Kanal

Bullying Makin Menjadi-jadi, Tak Bisa Dianggap Enteng

Peristiwa bullying atau perundungan sepertinya sulit diberantas. Kali ini menimpa putra bungsu pengacara Sunan Kalijaga, Sean yang harus dibawa ke IGD untuk perawatan medis. Seorang siswa SD di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi juga nekat mengakhiri hidupnya karena kerap mengalami perundungan. Sepertinya fenomena bullying tak bisa dianggap enteng.

Sunan Kalijaga menjelaskan, putranya mengalami bullying hingga tiga kali sebelum akhirnya dikeroyok. Sebelumnya ia sempat dilempari sampah hingga harus berlari untuk menghindari perundungan tersebut.

“Putra saya, dia tetap diam, di hari yang sama, dia menerima tiga kali peristiwa hal yang sama. Di lapangan bola dia dilemparin daun dan sampah, dia diam, naik ke atas, menghindar dan dikejar, dipukul empat kali di depan kelas, anak saya diam, dia masuk ke kelas menghindari keributan,” cerita Sunan Kalijaga saat ditemui di Polres Metro Jakarta Selatan, Jumat (3/3/2023).

Lebih lanjut, Sunan Kalijaga mengungkapkan kondisi sang anak saat ini sudah membaik setelah kepalanya mendapatkan pukulan sebanyak empat kali. “Alhamdulillah saya sangat bersyukur keadaan Sean untuk saat ini masih baik, kemarin di IGD, dicek CT scan, dia menyampaikan dipukul berkali-kali di kepalanya,” tutur Sunan Kalijaga.

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada Senin (27/2/2023), seorang siswa SD di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, nekat mengakhiri hidupnya. Polisi menyebut kasus bunuh diri tersebut disebabkan siswa kerap mengalami bullying.

Kasi Humas Polresta Banyuwangi Iptu Agus Winarno menyebut bocah berinisial MR (11) yang merupakan anak yatim itu, mengalami depresi karena sering di-bully teman sebayanya karena tidak punya ayah. Sebelumnya, korban sering tampak murung setelah pulang sekolah.

“Berdasarkan keterangan keluarga, korban selalu mengeluh sering diolok-olok temannya kalau anak yatim tidak punya bapak. Dan setiap pulang ke rumah selalu menangis dan dongkol,” kata Agus.

Bikin geregetan

Publik pasti geregetan ketika mendengar perundungan atau bullying terhadap anak-anak yang masih sering terjadi. Bahkan menyebabkan korbannya meninggal dunia. Tindakan bullying seolah mengakar dan menjalar tak berkesudahan. Indonesia seperti sedang mengalami krisis kasus bullying yang terjadi di lingkungan sosial khususnya sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya temuan kasus perundungan yang semakin meningkat kisaran 30-60 kasus per tahun. Bahkan, Indonesia menduduki peringkat kelima dalam kasus perundungan.

Sementara data Programme for International Students Assessment (PISA) anak dan remaja di Indonesia mengalami 15 persen intimidasi, 19 persen dikucilkan, 22 persen dihina, 14 persen diancam, 18 persen didorong sampai dipukul teman dan 20 persen digosipkan kabar buruk.

Sedangkan United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) menilai kondisi perundungan di Indonesia lebih parah lagi. UNICEF mencatat Indonesia memiliki persentase tinggi terkait kekerasan anak. Bila dibandingkan negara Asia lainnya seperti Vietnam, Nepal maupun Kamboja, Indonesia menempati posisi yang lebih tinggi.

Apa itu bullying? Dikutip dari buku ‘Seri Pendidikan Orang Tua: Ayo Bantu Anak Hindari Perundungan’ yang diterbitkan oleh Kemendikbud (2017), perundungan atau bullying merujuk pada perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan secara sengaja dan berulang sehingga menyebabkan orang atau korban mengalami trauma dan tidak berdaya.

Sementara UNICEF menyebut, bullying merupakan pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukan bullying biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.

Kita dapat mengidentifikasi bullying melalui tiga karakteristik. Yakni disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan. Seorang pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya, baik menyakiti fisik atau kata-kata atau perilaku yang menyakitkan, dan melakukannya berulang kali.

Anak laki-laki lebih mungkin mengalami bullying fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami bullying secara psikologis, walaupun jenis keduanya tentu cenderung saling berhubungan.

Anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk di-bully seringkali adalah anak-anak yang berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, anak-anak penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.

Parahnya, kasus perundungan ini jarang terungkap karena memang korbannya mengalami ketakutan dan trauma. Kebanyakan korban cenderung menutupi rasa sakit yang mereka derita. Namun, luka yang mereka terima akan terus berbekas dalam waktu yang lama, dan bahkan bisa mempengaruhi masa depan mereka sebagai seorang individu. Atau dalam skenario terburuk, dapat merenggut nyawa mereka seperti yang terjadi pada siswa SD di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.

Bagaimana pencegahannya?

Bullying bisa terjadi pada anak-anak siapa saja. Dari mulai usia dini sekolah hingga di perguruan tinggi bahkan di tempat bekerja. Yang perlu mendapat banyak perhatian adalah perundungan yang terjadi pada anak-anak sekolah.

Pencegahan yang terpenting adalah dilakukan sejak dini. Ajari anak-anak tentang bullying. Ini penting agar mereka tahu apa itu bullying sehingga mereka dapat mengidentifikasinya dengan lebih mudah, apakah itu terjadi pada mereka atau teman-temannya.

Kembangkan gaya komunikasi dengan anak-anak sejak kecil dengan lebih terbuka. Bicaralah dengan anak tentang apa yang dianggap sebagai perilaku baik dan buruk di sekolah dan lingkungan sekitar. Ini menjadi bekal ketika anak Anda bisa lebih terbuka jika mengalami sesuatu peristiwa di sekolahnya. Karena ia biasa berbicara terbuka dengan orang tua, tentu tidak akan takut atau canggung berbicara tentang yang ia alami di sekolah.

Orang tua bisa memulainya dengan memancing anak-anak bercerita apa saja yang dialaminya setiap hari di sekolah. Tanyakan pula perasaan mereka, perhatikan saat berbicara apakah ia terlihat gugup, ada yang disembunyikan atau cek tampilan fisik maupun psikis saat pulang sekolah.

Tindakan perundungan ini tidak boleh lagi dianggap sebagai hal yang lumrah. Karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin di masa depan pelaku dapat berpotensi melakukan tindakan kriminal. Sementara bagi korban juga akan terganggu perkembangan kesehatan mentalnya karena pengalaman buruk ini akan berpengaruh pada saat dewasa nanti.

Dibutuhkan kerja sama antara orang tua, pihak sekolah, pemerhati anak dan masyarakat untuk menekan kasus bullying di Indonesia. Gerakan anti bullying harus terus dilakukan secara masif dan dilestarikan guna mencegah terus terjadinya perundungan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button