Market

Tak Kunjung Disahkan, Pakar UGM Curigai Ada Pasal ‘Selundupan’ di RUU EBT

Pakar ekonomi energi dari UGM, Fahmy Radhi mempertanyakan tak kunjung disahkannya RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi UU. Bisa jadi ada yang mencoba selundupkan pasal power wheling yang merugikan PLN.

Kata Fahmy, berlarutnya pengesahan RUU EBT menjadi undang-undang di DPR, menimbulkan syak-wasangka. Bahwa ada oknum yang mencoba memasukkan pasal power wheeling ke dalam beleid itu.

Yang dimaksud power wheling adalah pemanfaatan bersama jaringan listrik milik PLN dan pembangkit swasta. Awalnya, skema power wheling ini dimasukkan dalam RUU EBT. Namun kemudian dicoret lantaran berpotensi merugikan keuangan PLN bisa dijalankan.

“Meski sudah ditolak, bukan berarti peluang pasal power wheling masuk UU EBT sudah tertutup. Beberapa waktu lalu, sebuah koran ekonomi nasional, memuat artikel berjudul ‘Power Wheling Tarik Investasi Listrik EBT’. Jelas ada oknum yang ngotot memasukkannya dalam UU EBT,” ungkap Fahmy.

Dalam artikel tersebut, kata dia, memuat wawancara Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang. Dalam penerapan power wheling, jelas lebih menguntungkan swasta. Karena mereka bisa menjual langsung listrik yang dihasilkannya kepada kosumen rumah tangga atau industri.

“Tanpa harus membangun jaringan transmisi dan distribusi sendiri. Dengan mekanisme power wheeling, produsen listrik swasta dapat menggunakan jaringan milik PLN secara open sources dengan membayar sejumlah fee, yang ditetapkan Menteri ESDM,” paparnya.

Di sisi lain, kata mantan Tim Reformassi Tata Kelola Migas ini, menerangkan bahwa penerapan power wheeling merugikan PLN, karena menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen. Serta pelanggan non-organik hingga 50 persebn.

“Kerugian PLN itu akan menambah beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN. Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen. Lantaran harga setrum ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, yang tergantung demand and supply,” tuturnya.

Ketiksa permintaan setrum tinggi sementara pasokannya tetap, lanjutnya, tarif listrik pasti akan dinaikkan. Akibatnya, biaya listrik yang harus dibayar rakyat sebagai konsumen setrum, semakin berat.

Sedangkan pernyataan yang menyebut skema power wheeling efektif untuk menarik masuknya investasi listrik EBT, menurut Fahmy, belum terbukti benar. Data justru membuktikan bahwa meskipun tidak ada mekanisme power wheeling, investasi listrik EBT masih tetap tinggi, yang tersebar di berbagai daerah luar Jawa

“Misalnya, PLTS Kupanga, Sidrap, Gorontalo, Likupang, PLTS Apung Cirata dan PLTB Kalsel. Berdasarkan data itu, tidak perlu ada kekhawatiran dan kesangsian lagi bagi DPR untuk segera mengesyahkan UU EBT, tanpa pasal power wheeling, dalam waktu dekat ini,” papar Fahmy.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button