News

Pakar Pidana: Pelaku Kasus Staycation Cikarang Terancam 12 Tahun Penjara

Pakar hukum pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad) Nella Sumika Putri menyatakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa digunakan sebagai dasar untuk menjerat pelaku yang melakukan terlibat dalam kasus staycation Cikarang.

Menurut Nella, UU TPKS dihadirkan untuk melindungi perempuan dari potensi kekerasan seksual dan di kasus staycation ini terjadi di ruang kerja. Sehingga, sambung dia, UU ini bisa digunakan untuk menimbulkan efek jera serta mencegah kejadian serupa terjadi lagi, “Bisa pakai pasal 6c UU TPKS,” ungkap Nella kepada Inilah.com di Jakarta, Rabu (10/5/2024).

Nella mengatakan penggunaan pasal ini bisa mengancam hukuman penjara maksimal 12 tahun. Selain itu, pelaku yang dijerat dengan pasal UU TPKS ini juga bisa dijatuhi pidana denda sampai Rp300 juta.

Untuk pembuktiannya, polisi bisa menggunakan bukti-bukti elektronik yang sudah diserahkan korban kepada pihak penyidik. “Berdasarkan Pasal 24 Ayat 1 dan Pasal 25 UU TPKS, bukti informasi elektronik dan keterangan korban sudah cukup,” tambah Nella.

Sementara itu, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menilai ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam persoalan ini. Sebab, bila memang kesediaan menerima ajakan staycation oleh atasan, tercantum dalam salah satu butir perjanjian kontrak kerja, maka hal tersebut telah memenuhi syarat terjadinya sebuah pelanggaran HAM.

“Jadi memang Pak Dhana (Dirjen HAM Kemenkumham), beliau juga terlibat dalam Undang-Undang TPKS, langsung mengomentari bahwa kalau memang itu (staycation) tercantum di dalam suatu perjanjian kerja, ini pada dasarnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” ujarnya dalam diskusi di Erasmus Huis, Jakarta Selatan (10/5/2023).

Lebih lanjut dijelaskan, pelanggaran HAM yang terjadi kasus ini sesuai dengan asas misbruik van omstandigheden. Ini artinya, sambung dia, atasan dari korban melakukan penyalahgunaan keadaan.

“Biar bagaimana pun ketika seseorang melamar pekerjaan, ini sebenarnya posisi tidak setara antara pemberi kerja dan penerima kerja. Ketika ada kewajiban dalam suatu perjanjian kerja disuruh menginap atau staycation itu sebenarnya bisa dimintakan pembatalan, karena kedudukannya tidak seimbang,” papar dia.

Ia mengatakan, Direktorat Jenderal (Ditjen) HAM pun telah membangun koordinasi bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Pemerintah Provinsi Jawa barat, dan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menindaklanjuti persoalan ini sampai tuntas.

Diketahui, jagat media sosial (medsos) dibikin heboh dengan adanya kabar soal oknum perusahaan di Cikarang, Jawa Barat (Jabar) yang memberi syarat ‘tidur’ bagi karyawati yang ingin kontrak kerjanya diperpanjang.

Usai viral, korban berinisial AD (24) sudah melakukan berbagai cara untuk memperjuangkan keadilan. Salah satunya mengadu ke LPSK. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pihaknya akan menelaah permohonan tersebut guna memproses syarat-syarat pemberian perlindungan.

“Sudah (mengajukan), kami akan bertemu dengan penasihat hukum dan korbannya hari ini. Korban mengajukan permohonan perlindungan pada Sabtu, 6 Mei 2023 melalui website LPSK,” ungkap Edwin kepada awak media di Jakarta, Selasa (9/5/2023).

Sebelum ke LSPK, AD bersama kuasa hukumnya juga telah melaporkan kejadian itu ke Polres Metro Bekasi pada Sabtu (6/5/2023). AD melaporkan atasannya atas dugaan pelecehan seksual nonfisik.

Sejumlah bukti chat antara korban dan terduga pelaku pun diserahkan.”Untuk dugaannya ini terkait pelecehan seksual secara non fisik. Untuk UU ITE dan tenaga kerjanya lagi digodok karena itu beda ranahnya,” kata kuasa hukum AD, Alin Kosasih.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button