe dua. Diabetes tipe satu disebabkan kurangnya insulin pada anak dan ini biasanya terjadi sejak lahir. Sementara diabetes tipe dua terjadi kepada anak remaja atau dewasa.

“Kalau diabetes tipe dua karena gaya hidup yang mengkonsumsi kadar gula yang tinggi yang menyebabkan kadar gula menjadi naik, nah itulah asal terjadinya diabetes pada anak-anak,” ungkap dia kepada media.

Sementara diabetes tipe dua, lanjutnya, disebabkan karena pola makan yang buruk serta pola hidup yang kurang baik. Seringnya anak mengonsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi serta makanan siap saji tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik atau olahraga teratur, dapat membuat anak rentan terserang diabetes.

Untuk bisa menghindari penyakit tersebut , Tiurma menyarankan para orang tua agar melakukan pengawasan ekstra agar pola makan anak-anak dapat beragam, mengandung gizi yang seimbang dan agar dapat menghindari makanan minuman yang tinggi gula.

Profesor Aman Bhakti Pulungan, project leader Changing Diabetes in Children (CDiC) Indonesia – Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Executive Director of International Pediatric Association (IPA)/ Asosiasi Dokter Anak Sedunia, menambahkan, data IDAI pada 2017 hingga 2019, mengungkap sebanyak 1.249 anak menderita diabetes melitus tipe 1 (DMT1).

Data Registri Nasional DMT1 di Indonesia pada 2022, mengungkapkan, sebanyak 1.369 anak terdiri atas 556 anak laki dan 813 anak perempuan, menderita DMT1. Sedangkan, pada 2023 meningkat pesat menjadi 1.645 pasien anak.

Prof Aman menjelaskan, DMT1 berbeda dengan DMT2.

“DMT1 merupakan kondisi defisiensi insulin absolut yang disebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga tak mampu memproduksi insulin. Sedangkan, DMT2 merupakan kondisi defisiensi insulin relatif, yaitu produksi insulin tidak mencukupi,” jelas Prof Aman.

Kalau DMT2, kata dia, secara genetik diturunkan oleh orang tua dan juga faktor gaya hidup yang terlalu banyak makan karbohidrat dan gula. “Sedangkan DMT1 karena kerusakan sel beta pankreas yang dipicu berbagai faktor, bisa infeksi virus, autoimun, hingga defisiensi vitamin D,” ungkap Prof Aman.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button