Kanal

Orang Miskin Ekstrem Versus Orang Kaya Ekstrem

Pemerintah mencatat, jumlah penduduk miskin ekstrem secara nasional mencapai 5,59 juta jiwa atau mencapai tingkat 2,04 persen per Maret 2022. Angka yang masih besar. Sementara di sisi lain, orang-orang tajir terus mengalami peningkatan kekayaan. Sebuah ketimpangan yang bikin miris.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah harus mengentaskan 5,8 juta jiwa penduduk miskin hingga mencapai nol persen pada 2024. Ini setara dengan 2,9 juta orang per tahunnya. Angka ini menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Padahal secara global sudah menggunakan patokan US$2,15 PPP per hari.

“Metode penghitungan kemiskinan ekstrem dari pemerintah masih menggunakan angka US$ 1,9 PPP,” kata Suharso, baru-baru ini. Bila menggunakan basis perhitungan orang yang bisa disebut sebagai miskin ekstrem secara global, yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta orang penduduk miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahunnya.

Namun Suharso memastikan, pemerintah akan terus konsisten mengentaskan kemiskinan ekstrem hingga 2024, caranya dengan memperbaiki pemberian bantuan sosial secara lebih tepat sasaran untuk mengurangi beban pengeluaran, pemberdayaan sosial dan ekonomi dengan memberikan jaminan peningkatan pendapatan, serta memperluas akses pelayanan dasar.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan esktrem; setara dengan US$1.9 PPP (Purchasing Power Parity). PPP ditentukan menggunakan “absolute poverty measure” yang konsisten antar negara dan antar waktu.

Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp. 322.170/orang/bulan (BPS,2021). Sehingga misalnya dalam 1 keluarga terdiri dari 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak), memiliki kemampuan untuk memenuhi pengeluarannya setara atau di bawah Rp1.288.680 per keluarga per bulan (BPS, 2021).

Kenaikan kemiskinan ekstrem terjadi di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua. Tercatat, tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi yaitu di Papua, mencapai 10,92 persen dan di Papua Barat sebesar 8,35 persen.

Terkait layanan dasar, 20,4 persen rumah tangga miskin masih belum mendapatkan akses air minum layak, 39,5 persen belum mendapatkan akses sanitasi layak, dan 40,5 persen penduduk miskin belum mendapatkan jaminan kesehatan.

Apa bedanya kemiskinan biasa dan kemiskinan ekstrem? Perbedaannya dapat dilihat dari sisi pengeluaran, untuk kemiskinan ekstrem yaitu seseorang yang kebutuhan atau pengeluaran sehari-harinya hanya Rp10.739 per hari dan hanya Rp322.170 per bulan. Sementara, miskin biasa pengeluarannya Rp15.750 per hari dan Rp472.525 per bulan.

Dengan demikian penduduk miskin ekstrem masih masuk kategori dari penduduk miskin, karena mereka hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Penentuan garis kemiskinan ekstrem disepakati oleh negara yang tergabung di PBB dan pengukurannya dilakukan oleh Bank Dunia. Di Indonesia garis kemiskinan ekstrem ditetapkan oleh BPS.

Sementara angka kemiskinan Indonesia, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani pada September 2022 sebesar 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang. Tingkat kemiskinan ini naik tipis dari Maret 2022 (9,54 persen) tetapi lebih rendah dibanding tingkat kemiskinan pada September 2021 (9,71 persen).

Fenomena paradok ekonomi

Di tengah masih banyaknya penduduk miskin ekstrem, data lain menunjukkan kekayaan orang kaya di Indonesia terus meningkatkan. Penguasaan ekonomi hanya oleh segelintir orang saja. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sedikit orang kaya saja. Ini menyebabkan ketimpangan ekonomi yang cukup tajam, antara kaum miskin dan kaum berpunya.

Lihat saja pengumuman majalah Forbes yang menyebutkan jajaran konglomerat Indonesia utamanya di 10 besar. Ada raja batu bara Low Tuck Kwong di peringkat pertama yang membukukan kekayaan sebesar US$29 miliar atau Rp429,01 triliun. Low Tuck Kwong mendulang kekayaannya lewat perusahaannya PT Bayan Resources Tbk (BYAN).

Ada juga Hartono bersaudara yang berada di urutan kedua dan ketiga dengan akumulasi kekayaan keduanya mencapai US$52,1 miliar atau Rp775 triliun. Bila dipisah, Budi Hartono memiliki kekayaan sebesar US$26,6 atau Rp393,5 triliun dan Michael Hartono meraup harta sebesar US$25,5 setara Rp377,1 triliun.

