Market

Industri Tekstil, Baru Bernapas Sudah Terancam Impor

Rasanya belum kering baju lebaran yang membuat industri tekstil panen, kini awan mendung sudah kembali datang. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) baru saja merasakan manisnya penjualan saat lebaran kini harus berhadapan dengan ancaman baru. Ancaman itu berasal dari izin ekspor.

Pada kuartal I-2022, kinerja industri tekstil dan pakaian jadi mengalami pertumbuhan per kuartal positif sebesar 3,33 persen. Sedangkan untuk pertumbuhan tahunan sektor industri tekstil dan pakaian jadi kuartal I-2022 (year on year) sebesar 12,45 persen. Kinerja pertumbuhan yang positif ini merupakan kembangkitan yang signifikan dibandingkan kinerja di 2021 dan 2020 yang minus cukup dalam. Pencapaian pertumbuhan industri ini didorong penjualan dalam negeri yang meningkat tajam.

“Dampak momen lebaran dan investasi baru dalam rangka penambahan kapasitas produksi dari hulu sampai hilir. Para pengusaha kembali berinvestasi menambah kapasitas usai serangkaian kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor,” kata Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Rabu (1/6/2022).

Banyak orang berpikir industri TPT itu skala besar namun sebenarnya termasuk skala IKM Industri Kecil Menengah. Sejak Pandemi COVID-19 melanda dunia, termasuk di Tanah Air, industri TPT mengalami tekanan bahkan hingga semester I-2021. Kontribusi penurunan terbesar berasal dari penurunan pakaian jadi yang memiliki porsi 66 persen dari total ekspor TPT Indonesia.

Meski sedikit terbantu adanya permintaan Alat Pelindung Diri atau APD untuk keperluan penanganan COVID-19, namun permintaannya tidak begitu besar sehingga tidak bisa menutupi anjloknya penjualan. Sejak pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baru kemudian industri mulai kembali merangkak.

Selain pelonggaran PPKM juga ada kebijakan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) yang menjadi pemicu kebangkitan industri TPT nasional. Apalagi, pemerintah sudah mencanangkan industri TPT adalah sunrise industry.

Peningkatan penjualan saat lebaran ini menjadi angin segar bagi pelaku industri ini. Berarti ada tambahan dari neraca perdagangan yang kian membaik. Pengusaha pun tengah menyiapkan investasi baru dalam rangka penambahan kapasitas produksi dari hulu sampai hilir.

Mengutip Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ada sembilan industri TPT yang melakukan ekspansi, dengan total nilai investasi sebesar Rp2 triliun di Pulau Jawa dan Rp8,5 triliun di Pprovinsi Riau.

“Perluasan usaha ini menandai optimisme para investor industri TPT dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik hingga ekspor,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dikutip dari situs resmi Kemenperin, pertengahan Februari lalu.

Pemerintah juga telah membantu industri ini dengan merestrukturisasi permesinan akan berlanjut tahun ini. Tahun ini saja pemerintah mengalokasikan dana Rp5 miliar hingga Rp8 miliar untuk penyempurnaan mesin TPT terutama untuk subsektor pencelupan dan printing.

Ancaman Baru

Namun belum lega bernapas, para pelaku industri TPT harus bersiap dengan ancaman baru. Kementerian Perdagangan (Kemendag) bakal kembali membuka keran impor tekstil untuk importir umum (API-U) pada kuartal II-2022. Alasannya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kecil menengah.

“Ini alasan yang agak aneh, karena selama tiga kuartal terakhir telah terbukti industri dalam negeri sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM dan puncaknya di kuartal I-2022 ketika permintaan naik, kami sangat mampu mensuplai bahan baku untuk IKM,” kata Redma.

Ia pun menenggarai ada lobi importir yang berkepentingan di balik pemberian izin impor ini. “Ya impor sih boleh-boleh saja, tapi jangan hancurkan industri dalam negeri, suplai dalam negeri kan sudah terbukti mencukupi, kenapa harus impor,” ujarnya.

Redma menjelaskan, kebijakan itu menjadi kontra-produktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dan memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Para pelaku usaha pun sangat mengkhawatirkan kinerja sektor tekstil mulai kuartal II hingga kuartal IV akhir tahun ini. Terlebih, adanya tekanan dari sisi biaya yaitu kenaikan bahan baku, kenaikan tarif listrik dan kenaikan PPN.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ian Syarif mengatakan bahwa sebagian besar barang impor yang beredar di pasar baik grosir maupun online melakukan penjualan tanpa pembayaran PPN sehingga produk dalam negeri kalah saing karena praktik unfair.

“Bagaimana bisa kami menaikan harga jual kalau banyak barang impor yang jual tanpa PPN,” katanya. Ia pun berharap agar pengawasan terhadap barang impor juga diperketat agar tercipta level playing field yang sama di pasar domestik.

Oversupply Impor Tekstil

Sejak lama pasar di dalam negeri dibanjiri produk tekstil impor dan mengancam daya saing produk domestik. Termasuk impor ilegal yang masuk dari pelabuhan kecil tentunya tanpa bea masuk. Barang impor ilegal ini dijual dengan leluasa di dalam negeri baik lewat penjualan offline maupun online.

Oversupply impor tekstil bisa mengancam industri tekstil lokal oleh karena itu perbaikan tata niaga aturan sektor TPT baik sektor hulu maupun hilir menjadi sangat penting. Penerapan safeguard sektor garmen yang konsisten menjadi kebutuhan yang mendesak.

Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (Ikatsi) Riza Muhidin pernah menghitung ada 130 ribu ton garmen yang selama ini diimpor yang sebenarnya bisa disubstitusi oleh produk dalam negeri. Sehingga pada akhirnya perekonomian negara akan mendapat benefit yang sangat besar karena dampaknya bukan hanya untuk industri garmen itu sendiri, tetapi juga untuk produsen di mid-stream dan di up-stream.

Yang jelas, industri TPT juga harus mendapat perhatian karena banyak berkontribusi terhadap penyediaan lapangan kerja di berbagai daerah. Karena itu sudah selayaknya pemerintah bersikap pro-industri TPT. Sehingga perlu singkronisasi kebijakan sektor industri di Kementerian Perindustrian dan kebijakan perdagangan dalam dan luar negeri termasuk kebijakan impor TPT di tangan Kementerian Perdagangan.

Kebijakan pro-industri, juga harus selalu mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan industri dalam negeri, sehingga dapat tetap eksis dan bersaing di pasar dalam negeri dan luar negeri. Sekaligus menertibkan praktik-praktik tidak fair di industri ini.

Sudah sewajarnya jika produk TPT buatan Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Apalagi dari sisi daya saing produk, buatan Indonesia tak kalah berkualitas dan mengikuti perkembangan fesyen. Jangan sampai orang Indonesia lebih memilih memakai baju produk asing, barang ilegal pula, yang pada akhirnya merusak pelaku usaha dan pekerja di sektor industri TPT nasional. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button