News

Gubernur NTB Respons Tuduhan Salah Teken Sengkarut Gili Trawangan

Penyidikan kasus jual beli dan penyewaan aset daerah secara ilegal di kawasan wisata Gili Trawangan, Lombok Utara masih bergulir di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB). Gubernur NTB Zulkieflimansyah membantah dirinya salah teken dalam sengkarut aset tersebut.

Sebelumnya diberitakan, niat mulia Bang Zul, sapaan akrabnya, untuk mengembalikan hak lahan kepada masyarakat Gili Trawangan terbentur 11 kontrak yang telah diberikan kepada investor asing yang ia teken sendiri.

“Nah, kita terkait Gili Trawangan ini didampingi oleh Kejaksaan dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), bukan persoalan salah teken. Teken itu justru direkomendasikan oleh KPK dan Kejaksaan. Kita didampingi KPK dan Kejaksaan. Gimana mau salah teken?” kata Bang Zul saat dihubungi Inilah.com dari Jakarta, akhir pekan ini.

Lebih jauh Gubernur menerangkan, KPK dan Kejaksaan jelas hanya mempertimbangkan aspek hukum soal aset Gili Trawangan. “Kita ingin mengatakan, KPK ingin enggak usah bekerja sama lagi dengan pihak yang selama ini sudah memperoleh hasil yang banyak (di Gili Trawangan). (Tapi) kita (Pemprov NTB) ingin berbaik hati. Kita ingin jangan sampai masyarakat ditinggalkan,” paparnya.

Akan tetapi, dalam prosesnya hal itu diakui Gubernur Zul, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Masyarakat ini agak susah, dulunya GTI (PT Gili Trawangan Indah), karena enggak perform, (Hak Pengelolaan Atas Tanah) dikembalikan ke kami (Pemprov NTB),” ungkap dia.

Sekarang, sambung politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, masyarakat menginginkan pemerintah provinsi memberikan sertifikat kepada mereka.

“(Tapi) pemerintah pusat enggak mau ngasih. Sebab, kalau dikasih ke masyarakat nanti ada yang nawarin harga mahal-mahal, dijual kan. Itu bukan wewenang kami juga,” timpal Gubernur Zul.

Terkait 11 perjanjian kerja sama yang dipermasalahkan dengan investor asing, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi NTB Lalu Rudy Gunawan, Sabtu (18/3/2023) mengatakan, perjanjian kerja sama dilakukan dengan badan hukum Indonesia.

Hal itu berdasarkan Permendagri No. 19 Tahun 2016 dan PP 18 Tahun 2021. Dalam aturan tersebut, perjanjian kerja sama dilakukan dengan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia.

“Jadi bukan WNA, tapi perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. Lahan bukan dijual, tapi dikerjasamakan dalam jangka waktu tertentu dengan pemberian HGB (Hak Guna Bagunan). HPL (Hak Pengelolaan Atas Tanah) tetap milik Pemprov. HGB bangunannya saja dan mereka membayar kontribusi,” imbuh Rudy.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button