Market

UU Cipta Kerja, Kemenkop UKM Fokus Perluasan Lapangan Kerja dan Pengawasan KSP

Tak semua pelaku usaha paham secara utuh tentang Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja (UUCK).

Hal itu disampaikan Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), Hendra Saragih dalam Workshop UU Ciptaker bertajuk ‘Memberikan Kemudahan Berusaha bagi Pelaku UMKM, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif’ di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (13/4/2023).

“Memang tidak semua NIB yang dimiliki pelaku usaha mikro, berlaku juga sebagai izin (usaha). Karena memang izin saat ini, berbasis risiko. Ketika risikonya rendah, itu benar dia berlaku sebagai izin usaha,” terang Hendra.

Namun demikian, lanjut Hendra, ketika risikonya berada di level menengah-tinggi, pelaku UMKM harus memenuhi standar dan izin yang dibutuhkan. “Ini juga perlu dipahami oleh pelaku usaha, apa usaha yang dilakukan, apakah risikonya rendah, menengah, tinggi, karena tidak semua NIB berlaku sebagai izin usaha,” kata Hendra.

Tak hanya itu, ungkap Hendra, tujuan utama dari UU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya secara merata di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi Kemenkop UKM. “Di mana memang pelaku UKM diberikan kemudahan dalam mendirikan usaha, misal contoh dengan NIB sudah berlaku sebagai izin usaha,” jelasnya.

“Kemudian ada diperkenalkan satu entitas baru terkait perseroan perorangan, dimana satu orang dapat mendirikan perseroam perorangan tanpa ada akte, tanpa ada pengesahan dan lain sebagainya,” sambungnya.

Berbagai kemudahan lainnya yang tertuang dalam UU Cipta Kerja, lanjutnya, berkaitan juga dengan akses perlindungan, yakni dalam pemberian hak atas kekayaan intelektual, pendampingan hukum advokasi, dan sebagainya.

Di sisi lain, jika melihat jumlah koperasi di Indonesia yang mencapai 127 ribu, angka yang besar ketimbang negara di belahan dunia lainnya. “Kalau dilihat dari skalanya itu skala buram mayoritas, skala usaha mikro 91,4 persen 115 ribu unit. Jadi dibanding skala usaha besarnya itu hanya 0,39 persen 497 unit,” tandas Hendra.

Terkait hal ini, ia pun sempat menyinggung perihal permasalahan pada koperasi simpan pinjam yang belakangan ini sering terjadi, termasuk salah satunya pada PT Indo Surya Kencana yang ia taksir potensi kerugiannya cukup besar berkisar Rp100-300 Triliun.

“Nah ini memang menjadi PR juga bagi kami dimana memang di satu sisi diberikan kemudahan untuk mendirikan koperasi tidak 20 orang lagi tapi dengan 9 orang saja, masyarakat bisa mendirikan koperasi,” imbuh dia.

“Tapi dalam konteks pengawasan seperti apa, orang mudah tapi pengawasan tak ketat ini juga akan menjadi permasalahan,” sambungnya.

Oleh karena itu, saat ini Kemenkop UKM sedang menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perkoperasian yang baru, serta memetakan berbagai permasalahan koperasi yang ada saat ini, termasuk masalah pengawasan.

“Kemarin sudah diterbitkan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dimana salah satu penguatan di dalamnya adalah membuat dua varian koperasi di sektor keuangan dan koperasi simpan pinjam,” ujarnya.

Untuk koperasi di sektor keuangan, menurut Hendra, akan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sedangkan koperasi simpan pinjam (KSP), akan ada lembaga khusus yang dibentuk untuk mengawasi yang disebut Otoritas Pengawas Koperasi Simpan Pinjam.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button