Kanal

Soal Piala Dunia U-20, Berani-beraninya Ganjar Menentang Jokowi

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Barangkali, banyak kalangan warga Indonesia—terutama kaum Muslim–yang cukup terkejut dengan sikap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang menolak kedatangan Tim Israel bermain dalam Piala Dunia Sepakbola U-20 yang rencananya digelar di Indonesia. Saat itu komitmen nasional terhadap Presiden RI pertama, Soekarno, menjadi alasan Ganjar.

“Kita sudah tahu bagaimana komitmen Bung Karno terhadap Palestina, baik yang disuarakan dalam Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, dan maupun dalam Conference of the New Emerging Forces (Conefo),”kata Ganjar, Jumat (24/3) lalu. “Jadi ya, kita ikut amanat beliau.”

Bukan hal mudah untuk melihat alasan paling murni, maksud sejati dari sikap tersebut. Keterbatasan kemanusiaan kita membuat niat menjadi hal yang sukar ditentukan tegas. Masih ingat akan Tarikh Islam, saat Rasulullah SAW kecewa kepada pemuda saleh Usamah bin Zaid, yang tetap membunuh musuh saat si kafir itu (telah) mengucapkan kalimat syahadat? Manakala menceritakan ulang peristiwa itu dalam chanel YouTube Al Bahjah TV, ulama terkemuka KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya, menyatakan Nabi SAW saat itu,”Marah betul.”

Namun, kenyataan bahwa 2023 pun telah memasuki ‘tahun politik’ menjadikan kita sah untuk membuat serangkaian pilihan kemungkinan yang menjadi raison détre sikap Ganjar tersebut.  Selain memang murni komit terhadap sikap Bapak Bangsa, Soekarno, setidaknya ada dua kemungkinan lain yang menjadi sebab sikap tersebut.

Sikap menolak tersebut tentu saja akan membuat para pendukung Ganjar—yang sering diasosiasikan sekuler dan –maaf—abangan—mungkin terkejut, bahkan marah. Tetapi waktu telah membuktikan komunitas itu umumnya memiliki kesetiaan tinggi kepadanya. Ganjar bisa jadi sadar, waktu akan membuat mereka memaafkan, meski tak mungkin melupakan. Namun di sisi lain, pernyataan itu bukan tidak mungkin membuat segolongan warga yang selama ini memasang sikap berseberangan dengan Ganjar, kalangan Muslim yang mematok sikap keras terhadap Israel, mulai membiarkan simpati tumbuh di hati.

Kedua, dengan pernyataan itu Ganjar kembali menegaskan sikap yang berulang kali bisa ia buktikan soal komitmen dan kesetiaannya kepada partainya, PDI Perjuangan. Lebih khusus lagi, kepada keluarga besar Bung Karno, ketua umum partai, Megawati Sukarnoputri.

Saya kira, dua hal itu lebih mungkin menjadi principalis causa alias sebab utama sikap Ganjar.  Paling tidak, kemungkinan itu dikuatkan beredarnya artikel yang ditulis mantan Relawan Ganjar Pranowo, Eko Kuntadhi, “Rusia, Israel dan FIFA”, yang beberapa hari terakhir cukup viral. Isinya, meski tidak memutar balik sikapnya 180 derajat dari selama ini, menunjukkan simpati pada rakyat Palestina.

“ …Dunia memang sering gak adil. Dan sebagian kita –karena alasan tertentu– juga sulit hanya untuk sekadar berfikir adil. Iya, sekadar berfikir dan bersuara. Sebagian orang marah pada Ganjar Pranowo, yang mencoba menyampaikan pendapat. Karena pendapat Ganjar menampar wajah para pembela kebengisan zionis disini. Tentu saja orang ada yang bilang, kenapa Ganjar harus bicara seperti itu. Bukankah beresiko menurunkan suaranya khususnya dari mereka yang selama ini bersimpati pada Israel?…”, tulis Eko.

Ia pun menambahkan dengan kalimat,”… Justru itu yang menarik. Sebab tidak semua hal harus berkait dengan copras-capres. Pendapat harus disampaikan meskipun kadang tidak menyenangkan sebagian orang.”  

Namun sikap artikel itu berlawanan dengan artikel sebelumnya, yang ia unggah pada 26 Maret 2023, berjudul “Israel, Bung Karno dan Ganjar Pranowo”. Pada artikel itu Eko menulis,”…Nah, di Indonesia juga sama. Para penganut Islam politik kerap menunggangi isu Israel-Palestina untuk kepentingannya. Merekalah yang meneriakkan isu agama dalam persoalan Palestina. Tujuan sebetulnya bukan membela Palestina. Tapi sekadar untuk memanaskan mesin politik di dalam negeri saja.”

“Kalau dilihat dari eskalasi isunya sih, memang ada orkestrasi untuk membenturkan pemerintahan Jokowi dengan isu agama, berselancar di kasus pageleran U-20 ini.”

