Market

Anggaran Terbatas, BPJS Watch: Jangan Harap Layanan Kesehatan Mumpuni

Anggota BPJS Watch Timboel Siregar mempertanyakan minimnya alokasi anggaran kesehatan. Jangan berharap wong cilik bakal mendapatkan layanan kesehatan yang mumpuni dan cepat.

Kata Timboel, peningkatan layanan kesehatan sudah diatur dalam undang-undang kesehatan dengan mengkampanyekan enam pilar transformasi kesehatan. “Itu didukung dengan dana yang mumpuni (sehingga) mendukung pelayanan preventif (dan) promotif yang lebih baik,” kata Timboel saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Senin (17/7/2023).

Timboel mempersoalkan pusat layanan kesehatan tingkat menengah, seperti Puskesmas yang seharusnya dibangun sampai ke daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Serta belum optimalnya distribusi dokter dan perawat hingga ke daerah 3T itu.

Agar bisa terjadi pemerataan atas layanan kesehatan yang berkeadilan, kata dia, perlu anggaran yang cukup besar. Mengingat, pembangunan dan jasa dari tenaga kesehatan di daerah, harus disejahterakan. Demikian pula alat-alat kesehatannya. “Ini kan butuh biaya, butuh anggaran bagaimana membangunnya, bagaimana juga menyediakan dokternya,” jelas Timboel.

Suka atau tidak, kata dia, ketersediaan rumah sakit dan obat-obatan di seluruh pelosok negeri, masih jauh dari harapan. Hal ini terkait kemandirian Indonesia terhadap bahan baku dan alat kesehatan untuk kebutuhan dalam negeri.

Kualitas sumber daya manusia sektor kesehatan, lanjut Timboel, masih jauh dari sempurna. Khususnya menyangkut jumlah serta sebarannya. Perlu adanya kesepakatan dari universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran agar mempercepat keluluesan para dokter. “Bagaimana mensubsidikan pendidikan kedokteran, bagaimana mensubsidi spesialis-spesialis dan subspesialis (dan) sebagainya, ini kan perlu anggaran,” ucap Timboel.

Terakhir, kata dia, pembiayaan kesehatan yang harus ada dalam politik anggaran pemerintah. Dari BPJS Kesehatan, dalam rangka menjalankan amanat UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, fokusnya kepada penyelenggaraan layanan kesehatan untuk rakyat miskin.

Masyarakat miskin yang akan dijamin kesehatannya oleh pemerintah ketika mereka menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Akan tetapi, kebijakan ini terancam terganggu karena penghapusan mandatory spending dimana kecenderungan alokasi PBI dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menurun.

“Dan buktinya di 2022 saya perhatikan alokasinya hanya Rp43 sampai Rp44 triliun, itu kan hanya sekitar 86,8 juta orang padahal alokasi yang dianggarakn itu ada 96,8 juta orang,” ungkap Timboel.

Saat ini, kata dia, terdapat 10,2 juta warga miskin yang tidak dilayani karena tidak terdaftar, maupun dibayarkan iurannya oleh pemerintah. Hal serupa juga berlaku di pemerintah daerah. Di mana, kenaikan iuran membuat peserta JKN berkurang.

“Ini persoalan akses layanan kesehatan, kalau akses penjaminan kesehatan ini dikurangi, artinya akan semakin banyak orang yang tidak mendapat layanan JKN,” pungkas Timboel.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button