Hangout

Masuk Sekolah Pukul 5 Pagi di NTT Dinilai Membahayakan dan Tak Ramah Anak

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai bahwa kebijakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengharuskan siswa masuk sekolah pukul 5 pagi tampaknya tidak didasarkan pada kajian akademis terlebih dahulu. Selain itu, publik tidak mengetahui dasar pijakan dari kebijakan tersebut dan jika ada, dokumen kajian tersebut tidak dapat diakses oleh publik. Langkah ini dinilai tidak berpihak dan tidak ramah pada anak ataupun pendidik. Kebijakan pendidikan harus didasarkan pada kajian akademik yang dapat diakses publik, bukan pada selera pimpinan.

Menurut Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, seharusnya kebijakan ini dilakukan setelah adanya kajian yang meliputi aspek filosofis, sosiologis, pedagogis, dan geografis. Hal ini mengingat banyak sekolah di NTT yang jaraknya sangat jauh dari rumah siswa dan guru, bahkan ada yang lebih dari 5 kilometer dan harus ditempuh dengan berjalan kaki.

“Banyak sekolah di NTT yang jarak antara rumah siswa/guru dengan sekolah sangat jauh bahkan ada yang lebih 5 km. Dan berjalan kaki menuju sekolah,” kata Satriwan Salim dalam keterangan tertulisnya kepada inilah.com, Selasa (28/2/2023)

Menurut Satriwan, kebijakan ini juga tidak berkorelasi dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan di NTT. Masalah pendidikan di NTT sendiri sangatlah kompleks, antara lain adalah prevalensi stunting yang tertinggi di seluruh provinsi sebesar 37,8 persen (Kemenkes, 2021), IPM NTT yang berada pada peringkat ke-32 dari 34 provinsi (BPS, 2021), banyaknya kelas di sekolah yang rusak (47.832 kelas), dan persentase sekolah yang belum berakreditasi C, seperti 66% SD, 61% SMP, dan 56% SMK. Tidak hanya itu, ribuan guru honorer di NTT juga diberikan upah yang jauh di bawah UMK/UMP, berkisar antara 200 ribu hingga 750 ribu rupiah per bulan.

Menurut Satriwan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi dengan upaya peningkatan IPM, menurunkan stunting, memperbaiki bangunan ruang kelas/sekolah, memperbaiki akreditasi atau kualitas sekolah, dan meningkatkan kesejahteraan guru honorer.

Satriwan menambahkan bahwa seharusnya kebijakan pendidikan Pemerintah Provinsi NTT lebih berfokus pada masalah yang lebih esensial dan pokok. Ia bahkan menyebut kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi ini sebagai “menggaruk yang tidak gatal”.

Masuk sekolah pukul 5 pagi sepertinya akan menjadi kebijakan masuk sekolah terpagi di dunia, dan kebijakan ini akan menjadi bahan tertawaan di mata komunitas pendidikan internasional.

Kebijakan tersebut sangat tidak ramah terhadap siswa, orang tua, dan guru. Jika siswa harus masuk sekolah pukul 5 pagi, mereka harus bangun pukul 4 pagi, bahkan bisa jadi pukul 3 pagi jika jarak antara sekolah dan rumah jauh. Selain itu, guru juga

“Mestinya kebijakan pendidikan pemprov fokus saja pada masalah yang esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan Pemprov NTT menggaruk yang tidak gatal,” cetus Satriwan.

Membahayakan keselamatan

Ketua P2G NTT Wilfridus memaparkan, kebijakan tersebut sangat tidak ramah anak, orangtua, dan guru. Jika para siswa masuk pukul 05.00, mereka harus bangun tidur pukul 04.00, bahkan bisa saja pukul 03.00 jika jarak antara sekolah dan rumah jauh. Bahkan, masih banyak siswa yang berjalan kaki menuju sekolah yang jauh. Selain itu, para guru harus datang lebih pagi atau lebih awal dari pukul 05.00. Belum lagi jika wilayahnya minim sarana transportasi umum atau jalannya sulit diakses, termasuk minim penerangan lampu jalan.

”Artinya, Pemprov tidak mempertimbangkan kebijakan tersebut dengan landasan kajian secara geografis dan transportasi publik,” kata Wilfridus.

Dalam laporan jaringan P2G NTT, kondisi pagi pukul 05.00 Wita justru masih sepi aktivitas masyarakat dan suasana masih gelap. Kondisi ini berpotensi membahayakan para siswa terkait potensi tindak kriminalitas atau faktor keamanan. Kemudian, kebijakan ini berpotensi meningkatkan biaya hidup orangtua siswa.

Sebab, bagi yang rumahnya jauh dari sekolah, ditambah belum ada kendaraan umum beroperasi pada jam tersebut, mereka akan terpaksa mengontrak rumah kos di dekat sekolah atau terpaksa membeli kendaraan bermotor. Pengeluaran biaya sekolah menjadi tinggi.

Oleh karena itu, P2G mendesak Pemprov NTT untuk menghentikan kebijakan tersebut dan meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi serta menegur Pemprov NTT. P2G juga meminta Mendikbudristek untuk berkoordinasi dengan pemprov dalam mengkaji ulang kebijakan tersebut dan meningkatkan intensitas pendampingan sesuai kewenangannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan guru di NTT.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button