Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (24 – Jejak Al Murabitun di Andalusia)

Sejak runtuhnya Dinasti Bani Umayyah di Andalusia yang ditandai oleh diusirnya Khalifah Abu Bakar Hisyam bin Muhammad bin Abdul Malik bin Nasir A Marwani (Hisyam III) dan keluarganya, untuk meninggalkan Ibukota Cordoba, pada tahun 1031 M, akibat lemahnya kepemimpinan, hidup bermewah-mewah, dan tidak mampu menegakkan keadilan, yang bermuara pada ketidak puasan rakyat, kemudian melahirkan pemberontakan.

Para pemimpin umat Islam saat itu gagal mencari pengganti yang kompeten, sehingga menimbulkan perpecahan dan percekcokan antar kelompok yang tidak berkesudahan.

Era ini kemudian dikenal dengan istilah periode “Fitnah” yang ditandai munculnya banyak taifah. Pada periode ini tidak jarang suatu taifah berkolaborasi dengan kerajaan Kristen untuk menghabisi taifah lain.

Dalam situasi seperti inilah lahir Al Murabitun yang secara harfiah berarti “Pemersatu”.

Nama Al Murabitun tidak bisa dilepaskan dari situasi di Andalusia,  dimana umat Islam terpecah-belah oleh orientasi duniawi seperti: Kekuasaan dan harta, disamping terpecah karena semangat kesukuan atau kabilah walau tetap dikemas dengan bungkus Islam.

Kisah Al Murabitun berawal dari seorang ulama bermazhab Maliki bernama Waggag Ibn Zallu.

Sang Ulama mengirim salah seorang murid terbaiknya bernama Abdallah Ibn Yasin untuk mengajar suku Berber  Sanhaja yang bermukim di Sous dan Adrar, yang  kini masuk wilayah Mauritania. Dengan semangat puritanisme dan ortodoksi Islam, Ibn Yasin terus belajar disamping kegiatan mengajarnya,  hingga  pengaruhnya meluas.

Saat menunaikan ibadah Haji di Makkah, Ibn Yasin bertemu seorang kepala suku Lantuna yang berasal dari wilayah Sanhaja yang merupakan bagian dari Suku Berber bernama Yahya Ibn Umar.

Yahya sangat terkesan dengan Ibn Yasin yang mengajaknya kembali pada ajaran Islam yang murni, dengan jargon kembali pada Al Qur’an dan Sunnah.

Dukungan Ibn Yasin membuat Yahya sebagai kepala suku semakin termotifasi untuk memperluas wilayahnya.

Kolaborasi Kepala Suku dan tokoh spiritual ini membuatnya kuat, sehingga mampu menundukkan suku-suku lain, membuat wilayah kekuasaannya semakin hari semakin luas. Dalam sebuah pertempuran Yahya gugur, Yasin kemudian menunjuk adik Yahya yang bernama Abu Bakar sebagai penggantinya.

Pada tahun 1040 M, Al Murabitun dideklarasikan oleh Abu Bakar di Azougui, kemudian pada tahun 1058 M, pusat pemerintahannya dipindah ke Aghmat, dan pada tahun 1070 M dipindah ke Marakesh, yang kini menjadi salah satu kota penting di Maroko.

Al Murabitun yang berawal dari suku Nomaden di Kawasan Sahara Barat yang merupakan bagian dari suku Berber, di bawah kendali Abu Bakar dengan dukungan Ibn Yasin, kini menjelma menjadi kekuatan politik dan militer yang mengendalikan kekuasan yang cukup luas meliputi Maroko, Niger, dan Sinegal saat ini.

Pada tahun 1087 M Abu Bakar gugur dalam upaya memperluas kekuasaan, lalu digantikan oleh sepupunya bernama Yusuf Ibn Tasfin yang sangat piawai di medan tempur, sehingga jasanya sangat besar dalam perluasan wilayah kekuasaannya, membuat pengaruh Al Murabitun sampai ke Sahara Barat dan Al Jazair.