Jadi wajar bila seorang warganet, novelis terkemuka Akmal Nasery Basral, sempat berkomentar di satu WAG, menyoal tulisan Eko, “Rusia, Israel dan FIFA”. “Eko Kuntadhi sebenarnya tidak sedang membahas sepak bola, apalagi politik FIFA,”tulis Akmal di forum terbatas itu. “Dia menjadikan kontroversi yang marak saat ini hanya sebagai gelanggang untuk menonjolkan tokoh politik domestik yang jadi capres favoritnya.”

Tapi soal Presiden Jokowi dalam esensi tulisan itu Eko Kunthadi benar, publik pun dengan gampang melihat adanya perbedaan sikap antara Ganjar dengan Jokowi. Ini jelas menerbitkan keingintahuan baru pada publik, seraya menyampirkannya pada urusan pencapres Pilpres 2024 mendatang. Terutama dengan isu perbedaan sikap antara Presiden dan Megawati terkait Pilpres, seperti yang umum tersebar saat ini. Saya punya pemikiran, namun terlalu prematur untuk diungkap.

Perbedaan sikap antara Ganjar dengan Presiden itu terlihat dari pernyataan Presiden terakhir soal kisruh Tim Israel tersebut. “Jangan campur olahraga dengan politik,”kata Presiden Jokowi, Selasa (28/3). Hampir seolah mensipongangkan argumen kalangan yang mempertanyakan pelarangan kedatangan Tim Israel di publik. Cerdasnya, pernyataan itu dilakukan Presiden setelah bertemu Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, Jumat sebelumnya. Al-Shun saat itu bersikap toleran dengan menyatakan bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya.

Presiden melanjutkan pernyataannya dengan menjamin bahwa keikutsertaan Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina, yang akan selalu mendukung secara kokoh dan kuat.

Tetapi bagi pengkaji geopolitik Global Future Institute, Hendrajit, hal itu menegaskan sikap gamang. Lebih jauh lagi, berpotensi besar membingungkan publik. Menurut Hendrajit, mana mungkin olahraga dan politik tidak menyatu. Dalam hubungan dagang yang pada dasarnya dimotori swasta, memang bisa menembus batas-batas geografis antara penjual dan pembeli.

“Tapi olahraga, atribut negara  pada tataran simbolik sekali pun, seperti bendera dan lagu kebangsaan selalu disertakan. Jadi mana mungkin olahraga dan politik tidak menyatu?” kata dia. Ketika kita tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel, Hendrajit menambahkan, berarti kita pun tidak mengakui adanya atribut-atribut kenegaraan Israel, seperti lagu kebangsaan dan bendera. “Padahal dua atribut itu mutlak dalam event olahraga.”

Sebagai presiden, sikap Jokowi juga bisa dimengerti. Tampaknya, ia khawatir persoalan ini akan berpengaruh buruk pada pemasukan devisa dari negara zionis tersebut. Pasalnya, meski tanpa hubungan diplomatik, nilai perdagangan Indonesia-Israel terus menguat. Katadata menulis, pada 2022 total nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai 185,6 juta dollar AS (Rp 2,86 triliun pada kurs 15.400). Angka itu naik sekitar 14 persen dibanding tahun sebelumnya. Jika dilihat secara kumulatif, selama periode 2018-2022 nilai ekspor Indonesia ke Israel sudah tumbuh sekitar 11 persen, dengan nilai impor yang juga tumbuh 0,9 persen.

Kendati menguat dalam perdagangan, Indonesia menolak hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Hal ini termaktub dalam Bab X Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) Nomor 3 Tahun 2019 yang berbunyi: “Sampai saat ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, dan menentang penjajahan Israel atas wilayah dan bangsa Palestina, karenanya Indonesia menolak segala bentuk hubungan resmi dengan Israel.”

Konsekuensi tidak adanya hubungan diplomatik itu, aturan itu menyatakan pemerintah Indonesia perlu memperhatikan sejumlah prosedur dalam berhubungan dengan Israel, yaitu:

-Tidak ada hubungan secara resmi antara pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan Israel, termasuk dalam surat menyurat dengan menggunakan kop resmi;

-Tidak menerima delegasi Israel secara resmi dan di tempat resmi;

-Tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia;

-Kehadiran Israel tidak membawa implikasi pengakuan politis terhadap Israel;

-Kunjungan warga Israel ke Indonesia hanya dapat dilakukan dengan menggunakan paspor biasa; dan

-Otorisasi pemberian visa kepada warga Israel dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal Imigrasi. Visa diberikan dalam bentuk affidavit melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura atau Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok.

Di masa lalu, Pak Harto bisa menjaga sikap tegas terhadap Israel itu berdampingan dengan mulusnya perdagangan kedua negara. Ada banyak catatan sejarah yang membuktikan hal itu. Tetapi tentu akan terlalu membuat tulisan ini kian panjang, dan dalam keumuman situs berita di Indonesia, itu akan membuat keganjilan. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button