News

Politik Identitas Hantu Pemilu 2024

Kamis, 17 Nov 2022 – 12:20 WIB

467ec33c Fca3 48d8 B422 4d6fb97b6ba6 - inilah.com

Ilustrasi pemilu. (Foto: Inilah.com)

Politik identitas masih menjadi momok pada Pemilu 2024. Hantu politik identitas mesti dikunci untuk menghindari efek domino menggerus toleransi dan unsur kebhinekaan sebagai perekat bangsa ini. Aktor politik turut bertanggung jawab untuk memastikan pesta demokrasi pemilu maupun pilkada digelar secara sehat, walaupun strategi penggunaan isu purba politik identitas, suka atau tidak, tergolong ampuh untuk merebut suara.

Memeringati Hari Toleransi Internasional ke-26 sejak ditetapkan PBB pada 1996 dan diperingati setiap 16 November, Imparsial mengingatkan pemerintah dan segenap bangsa untuk meneguhkan kembali penghormatan dan pengakuan atas keberagaman. Peringatan Hari Toleransi Internasional dilakukan menindaklanjuti Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Toleransi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sekaligus merespons praktik intoleransi, diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan yang terjadi di banyak belahan dunia.

Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri menyebutkan, Indonesia berada dalam ancaman perpecahan imbas aktor politik yang menerapkan politik identitas sebagai jurus memenangi pemilu maupun pilkada. Hal ini bisa dikonfirmasi dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 14 November 2022 yang mengukur tingginya kekhawatiran masyarakat akan tergerusnya toleransi pada Pemilu 2024 (77,8 persen).

Jajak pendapat tersebut menyimpulkan sebanyak 24,8 persen responden meyakini intoleransi terjadi tak lepas dari belum dewasanya masyarakat dalam berpolitik. Namun sebanyak 22,2 persen menganggap hal tersebut imbas dari persaingan antar-tokoh atau elite politik yang bersaing secara sehat, 17,3 persen meyakini intoleransi menjamur buntut penggunaan politik identitas, sebanyak 16,6 persen menganggap akibat residu Pemilu 2019 yang belum mereda, dan 11,4 persen karena peran pendengung (buzzer).

“Publik perlu mewaspadai potensi melemahnya nilai toleransi dan kebhinekaan selama proses politik elektoral menuju pemilu 2024. Perilaku intoleran yang kerap terjadi di tahun politik memberikan efek domino yang tidak hanya berdampak pada pelaksanaan pemilu yang dipenuhi kebencian dan permusuhan, melainkan juga melanggengkan permusuhan dan segregasi di masyarakat. Akibat dari segregasi politik pemilu 2019 dapat kita rasakan dampaknya hingga saat ini masih adanya keterbelahan, permusuhan dan perpecahan di dalam masyarakat, seperti melabelkan istilah tertentu seperti cebong, kadrun ataupun kampret kepada pendukung pasangan politik,” kata Ghufron, di Jakarta, Kamis (17/11/2022).

Keterlibatan Pemerintah

Ghufron turut mengungkapkan berdasarkan hasil pemantauan Imparsial sepanjang 2022 terdapat 25 kasus mencolok terkait intoleransi. Mayoritas dari kasus tersebut merupakan perusakan tempat ibadah dan perusakan atribut keagamaan. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak tegas untuk memastikan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi karena pemerintah memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya aksi yang mengancam persatuan.

Menurutnya, pelaku intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan beragama bukan hanya individu atau kelompok masyarakat tertentu, tetapi mencakup pada pemerintahan baik daerah maupun pusat. “Dari kasus-kasus yang dipantau oleh Imparsial, paling banyak dilakukan oleh warga yang diprovokasi, tetapi tak jarang hal tersebut didukung pula oleh pemerintah setempat,” ujarnya.

Dia meyakini praktik intoleransi masih menjadi ancaman karena bukan hanya ampuh diterapkan sebagai senjata untuk merebut suara rakyat, ketegasan dari pemerintah jugah lemah. Negara malah dianggap sering melakukan pembiaran terhadap intoleransi dengan mengistimewakan kelompok tertentu. Artinya dibutuhkan kesadaran bersama untuk memastikan kontestasi politik elektoral yang puncaknya terjadi pada tahun 2024 bebas dari politik identitas.

“Melihat catatan pada kontestasi politik sebelumnya, isu toleransi dan kebhinekaan berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran segenap elit politik bangsa dan juga masyarakat akan pentingnya sikap saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan (toleransi),” ujarnya.

Evaluasi PBB

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos ikut menyoroti lemahnya pemerintah dalam menegakkan toleransi dalam berbangsa dan bernegara. Gelaran KTT G20 di Bali, yang dalam rangkaiannya menyertakan agenda Religions 20 (R20) menunjukkan kelemahan pemerintah di mata dunia terkait toleransi. Sebab sepanjang 2022 terdapat 32 peristiwa gangguan terhadap rumah ibadah di Indonesia.

Setara Institute mencatat selama 2007-2022 terdapat 140 peristiwa mengenai kondisi kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) terjadi di Indonesia. Tak sedikit diantaranya terjadi lantaran lemahnya pengawasan atau sikap permisifnya pemerintah. Padahal, sebagai anggota PBB, Indonesia juga diawasi melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB, dan banyak negara memberikan rekomendasi terkait praktik KBB di Indonesia, mulai dari kebijakan yang diskriminatif dan intoleran hingga gangguan dan persekusi terhadap kelompok minoritas, rumah ibadah, dan kegiatan peribadatan mereka.

Toleransi merupakan etika kolektif yang dipersyaratkan dalam tata kebinekaan. Sebagai negara bineka, Indonesia mesti terus mewujudkan praktik dan pemajuan toleransi. Selain itu, Indonesia mesti menjadi teladan dalam tata kebinekaan yang toleran toleran dan inklusif bagi seluruh komunitas internasional,” ujarnya.

Dia mengingatkan pula pentingnya keterlibatan seluruh elemen masyarakat baik dalam forum kerukunan umat beragama maupun lainnya untuk memainkan peran lebih intensif dan membuka inissiatif penguatan tata kebhinekaan dalam keberagaman. Peran mereka semakin penting menjelang Pemilu 2024 yang potensi merusak kohesi sosial apabila intoleransi dijadikan pihak tertentu sebagai strategi pemenangan.

“Peran mereka menjadi semakin signifikan di tengah-tengah polarisasi sosial, kegaduhan politik elektoral yang merusak kohesi sosial, serta ancaman politisasi identitas jelang Pemilu 2024,” ujar Bonar.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button