Berikutnya Sri Prakash Lohia dengan kekayaan US$7,4 miliar (Rp109,43 triliun). Lalu Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, taipan berusia 94, mengalami lonjakan aset setelah salah satu perusahaannya di Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada (NCKL) resmi mencatatkan diri di bursa Indonesia. Lim membukukan kekayaan sebesar US$6,3 miliar atau Rp93,1 triliun.

Nama Prajogo Pangestu juga tercatat masih sebagai orang kaya keenam dengan US$ 5,9 miliar (Rp87,26 triliun), berikutnya Chairul Tanjung dengan aset senilai US$4,9 miliar (Rp72,47 triliun). Dewi Kam, kekayaannya juga meningkat hampir 100 persen seiring meningkatnya nilai saham Bayan Resources sebanyak 3 kali lipat pada 2022 dengan kekayaan US$4,7 miliar (Rp69,51 triliun). Urutan kesembilan ada Tahir dan Keluarga dengan kekayaan US$4,3 miliar (Rp63,61 trilliun) serta kesepuluh Djoko Susanto memiliki aset US$4,3 miliar (Rp63,61 triliun)

Ketimpangan ekonomi

Ini menunjukkan ketimpangan ekonomi sudah sangat tinggi. Perbandingan orang miskin ekstrem dan orang kaya ekstrem sudah seperti bumi dan langit. Ketimpangan terlihat dari rasio gini yang masih tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini sebesar 0,381 pada September 2022.

Angka tersebut memang turun tipis turun 0,003 poin dibandingkan Maret 2022 yang sebesar 0,384 seiring enurunan angka penduduk miskin pada Maret 2021 karena perekonomian mulai pulih dari dampak Covid-19.

Gini Ratio adalah menggambarkan pemerataan dan ketimpangan secara keseluruhan, mulai dari pendapatan hingga distribusi. Rentang skor 0-1. Indeks 0 menunjukan pemerataan total, sedangkan 1 terjadi ketidak merataan atau ketimpangan sama sekali.

Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran nasional di kelompok 40% terbawah sebesar 18,24%. Artinya, pengeluaran penduduk berada di kategori tingkat ketimpangan rendah pada September 2022. Jika dilihat dari klasifikasi daerahnya, persentase pengeluaran nasional di kelompok 40% terbawah di perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 17,19 persen dan 21,06

Hal itu terlihat dari rasio gini yang telah mencapai 0,39. Bahkan di beberapa kota mencapai 0,43, yang berarti ketimpangannya sudah sangat dalam. Rasio gini adalah suatu angka bernilai 0-1, di mana 0 menunjukkan ketiadaan ketimpangan dan 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.

Ketimpangan ekonomi tampak pada penguasaan aset atau kekayaan. Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) beberapa waktu lalu mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin. Menurut survey mereka, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Bahkan, 10 persen orang terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional.

Ketimpangan juga tampak pada penguasaan tanah. The Institut for Global Justice (IGJ) mencatat, 175 juta hektar atau sekitar 93 persen daratan dikuasai oleh pemodal swasta/asing (2015). Sebanyak  0,2 persen penduduk menguasai 56 persen lahan. Hal yang sama terungkap dari penelitian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang mencatat bahwa 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara.

Dua model jiwa manusia

Kesenjangan tentang orang kaya ekstrem dan orang miskin ekstrem ini mengingatkan pada dua model jiwa manusia. Ada orang yang kekayaannya sudah melampaui kebutuhan hidupnya bahkan melampaui apa yang dibutuhkan anak cucunya dalam hitungan matematika kehidupan normal, namun dia begitu semangat untuk tetap mengumpulkan harta.

Sementara model lainnya adalah orang yang kekayaannya tak lebih dari gubuk tempat berlindung dan pakaian sederhana namun ia sudah merasa kaya. Mereka tak perlu menjadi orang paling kaya yang penting adalah bisa tidur malam dengan nyenyak dan bangun pagi dalam keadaan segar bugar. Itu sudah lebih dari cukup.

Yang jelas menghapus kemiskinan ekstrem bukan sekadar tugas pemerintah saja. Semua pihak harus terlibat dan peduli termasuk orang-orang yang mengalami kekayaan ekstrem. Semua harus bersama-sama berkolaborasi sehingga masyarakat bisa merasakan manfaat pembangunan secara merata dan berkeadilan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button