News

Karut Marut Sistem Zonasi PPDB Siapa Kasih ‘Getah’

Sejatinya penerapan sistem zonasi mengadopsi nilai Pancasila sila ke-5 “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Nilai ini menjadi dasar bagi seluruh siswa didik mendapat pendidikan yang merata di seluruh pelosok negeri

Penerapan sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Praktik kecurangan seperti pemalsuan dokumen kependudukan, pungutan liar hingga suap kembali terulang dari tahun ke tahun. Fenomena ini tentunya membuat keprihatinan, bagaimana bisa sistem rekrutmen pendidikan dinodai dengan praktik-praktik buruk. Pendidikan yang harusnya mengajarkan nilai-nilai luhur justru terjebak didalam praktik korupsi.

Alih-alih memperbaiki itu semua, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, malah mengeluh lantaran ia terkena getah dari kebijakan yang dibuat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi saat masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Saat berbicara dalam acara Belajar Raya 2023, di Posbloc, Jakarta, Sabtu (28/7/2023), Nadiem terang-terangan menyebut warisan Muhadjir sebagai biang kerok dari kesemrawatuan PPDB.

“Itu kebijakan zonasi itu bukan kebijakan saya. Itu kebijakan sebelumnya, Pak Muhadjir. Kita sebagai satu tim merasa ini adalah suatu kebijakan yang sangat penting, yang sudah pasti bakal merepotkan saya. Saya kena getahnya setiap tahun karena zonasi,” kata Nadiem.

Nadiem sepertinya lupa, saat baru menjabat sebagai Menteri ia meluncurkan empat program pokok kebijakan pendidikan yang diberi nama “Merdeka Belajar”. Salah satunya tetap mempertahankan sistem zonasi dalam PPDB.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019, Nadiem memodifikasi warisan Muhadjir dengan menambahkan porsi untuk jalur prestasi dan afirmasi.

Di kebijakan sistem zonasi era Muhadjir, porsi jalur prestasi di setiap sekolah hanya 15 persen. Namun di era bos Gojek ini berkuasa, Kemendikbudristek mengubahnya menjadi 30 persen atau naik dua kali lipat.

Untuk penerimaan siswa jalur sistem zonasi, Nadiem menekankan kuotanya minimal 50 persen. Jadi, sekolah harus mengakomodasi setidaknya 50 persen siswa dari zonasinya untuk bisa bersekolah di tempat mereka.

Sementara, untuk jalur afirmasi adalah 15 persen, dan lima persennya adalah siswa pindahan dari zonasi lain. Jalur afirmasi ini dibuat khusus untuk mengakomodir siswa kurang mampu.

“Kebijakan zonasi esensinya adalah adanya (jalur) afirmasi untuk siswa dan keluarga pemegang KIP yang tingkat ekonominya masih rendah, serta bagi yang menginginkan (adanya) peningkatan jalur prestasi sampai maksimal 30% diperbolehkan,” kata Nadiem, 13 Desember 2019, dikutip dari situs resmi Kemendikbud.

Nadiem mengklaim bahwa komposisi seperti itu merupakan kompromi antara orangtua murid dengan pemerintah.

Belakangan, kebijakan Nadiem inilah yang justru membuat carut marut pelaksanaan sistem zonasi PPDB. Ambil contoh penerapan sistem ini di provinsi DKI Jakarta. Jalur afirmasi yang harusnya dikhususkan untuk si miskin, justru dijadikan ruang bagi si kaya untuk menempatkan anaknya di sekolah negeri, dengan memanipulasi data kemiskinan.

Whatsapp Image 2023 08 04 At 19.42.42 - inilah.com
Infografis Kebijakan Mendikbudristek Nadiem Makarim terkait sistem zonasi PPDB. (Desain:Inilah.com/Hafiz)

Lewat kebijakan inilah permainan dalam jalur zonasi diakali. Orang berlomba-lomba mendapat  ‘gelar’ si miskin, tak peduli di garasi rumahnya berjejer mobil.  Hal ini yang kemudian diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI, Dede Yusuf.

“Kalau kita cari sekarang kesalahannya dimana itu banyak sekali bolong-bolongnya. Bolong-bolongnya adalah dengan sistem zonasi orang berlomba-lomba membuat kartu keluarga fiktif untuk memasukkan anaknya,” ujar Dede Yusuf kepada Inilah.com, Kamis (3/4/2023).