Pada tahun 1086 M setahun setelah jatuhnya Toledo, Emirat Sevilla, Granada, dan Badejoz yang merasa terancam dari kerajaan-kerajaan Kristen tetangganya, meminta bantuan Yusuf Ibn Tashfin untuk melakukan intervensi ke Andalusia. Yusuf Ibn Tasfin kemudian membawa pasukannya menyebrangi Selat Jibraltar menuju Andalusia.

Setelah berhasil mengalahkan Al Fonso VI, Raja dari Castile dan Leon pada perang Az Zallaqah (Battle of Sagrajas) yang menimbulkan korban besar pada pasukan Kristen,  yang oleh para sejarawan Islam dinilai berhasil menggagalkan upaya kerajaan-kerajaan Kristen di Utara untuk merebut wilayah-wilayah Islam di Selatan, Yusuf dan pasukannya kembali ke Marakesh.

A: “Apa pendapatmu terkait denga keterlibatan Al Murabitun dengan persoalan di Andalusia ?”, Aku bertanya pada Iqbal.

I: “Permintaan taifah-taifah kepada Yusuf untuk melakukan intervensi sudah tepat, karena jika tidak maka saat itu juga Andalusia sudah ditelan”.

A: “Mengapa kok meminta bantuan ke Al Murabitun ?”.

I: “Al Murabitun merupakan dinasti yang didukung oleh Suku Berber yang terkenal tangguh dalam pertempuran”.

A: “Aku berpendapat itu tindakan yang keliru, menurutku taifah-taifah itu seharusnya menyelesaikan masalahnya sendiri, bukan dengan cara mengundang orang luar intervensi ke wilayahnya”.

I: “Lalu menurutmu bagaimana seharusnya ?”, kata Iqbal balik bertanya.

A:”Mereka memang bisa menghentikan ancaman dari luar, akan tetapi masalah yang ada di dalam tidak terselesaikan”

I: “Ijinkan Aku melanjutkan kisahnya dulu, baru dikomentari”.

A: “Baik !”.

Setelah ditinggal Yusuf, taifah-taifah kembali berkelahi sendiri sehingga membuatnya tetap lemah dan terancam kembali.

Pada tahun 1090 M, Yusuf bin Tasfin kembali ke Andalusia untuk memenuhi permintaan banyak tokoh masyarakat dan ulama baik yang berasal dari Andalusia maupun dari wilayah lain. Termasuk Al Ghazali dari Bagdad dan Syech Al Turtushi dari Mesir dalam bentuk Fatwa.

Dengan dukungan moral dari umat dan dukungan spiritual dari para ulama, pada tahun 1094 M, Yusuf berhasil menaklukkan seluruh taifah-taifah di Andalusia, kemudian memasukkan wilayahnya sebagai bagian dari kekuasaan Al Murabitun.

Pada tahun 1097 M, Yusuf Ibn Tasfin yang menempatkan dinastinya sebagai bagian dari Khilafah Islamiayah yang berpusat di Bagdad, mendapatkan gelar “Amirul Muslimin” (Pemimpin kaum Muslim), sementara Khalifah yang berkedudukan di Bagdad bergelar “Amirul Mukminin” (Pemimpin kaum Beriman).

A: “Sekarang Aku akan bertanya lagi, apa yang dilakukan Dinasti Al Murabitun selama di Andalusia ?”.

I: “Mempertahankan diri dari serangan-serangan pasukan Kristen”.

A: “Itu saja ?”.

I: “Maksudmu ?”, Iqbal balik bertanya.

A: “Dalam bidang pendidikan, riset, sain, teknologi, dan seni, atau pengembangan ilmu secara umum ?”.

I: “Al Murabitun tidak menutup sekolah, pusat riset, dan berbagai industri yang berbasis sain dan teknologi saat itu. Mereka hanya melarang berbagai peraktik bid’ah yang dilarang dalam Islam”

A: “Apa yang dimasukkan kategori bid’ah ?”.

I: “Semua hal yang tidak ada tuntunannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah”.

A:“Di sinilah duduk masalahnya, dengan kriteria yang Kau sebutkan, maka pemahaman ke-Islaman kita menjadi sangat sempit dan literalis. Kalau bermewah-mewah, minum-minuman memabukkan, pesta dan dansa-dansi, Aku bisa faham. Akan tetapi kalau yang dimaksud berbagai produk ilmu atau seni yang berasal dari bukan Islam, Aku tidak bisa terima. Karena disinilah rahasia kemajuan Dinasti Bani Umayyah yang diwariskan Abdurrahman Addakhil, dan kuncinya bisa bertahan lama. Hal yang sama juga dialami oleh Dinasti Abbasiyah di Bagdad!”.

