News

Gincu Merah Wajah Penegakan Hukum Kapolri Sigit

Minggu, 24 Jul 2022 – 12:20 WIB

Whatsapp Image 2022 07 05 At 10.33.53 Am - inilah.com

Kapolri Jenderal Sigit mendapat sorotan tajam buntut perkara Brigadir J. Program Presisi bak gincu merah untuk menutupi kondisi asli Korps Bhayangkara. Foto: Antara

Lambannya penanganan perkara tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam menggambarkan betapa sulitnya Polri menegakan hukum untuk internal. Hal ini menjadikan program Polri Presisi (prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan) yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebatas slogan saja. Bak riasan gincu merah untuk menarik perhatian sekaligus menutupi kondisi aslinya.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengungkapkan, wajah asli Polri dapat dilihat dari penanganan perkara Brigadir J yang tewas mencurigakan itu. Kasus ini meruncingkan asumsi Polri bersikap diskriminatif dalam penegakan hukum. Tajam keluar tapi tumpul ke dalam. Galak dengan rakyat kecil tetapi lemah dengan perwira berpangkat.

“Pimpinan tertinggi Polri harus mampu menjalankan organisasinya sesuai dengan tujuan reformasi Polri, menjadikan anggota Polri untuk berbuat baik, berkarya secara profesional dan berprestasi mengawal tupoksinya,” kata Sugeng, kepada Inilah.com, di Jakarta, Minggu (24/7/2022).

Soal diskriminasi polisi selalu didengungkan banyak pihak. Ketika aksi demonstrasi digelar di depan Kedubes AS, September 2021, belasan aktivis Papua yang salah satunya menuntut Presiden Jokowi menarik TNI-Polri dari Bumi Cenderawasih dan menuntut referendum, ditangkapi. Para aktivis itu merasa dikriminalisasi karena gelaran demonstrasi di KPK dibiarkan kendati dalam situasi pagebluk COVID-19.

Kontras turut mencatat selama penegakan hukum pada masa pandemi, Polri melakukan aksi diskriminatif. Pembubaran dan penangkapan warga Papua ketika menggelar aksi di Semarang menjadi contohnya. Belum lagi kasus-kasus lolosnya figur publik maupun pejabat negara yang menimbulkan keramaian ketika pandemi, sementara masyarakat kecil ditindak.

Dalam hal lain, kasus rasisme yang dilakukan Abu Janda maupun politisi PDIP Ruhut Sitompul juga menguap begitu saja. Belum lagi persoalan ITE dan penistaan agama, yang pelaksanaannya terkesan tebang pilih dan plin-plan.

Menurut Sugeng, sumber dari sikap diskriminasi ini yakni ketidakmampuan Kapolri Sigit menindak petinggi yang mengkhianati kode etik. Dari perwira menengah hingga atas. Selama perwira Polri melakukan tindakan tercela tetapi tidak ditindak, sikap diskriminasi Polri masih membudaya.

“Polri harus terus membersihkan budaya menyimpang dari anggotanya yang mengkhianati kode etik. Mulai dari elite Polri pangkat jenderal hingga bawahan yang pangkat terendah tamtama,” kata Sugeng.

Kultur Kekerasan

Kontras mencatat selama Juni 2021-Juli 2022, Polri menjadi institusi yang kerap melakukan pelanggaran penggunaan senjata api yakni sebanyak 456 kasus. Artinya kultur kekerasan masih menjadi beban Polri karena kerap mengabaikan prinsip-prinsip dasar dalam penegakan hukum yang proper dan proporsional.

Selama Juni 2021-Juli 2022 sedikitnya terjadi 677 peristiwa kekerasan yang membelit Korps Bhayangkara hingga menelan 59 korban tewas. Sebanyak 928 korban lainnya luka-luka, sedangkan 1.240 korban lainnya ditangkap polisi.

“Hal ini lagi-lagi bersifat paradoksal dengan semangat mewujudkan anggota Kepolisian agar lebih humanis,” terang Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti.

Dia menilai Kapolri Sigit belum mampu mengubah wajah Bhangkara di mata publik. Malahan tidak ada kemajuan signifikan untuk menunjukkan peran Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Hal serupa diungkapkan peneliti Kontras bidang riset dan dokumentasi, Rozy Brilian.

“Bicara soal penegakan hukum di era kepemimpinan Listyo Sigit tentu menunjukkan satu indikasi serupa dengan penegakan hukum yang tidak ada kemajuan yang signifikan, terkadang kita melihat komitmen atau janji Kapolri terbaru seperti yang disebutkan pada hari Bhayangkara kemarin hanya semacam lips service atau tidak ada satu perbaikan riil di lapangan,” kata Rozy.

Rozy melanjutkan, Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Sigit, secara tidak langsung melanjutkan budaya represi terhadap warga. Jenderal Sigit juga tidak bisa mengoreksi kebijakan Polri sebelumnya yang menerbitkan Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tentang Penanganan Penghinaan Pejabat dan Hoaks Penanganan COVID-19 tanggal 4 April 2020 dan Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja yang membuka ruang jajaran untuk bersikap represif.

Malahan, Kapolri Sigit menerbitkan Surat Telegram Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang mengunggah video berkaitan dengan kekerasan dan kinerja buruk kepolisian. Kendati aturan tersebut dicabut, namun menunjukkan lemahnya kemampuan Kapolri Sigit untuk melunturkan citra polisi yang menjadi momok menakutkan warga.

Nah, itu akhirnya semakin membuat buram citra kepolisian terutama dalam konteks penegakan hukum,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button