Sejatinya roh penerapan sistem zonasi dalam PPDB adalah implementasi dari sila ke-lima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Frasa ini yang kemudian mendasari Muhadjir Effendi menghapus istilah sekolah favorit.

Sebelum sistem zonasi diterapkan, sekolah favorit kerap muncul hampir diseluruh kota di Indonesia. Sekolah favorit dikategorikan sebagai tempat berkumpulnya siswa siswi dengan kemampuan akademik yang baik, ditunjang dengan sarana dan prasarana sekolah yang nyaris memadai dan dengan tenaga kependidikan yang cakap.

Dihapuskannya sekolah favorit ini, dimaksudkan untuk tercapainya pemerataan pendidikan bagi seluruh peserta didik di Indonesia. Kegagalan menghapus opini sekolah favorit salah satunya disebabkan dengan diperbesarnya kuota siswa berprestasi di era Nadiem Makarim. Seperti disebutkan sebelumnya, Nadiem memperbesar jalur prestasi menjadi 30 persen.

“PPDB kisruh terjadi karena faktor masih adanya sekolah-sekolah favorit,” kata Dede Yusuf.

Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, memiliki pendapat yang sama soal sekolah favorit. Retno menilai sekolah favorit tidak sesuai dengan amanat konstitusi terkait hak Pendidikan bagi seluruh rakyat.

“Nah siapa anak dengan nilai tinggi? Notabene adalah justru anak orang kaya yang sebenarnya dia punya pilihan untuk masuk sekolah swasta,” ujar Retno kepada Inilah.com, Jumat (4/8/2023).

Retno mengatakan, memang anak orang kaya juga berhak masuk dalam sekolah negeri, namun tidak mendominasi. Sebab menurutnya, menjadi tidak adil lantaran anak orang kaya ini mempunya fasilitas yang tidak dimiliki anak si miskin.

“Nah mereka itu anak orang kaya, mungkin dari kecil gizinya sudah baik kemudian juga sehat seluruh fasilitas belajar terpenuhi ikut privat les, bimbel. Bagaimana dengan anak miskin yang tidak bisa bayar bimbel. Anak ini tidak bisa bersaing dengan anak-anak (orang kaya) tadi, ya mereka (anak Miskin), sudah tidak punya duit, tidak bisa masuk negeri pula,” kata Retno.

Pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai tidak ada yang salah dari kebijakan zonasi yang digagas Muhadjir.

Whatsapp Image 2023 08 04 At 19.42.42 2 - inilah.com
Infografis pernyataan Nadiem Makariem soal sistem zonasi PPDB. (Desain:Inilah.com/Hafiz)

“Keputusan yang diambil oleh menteri pendidikan sebelum pak Nadiem itu sudah tepat hanya saja menteri yang sekarang menurut saya kurang serius untuk melakukan pengawasan,” kata Achmad Nur Hidayat kepada Inilah.com, Jumat (4/8/2023).

Ketimbang menyalahkan kebijakan Menteri sebelumnya, Nadiem diminta memperbaiki sistem pengawasan PPDB. Salah satunya, memberikan sanksi tegas kepada oknum sekolah yang terlibat dalam praktik kecurangan.

“Persoalannya kan ini tidak ada punishmen-nya. Saya kira ini pemerintah pusat lemah dalam pengawasan sistem ini sendiri,” kata Achmad Nur Hidayat.

Belakangan Nadiem Makarim membuat klarifikasi atas ucapannya menyalahkan Muhadjir Effendi. Nadiem kini memberikan pujian kepada mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang atas inisiasi program PPDB menggunakan sistem zonasi.

Nadiem mengatakan, program ini akan terus diteruskan sebagai bentuk keberlanjutan dalam mewujudkan pendidikan yang lebih adil dan merata.

“Segala daya dorong yang selama ini telah Bapak (Menko PMK) lakukan untuk pendidikan Indonesia akan selalu tercatat dalam sejarah untuk kebaikan anak-anak Indonesia,” ujar Nadiem dalam siaran pers yang diterima Inilah.com, Senin (31/8/2023).

Nadiem menjelaskan, PPDB dengan sistem zonasi adalah upaya untuk mengatasi kesenjangan antar peserta didik. Dia menyebutkan, sistem ini mengatasi masalah lama di mana banyak orang tua mendaftarkan anaknya masuk les agar bisa masuk ke sekolah favorit. Kebijakan zonasi ini juga membantu peserta didik yang ekonominya tidak mampu, yang sebelumnya harus membayar sekolah swasta karena gagal masuk sekolah negeri. (Nebby/Diana/Clara)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button