News

‘Desak Anies’ Jadi Sorotan Asing, Manfaatkan Kelebihan Yakinkan Anak Muda


Program dialog Desak Anies sebagai bagian dari kampanye Calon Presiden Anies Baswedan mendapat sorotan media asing. Platform kampanye dialogis ini dinilai memanfaatkan kelebihan Anies Baswedan sebagai mantan akademisi untuk merayu dan meyakinkan suara generasi muda.

Situs media yang berbasis di Singapura, Channel News Asia (CNA) secara khusus membahas fenomena model kampanye dengan diskusi terbuka Anies Baswedan ini. Dalam laporannya itu CNA menceritakan seorang mahasiswa Universitas Hazairin di Bengkulu, tidak menahan diri saat menantang Anies Baswedan dengan pertanyaan-pertanyaan yang pedas, bahkan terkadang menghujaninya dengan pertanyaan lanjutan. 

Salah satu isu utama yang diangkat adalah sikapnya terhadap rencana ibu kota baru Indonesia, Ibu Kota Nusantara (IKN), yang merupakan kebijakan Presiden Joko Widodo yang akan segera berakhir. Mahasiswa juga menginterogasi Anies tentang kemiskinan dan korupsi di Indonesia. 

Saat ia menjawab pertanyaan, meluangkan waktu untuk membongkar topik dan memberikan penjelasan rinci, kandidat tersebut tampak alami dalam berurusan dengan kaum muda. “Bagaimanapun, ia adalah seorang akademisi yang kemudian menjadi rektor universitas yang membuatnya menghabiskan waktu bertahun-tahun berinteraksi dengan kaum muda, yang ia tempatkan sebagai inti strategi kampanyenya dalam pemilihan presiden nanti,” lapor CNA.

Setelah sesi yang diadakan sebagai bagian dari kampanye pemilu pada bulan Desember, mantan Gubernur Jakarta ini mengatakan kepada CNA bahwa dia yakin seorang pemimpin tidak boleh takut dikritik dan dialog adalah cara terbaik untuk memahami satu sama lain, terutama para pemuda. “Saya tidak pernah memandang mereka yang terlibat dalam dialog kritis sebagai musuh. Mereka adalah sahabat, orang-orang yang juga peduli dengan Indonesia,” kata Anies. 

Generasi Muda Menjadi Fokus di Pilpres 2024

Pada 14 Februari 2024, lebih dari 204 juta orang akan memilih siapa yang mereka inginkan untuk memimpin negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dari tiga pasangan kandidat. Lebih dari separuh dari mereka adalah kaum muda berusia antara 17 dan 42 tahun. Inilah yang menjadi alasan Anies, 54 tahun, mengidentifikasi kaum muda sebagai fokus kampanyenya dan dalam masa kepresidenannya jika ia terpilih.

Ketika ditunjuk sebagai rektor Universitas Paramadina yang berorientasi Islam di Jakarta tahun 2007 pada usia 38 tahun, Anies merupakan orang termuda dalam sejarah Indonesia yang menduduki jabatan tersebut. Ia kemudian dikenal secara nasional ketika mendirikan gerakan pendidikan pada 2009 bernama Indonesia Mengajar. Dalam gerakan ini para profesional muda direkrut untuk menjadi guru sekolah dasar di daerah pedesaan selama satu tahun sebagai cara untuk berkontribusi kepada masyarakat.

Anies mengatakan pengalamannya sebagai akademisi membuatnya tetap teguh, dan mendorong keinginannya untuk melakukan perubahan di negara ini – dimulai dari generasi muda yang ia temui saat kampanye presiden. “Perubahan yang kami mulai adalah perubahan yang membawa rasa keadilan,” kata Anies ketika CNA bergabung dengannya saat makan siang di restoran lokal dan mengambil kesempatan untuk mewawancarainya secara eksklusif. 

Mempermainkan citranya sebagai seorang intelektual dan ulama juga tampaknya menjadi bagian penting dari strategi kampanyenya, dibandingkan dengan dua pesaingnya lainnya. Anies, yang mencalonkan diri sebagai presiden kedelapan Indonesia, berpasangan dengan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar – ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berhaluan Islam.

Dua pasangan lainnya adalah Prabowo Subianto bersama pasangannya Gibran Rakabuming Raka serta Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD. Prabowo adalah pensiunan jenderal Angkatan Darat yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, sedangkan Gibran adalah Wali Kota Solo. Sementara Ganjar adalah mantan Gubernur Jawa Tengah yang mencalonkan diri bersama Mahfud, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Kampanye untuk Perubahan Berdasarkan Keadilan

Memperjuangkan kepentingan rakyat adalah tema utama dalam pesan kampanye Anies, seperti bagaimana ia berulang kali menyatakan penolakannya terhadap rencana ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur. Seperti diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan pada 2019 memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke daerah terpencil di hutan Kalimantan bagian timur, yang sekarang bernama Ibu Kota Nusantara (IKN).

