Kanal

Kesaksian Seorang Ayah dan Anak Terimpit di Gaza yang Kian Mencekam

Oleh: Muhammad Husein Gaza, Jurnalis dan Kontributor Lepas

Bayangkan mendapat telepon dari istri Anda di tengah-tengah suatu pagi, sementara suara jet tempur Israel membayangi langit Gaza. Tepat itulah yang saya alami. 

Suara istri saya, Neng Jinan, terdengar tegang namun jernih dari ujung telepon. Ia dan dua putra kami, Muslim (7) dan Habib (3), saat ini berada di rumah kakek mereka di Khan Younis, Jalur Gaza Selatan. “Gempuran semakin dekat, Abi,” katanya dengan suara pelan.

“Akses internet terputus, listrik pun sudah padam. Tapi Alhamdulillah, masih ada sedikit daya di ponsel ini,” lanjutnya. Ia menceritakan bagaimana mereka, satu keluarga besar, berkumpul dalam satu ruangan semalam suntuk.

Dentuman yang menggema tak henti-hentinya membuat dinding-dinding rumah seolah-olah bergetar. “Bangunan tetangga sudah hancur. Banyak jiwa yang syahid, Abi,” katanya lagi.

Namun, yang paling mengiris hati adalah mendengar bagaimana Muslim, putra kami yang berusia tujuh tahun, merespons situasi ini. “Dia sampai kencing di celananya, Abi. Sangat ketakutan,” kata Jinan. 

Kemudian, dengan nada suara yang bergetar, ia menirukan ucapan Muslim, “Umi, Muslim udah pasrah. Gak apa-apa kalau cita-cita Muslim gak tercapai… insya Allah surga menjadi masa depan Muslim.”

Keesokan harinya, Muslim berkumpul dengan sepupu-sepupunya yang juga sedang mengungsi. Seorang dari mereka bertanya, “Muslim, gimana kalau Abi kamu kena bom?” Dengan polos, Muslim menjawab, “Kalau Israel berani ngebom Abi, Istiqomah akan kirim pasukan perang dari Indonesia untuk menyerang Israel.” 

Istiqomah adalah bibi Muslim yang tinggal di Indonesia. Di mata anak kecil ini, masih ada semangat perlawanan, walau mungkin ia belum paham betul makna dari semua ini.

Saat ini, saya dan tiga Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya berada di Wisma Dr. Jose Rizal Jurnalis di kompleks Rumah Sakit Indonesia di Kota Baitlahia, Jalur Gaza Utara. Koneksi internet di sini sangat terbatas. 

Kami hanya menumpang Wi-Fi di kantor manajemen rumah sakit dengan kecepatan yang memprihatinkan, tetapi setidaknya cukup untuk mengirim kabar kepada keluarga dan teman-teman yang prihatin dengan kondisi kami.

Saat saya menutup telepon, sebuah pertanyaan terus menggantung di pikiran saya: sampai kapan anak-anak seperti Muslim harus hidup dalam bayang-bayang kematian? Sampai kapan mereka harus memendam cita-cita yang mungkin tak akan pernah tercapai? Sampai kapan suara-suara ini akan terdengar di dunia yang terus berputar dalam siklus kekerasan, tanpa tahu belas kasihan?

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button