Kanal

Mengapa Dunia Ragukan Data COVID-19 China?

China telah merilis hitungan kematian COVID-19, mencakup mereka yang meninggal karena penyakit lain. Para ahli mengatakan jumlah sebenarnya dari kasus gelombang terbaru di negara itu tidak jelas. Mengapa muncul keraguan tentang data tersebut?

Wang Fugang, 70, seorang pensiunan tiba-tiba kehilangan ibunya yang sudah lanjut usia karena COVID-19 pada awal tahun. Dia adalah salah satu dari hampir 60.000 yang meninggal di rumah sakit selama gelombang COVID-19 terbaru di China. Tubuh ibunya masih terbaring di kamar mayat.

“Pemerintah kota akan membuat pengaturan lain untuk kematian di rumah sakit,” kata Wang, yang sedang menunggu pihak berwenang untuk memberi tahu dia kapan jenazah akan dikremasi, seperti dilaporkan CNA.

“Jadwal kremasi tidak pasti. Kami akan mendapatkan pemberitahuan dalam waktu 90 hari. Mereka akan menelepon kami dan memberi tahu ke mana harus pergi untuk mengumpulkan abu,” lanjut Wang.

Setelah kematian ibunya akibat COVID-19, Wang harus dengan sopan menolak belasungkawa dan hadiah dari kerabat dan teman. Dia mengatakan rasanya tidak benar untuk mengambilnya ketika dia belum melepas ibunya pergi dengan upacara pemakaman yang tepat, sebuah situasi yang sulit dia terima.

Tapi Wang telah menemukan beberapa pelipur lara setelah menyadari bahwa orang lain mengalami hal lebih buruk. “Beberapa meninggal di rumah karena kekurangan tempat tidur rumah sakit. Beberapa masih menunggu untuk memindahkan jenazah ke kamar mayat atau rumah duka setelah berhari-hari,” tambahnya.

Data meragukan

China pada 14 Januari lalu melaporkan hampir 60.000 kematian terkait COVID-19 antara 8 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023, jumlah besar pertama sejak pemerintah melonggarkan kebijakan nol-COVID.

Jumlah korban juga termasuk kematian akibat penyakit lain selain gagal pernapasan, setelah kritik luas terhadap definisi sempit kematian akibat COVID-19 di Beijing. Tetapi para ahli mengatakan data terbaru masih kurang menggambarkan tingkat keparahan wabah tersebut.

“Masih ada kesenjangan besar antara jumlah kematian yang dilaporkan dan perkiraan internasional,” kata Dr Huang Yanzhong, peneliti senior untuk kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri.

“Jika Anda membagi 60.000 kematian ini dengan jumlah rumah sakit yang menangani kasus ini, setiap minggu rata-rata hanya satu pasien yang meninggal. Itu tampaknya tidak konsisten dengan bukti anekdotal,” imbuhnya.

Jumlah kematian yang direvisi tidak termasuk mereka yang meninggal di luar rumah sakit, seperti di fasilitas perawatan lansia atau di rumah. “Jika kita berbicara tentang pedesaan, di mana ada kekurangan akses ke alat tes antigen … Sangat mungkin banyak dari pasien ini meninggal di rumah bahkan tanpa dites untuk COVID-19,” kata Dr Huang.

Sementara mengutip Reuters, China juga melaporkan lonjakan besar dalam rawat inap COVID-19 dalam sepekan hingga 15 Januari, ke level tertinggi sejak pandemi dimulai, menurut laporan yang diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Rawat inap naik 70 persen pada minggu sebelumnya menjadi 63.307, menurut WHO, mengutip data yang disampaikan oleh Beijing.

Tetapi dalam konferensi pers pada Kamis (19/1/2023), pejabat kesehatan negara itu mengatakan jumlah pasien COVID-19 yang melapor ke rumah sakit telah mencapai puncaknya. Alasannya, orang yang dirawat dengan kondisi kritis pada 17 Januari lebih sedikit, sekitar 40 persen, dibandingkan dengan puncaknya pada 5 Januari.

Krematorium kesulitan melayani

CNA memeriksa beberapa krematorium di Shanghai dan menemukan bahwa beberapa hanya menawarkan upacara pelepasan jenazah selama 10 menit. Yang lain tidak mengatur sama sekali. Banyak yang menghadapi waktu tunggu beberapa bulan.

Satu krematorium mengatakan saat ini hanya menawarkan kremasi segera, dan tidak dapat menerima permintaan untuk mengadakan acara membuka peti mati. “Secara umum, waktu tunggu sekarang paling tidak satu bulan dan paling lama tiga bulan untuk jenazah dikremasi. Kemudian Anda bisa datang untuk mengambil abunya,” kata pihak krematorium.

Layanan pemakaman sangat kekurangan sehingga memicu percaloan. Pemerintah mulai menindak calo pemakaman yang mengenakan harga selangit. CNA memahami bahwa agen pemakaman tidak lagi diizinkan untuk menawarkan layanan perantara, dan pelanggan hanya dapat berhubungan langsung dengan kamar mayat untuk menghindari percaloan.

Ketika CNA mengunjungi toko yang menjual perlengkapan pemakaman, beberapa mengatakan bisnis naik setidaknya tiga kali lipat dan harga naik dua kali lipat. Namun yang lain mengatakan mereka terjebak dengan barang-barang yang tidak dapat mereka jual – karena banyak keluarga tetap tidak dapat mengadakan pemakaman.

“Saya tidak bisa menjual bunga segar sekarang,” kata seorang pemasok. “Siapa yang menginginkan mereka? Upacara peringatan tidak diadakan.”

Pemasok lain mengatakan, “Kami tidak memiliki bahan mentah. Banyak item yang kehabisan stok sekarang. Terlalu banyak orang yang meninggal dalam periode waktu ini.”

Ada keraguan yang meluas tentang laporan China tentang wabah yang telah membuat rumah sakit dan krematorium kewalahan sejak Beijing meninggalkan kontrol ketat COVID-19 dan pengujian massal bulan lalu.

Mengutip Reuters, beberapa ahli kesehatan memperkirakan bahwa lebih dari satu juta orang akan meninggal karena penyakit itu di China tahun ini. Lebih dari 90 persen dari mereka yang meninggal sejauh ini berusia 65 tahun ke atas.

Perusahaan data kesehatan yang berbasis di Inggris Airfinity memperkirakan kematian akibat COVID-19 dapat mencapai 36.000 sehari minggu depan. Angka ini bisa bertambah karena China bisa kembali menghadapi lonjakan di daerah pedesaan selama periode Tahun Baru Imlek, ketika jutaan orang memilih mudik pulang kampung.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button