Namun, Anies sering menegaskan bahwa dirinya tidak menganggap keberadaan ibu kota baru itu mendesak, tidak seperti dua calon presiden lainnya, Prabowo dan Ganjar. Kedua pasangan Capres ini mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan rencana Presiden Joko Widodo untuk ibu kota baru.

Ketika ditanya oleh seorang mahasiswa saat gelaran Desak Anies mengapa IKN tidak diperlukan mengingat janji kampanyenya adalah menciptakan perubahan, Anies menyuarakan keberatannya berdasarkan pandangannya tentang keadilan dan kesetaraan. Ia juga mengatakan ada kebutuhan yang lebih mendesak yang harus dipenuhi yang lebih penting bagi seluruh negeri.

Misalnya, ia menyebutkan memastikan guru mendapatkan gaji yang lebih baik, membangun lebih banyak sekolah, serta menyediakan lebih banyak klinik kesehatan di seluruh Indonesia. Selain itu, Anies beralasan Istana Kepresidenan yang baru hanya bisa dinikmati oleh pejabat negara. 

Jadi, jika Anies terpilih sebagai presiden Indonesia berikutnya, bagaimana dia akan membangun ibu kota baru senilai US$31 miliar jika itu bukan prioritasnya? Menanggapi pertanyaan CNA, Anies mengulangi kalimat yang sama seperti yang disampaikannya kepada mahasiswa pada Desak Anies tentang kebutuhan mendesak lainnya yang memerlukan perhatian segera. 

“Menurut saya, hal-hal yang penting dan mendesak perlu kita urus dulu. Hanya dengan begitu kita akan mengerjakan hal-hal yang penting namun tidak mendesak.” Dia menambahkan, akan membentuk tim untuk menilai kebutuhan tersebut jika dia berkuasa.

Sikap formal dan akademis Anies juga terlihat saat bertemu dengan sekitar seribu relawan di auditorium setempat di Bengkulu pada sore hari. Setibanya di sana, segerombolan wanita paruh baya menyerbu masuk ke aula, ingin berfoto selfie dengan Pak Anies atau berjabat tangan. Mereka histeris berdesak-desakan, nyaris menginjak wartawan yang mengikutinya dan berada tepat di belakangnya. Berdiri di podium tengah auditorium, Anies mengaku senang bisa kembali ke Bengkulu.

Cucu Abdurrahman Baswedan – pahlawan nasional keturunan Arab yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia – Anies menonjolkan ke-Islamannya dengan mengatakan bahwa ia bersyukur bisa kembali ke Bengkulu dan bisa berwudhu dengan air Bengkulu lagi.

Dia mengulangi kalimat yang sama beberapa hari kemudian ketika berkampanye di kota lain. “Saya bertanya kepada kalian semua, mengapa kita berkumpul di sini hari ini? Mengapa? Mengapa? Untuk apa? Untuk apa? Untuk apa? Untuk perubahan! Mengubah! Mengubah!” katanya kepada orang banyak dengan penuh semangat.

“Ingat, kita berkumpul di sini hari ini karena kita menginginkan perubahan,” kata Anies kepada hadirin – banyak di antara mereka yang mengenakan atribut dari partai koalisi Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PKB, yang mendukungnya. “Kami menginginkan keadilan di Indonesia dan Indonesia yang sejahtera bagi semua.” Ia menambahkan, masyarakat harus memilihnya karena kehidupan di Indonesia sekarang sulit.

Memiliki Irisan Sejarah dengan Jokowi

Satu dekade yang lalu, Anies adalah juru bicara tim pemenangan Jokowi ketika menjabat sebagai gubernur Jakarta dan memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2014. Jokowi menang melawan Prabowo, yang kini kembali mencoba peruntungan untuk meraih jabatan puncak sebagai presiden untuk ketiga kalinya. Setelah menang, Jokowi menunjuk Anies sebagai menteri pendidikan pada bulan Oktober 2014. 

Namun masa jabatan Anies sebagai menteri hanya berumur pendek. Kurang dari dua tahun menjabat, dia dipecat pada Juli 2016 dengan alasan yang tidak diketahui. Sejak saat itu, beredar kabar bahwa hubungan Anies dan Jokowi memburuk, meski beberapa kali sempat tampil bersama. 

Kampanye Anies untuk perubahan juga dicap oleh banyak pengamat sebagai upaya untuk menunjukkan Indonesia yang lebih baik, berbeda dari masa kepemimpinan Jokowi selama satu dekade terakhir dan sebagai cara untuk mendongkrak mantan bosnya. Ia juga dipandang oleh sebagian orang sebagai antitesis dari Jokowi meskipun Anies menolak anggapan itu.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button