I: “Kau tidak boleh sembarangan, apa saja yang dikategorikan Bid’ah oleh Al Murabitun perlu penelitian tersendiri, karena tidak banyak dicatat oleh ahli sejarah”.

A: “OK, sekarang Aku ingin Kau mengomentari tesisku: Dengan pandangan keagamaan seperti yang dianut Al Murabitun, maka tidak terelakan membuat  berbagai kebijakan yang hanya mewarisi dan menikmati warisan Bani Umayyah, dan pada saat bersamaan menggerus dan membuang semua hal yang dimasukkan kategori bid’ah, yang berakibat timbulnya pemiskinan intelektual, yang bermuara pada mandegnya pengembangan sain dan teknologi.

Lebih jauh lagi, bagaimana perasaan umat Non Muslim saat itu, padahal jumlah mereka cukup besar dan mereka juga berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, ekonomi, pengembangan ilmu, sain dan teknologi”.

I: “Pastilah mereka merasa lebih nyaman di bawah Dinasti Bani Umayyah”.

A: “Persoalannya tidak hanya berhenti sampai di situ, sebagai ilmuwan politik Aku memperkirakan, bukan mustahil ketidak nyamanan yang dirasakan, apalagi kalau sampai mereka merasa didiskriminasi, maka secara diam-diam mereka bermigrasi dan bergabung dengan kekuatan Kristen yang berada di wilayah Utaranya”.

I: “Itu kan spikulasi !”.

A: “Dalam ilmu, itu namanya tesis, silahkan diteliti kalau mau membuktikannya. Aku berkeyakinan, hal ini terjadi dan semua ini ikut memperlemah kekuatan umat Islam secara sistematis”.

I: “Boleh Aku meneruskan ceritanya ?”.

A: “Silahkan !”.

Pada tahun 1106 M, Yusuf Ibn Tasfin meninggal dunia, kemudian digantikan oleh anaknya Ali Ibn Yusuf yang terus menjadi benteng Andalusia menghadapi berbagai serangan dari kerajaan-kerajaan Kristen di Utara.

Pada tahun 1138 M, Ali Ibn Yusuf dikalahkan oleh Alfonso VII dari Leon, dan pada tahun 1139 M dikalahkan oleh Alfonso I dari Portugal.

Kesalahan beruntun ini membuat Al Murabitun terus melemah, dan pada tahun 1143 M, Ali Ibn Yusuf meninggal, kemudian dilanjutkan oleh putranya bernama Tasfin Ibn Ali.  Pada tahun 1146 M, Tasfin Ibn Ali meninggal konon akibat kecelakaan, dan tahun 1147 M wilayah Lisabon lepas ke tangan Portugis, sekaligus menandai runtuhnya Dinasti Al Murabitun.

A: “Sebagai sejarawan, apakah Kau melihat hubungan runtuhnya Al Murabitun dengan sikap politik dan pandangan keagamaannya ?”.

I: “Aku melihat penyebabnya adalah karena Tasfin tidak siap mengemban Amanah kekuasaan yang begitu besar, apalagi dalam situasi sulitdan terjepit. Sebagai pemimpin kelasnya tentu jauh di bawah ayahnya Ali, dan tidak mungkin dibandingkan dengan kakeknya Yusuf”.

A: “ya hal itu tidak bisa dipungkiri, akan tetapi Aku lebih meyakini kekuatan sistem dan nilai yang menyebabkan kekuasaan bisa bertahan lama, dibanding bertumpu pada orang”.

I: “Maksudnya ?”,

A: “Kalau kita mengandalkan orang maka dinasti hanya akan bertahan satu generasi, paling lama dua atau tiga generasi saja, akan tetapi kalau bertumpu pada sistem dan nilai maka, akan bertahan dalam rentang waktu yang lama, selama nilai dan sistem baik di pertahankan”.

(Bersambung)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button