Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memperkirakan tahun 2025 akan menjadi tahun penuh gejolak bagi kelas menengah di Indonesia. Hal itu karena pemerintah telah merancang berbagai kebijakan baru yang akan mulai diberlakukan, dari mulai kenaikan pajak hingga penghapusan sejumlah subsidi.
“Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, memiliki potensi besar menambah beban ekonomi masyarakat, khususnya kelompok kelas menengah yang sering kali tidak termasuk penerima bantuan langsung,” kata Achmad dalam keterangannya yang diterima Inilah.com di Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Achmad mencermati kebijakan baru yang bertujuan meningkatkan penerimaan negara dan efisiensi anggaran cenderung memberikan dampak yang tidak seimbang pada kelompok kelas menengah ini.
“Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah mitigasi, kelas menengah yang selama ini menjadi pilar perekonomian nasional bisa terancam menyusut lebih jauh,” ujarnya menegaskan.
Achmad lantas mengulas kebijakan-kebijakan pemerintah dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Setidaknya ada lima kebijakan yang membuat beban ekonomi masyarakat khususnya kelas menengah yang bakal semakin berat.
Berikut lima kebijakan tersebut:
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menyelaraskan tarif pajak Indonesia dengan standar internasional. Namun, dampaknya akan langsung terasa pada harga barang dan jasa, yang otomatis naik.
“Kenaikan ini diperkirakan akan paling berdampak pada kelas menengah yang tidak mendapatkan subsidi tetapi tetap terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Achmad.
Apalagi, sambung dia, kenaikan upah UMP hanya 6,5 persen, yang diperdiksi tidak akan mampu mencukupi kenaikan inflasi dan kenaikan harga akibat PPN 12 persen tersebut.
“Bahkan dengan PPN 12 persen tersebut Indonesia termasuk negara pengisap pajak terbesar di ASEAN setelah Filipina. Beruntung mereka yang berdomiisili di Vietnam, Malaysia, Singapore dan Thailand tidak mengalami kenaikan sebesar Indonesia,” ungkap Achmad.
Menurut Achmad, dengan daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat inflasi dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi rumah tangga. “Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli kelas menengah telah menurun sekitar 5 persen pada 2024 akibat tekanan inflasi,” jelasnya.
Kenaikan Tarif Listrik Non-Subsidi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengisyaratkan penyesuaian tarif listrik tahun 2025, khususnya untuk pelanggan non-subsidi. Penyesuaian ini bertujuan menutupi kenaikan biaya produksi listrik akibat harga energi global yang terus meningkat.
Achmad menilai dampaknya jelas, yakni rumah tangga kelas menengah yang menjadi pelanggan golongan non-subsidi akan menghadapi kenaikan biaya listrik bulanan.
Tarif listrik merupakan komponen penting dalam pengeluaran rumah tangga. Menurut laporan Kementerian ESDM, rumah tangga kelas menengah rata-rata menghabiskan 10% dari pendapatannya untuk membayar listrik.
Jika tarif listrik naik, pengeluaran ini diperkirakan akan meningkat menjadi 12-15 persen dari pendapatan.
Penghapusan Subsidi BBM dan LPG
Mulai 2025, pemerintah berencana mengubah skema subsidi BBM dan LPG. Subsidi akan diberikan langsung kepada masyarakat yang dinilai berhak berdasarkan data yang tercatat di sistem pemerintah.
Skema ini bertujuan meningkatkan akurasi penyaluran subsidi, tetapi efek sampingnya adalah kenaikan harga BBM dan LPG bagi kelompok yang tidak memenuhi kriteria subsidi, termasuk kelas menengah.
“Kenaikan harga BBM akan memicu efek domino pada biaya transportasi dan distribusi barang, yang pada akhirnya meningkatkan harga kebutuhan pokok,” kata Achmad.
Ia mencontohkan, kenaikan harga BBM sebesar 10 persen dapat mendorong kenaikan harga barang sebesar 3-5 persen.
“Dampaknya sangat terasa, terutama bagi masyarakat perkotaan yang sangat bergantung pada transportasi berbasis BBM,” terang Achmad.
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan juga akan mengalami penyesuaian iuran tahun 2025. Pemerintah mengklaim kenaikan ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan.
Namun, Achmad menegaskan, kelas menengah yang umumnya tidak menerima subsidi kesehatan akan merasakan beban tambahan ini.
Dalam skema baru, menurut Achmad, peserta mandiri golongan kelas menengah diperkirakan harus membayar iuran yang lebih tinggi hingga 20 persen.
“Ini akan menjadi tantangan baru, mengingat banyak rumah tangga kelas menengah sudah kesulitan mengatur anggaran untuk kebutuhan pokok lainnya,” tuturnya.
Pajak atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)
Kegiatan membangun atau merenovasi rumah sendiri juga akan dikenai pajak lebih tinggi pada tahun 2025.
Pajak KMS yang saat ini sebesar 2,2 persen dari nilai pembangunan akan naik menjadi 2,4 persen seiring kenaikan tarif PPN.
“Kebijakan ini akan memengaruhi masyarakat yang merencanakan pembangunan rumah atau renovasi besar,” ujar Achmad.
Akibatnya, ungkap dia, biaya properti semakin mahal, yang dapat menurunkan minat masyarakat untuk berinvestasi di sektor ini.
Dampak Kumulatif pada Kelas Menengah
Lebih lanjut Achmad menerangkan kombinasi dari berbagai kebijakan tersebut akan memberikan tekanan besar pada ekonomi rumah tangga kelas menengah.
“Mereka terjebak di antara kelompok bawah yang menerima bantuan sosial dan kelompok atas yang memiliki sumber daya lebih besar untuk menghadapi kenaikan biaya hidup. Kelas menengah dipaksa menanggung beban penuh dari kebijakan pemerintah tanpa kompensasi yang memadai,” ujar Achmad.
Padahal, lanjut Achmad, pemerintahan baru Prabowo Subianto memimpin belum 100 hari dan wakil rakyat di DPR juga baru berganti siklus, namun kebaruan hasil Pemilu 2024 menyebabkan kelas menegah jauh lebih menderita daripada periode sebelumnya.
Ia menyebut berdasarkan sebuah survei dari Inventure Research dan Bisnis Indonesia pada 2024, hampir 49 persen rumah tangga kelas menengah melaporkan penurunan daya beli akibat inflasi dan kenaikan biaya hidup.
“Dengan kebijakan baru 2025, angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 60 persen, mempercepat penyusutan kelas menengah di Indonesia,” ungkap Achmad.
Dengan kondisi tersebut, dia menekankan, pemerintah harus lebih bijak dalam mengelola dampak kebijakan ekonomi terhadap kelas menengah.
Menurutnya, transparansi dan komunikasi yang baik mengenai alasan di balik kebijakan serta upaya untuk meringankan dampaknya harus menjadi prioritas.
“Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memperluas akses program subsidi atau bantuan sosial bagi kelompok rentan di kelas menengah,” tutur Achmad.
Di sisi lain, sambung dia, masyarakat kelas menengah perlu mulai menyesuaikan untuk menghadapi tahun 2025. “Perencanaan keuangan yang matang, seperti mengurangi pengeluaran tidak penting dan mencari sumber pendapatan tambahan, menjadi langkah yang sangat diperlukan,” terangnya.
Selain itu, Achmad menambahkan, masyarakat juga dapat memperkuat literasi keuangan untuk lebih memahami dampak kebijakan ekonomi dan mengelola risiko finansial dengan lebih baik.