Mulai tahun depan, makan siang di restoran sushi atau makan malam di steakhouse sepertinya harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Pasalnya, per 1 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen untuk sejumlah bahan makanan premium.
Kebijakan baru ini memisahkan kebutuhan pokok biasa dari versi premiumnya. Jika beras reguler bebas PPN, tapi tidak demikian dengan beras premium yang sering jadi bahan utama sushi berkualitas tinggi.
Selain itu, bahan lain seperti ikan salmon, tuna premium, king crab, hingga daging wagyu dan Kobe yang kerap mendominasi hidangan fine dining juga akan masuk daftar makanan dengan PPN 12 persen.
Selain dibebani kenaikan pajak dari bahan dasar, makan sushi atau steak juga bisa semakin mahal karena ada tambahan pungutan, yakni pajak restoran atau pajak bangunan (PB1).
PB1 dikenakan kepada restoran akan diterapkan setelah biaya pelayanan yang juga dibebankan kepada konsumen.
Dalam konferensi pers terkait kenaikan PPN 12 di Jakarta, Senin (16/12/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa barang kebutuhan pokok standar tetap bebas PPN. Namun, untuk versi premium yang tergolong barang mewah, pemerintah menilai sudah selayaknya dikenakan tarif pajak.
Kebijakan ini didasari azas keadilan, agar kelompok dengan daya beli tinggi turut berkontribusi lebih besar pada pendapatan negara.
Namun, dampaknya jelas terasa. Harga satu porsi sushi di restoran mewah mungkin akan mengalami kenaikan signifikan. Pasalnya, sushi harus menggunakan beras premium dengan tekstur yang lebih pulen dan aroma khas.
Belum lagi tambahan bahan seperti daging salmon segar, tuna premium, atau bahkan topping king crab yang semuanya masuk kategori bahan makanan mewah.
Restoran steak atau steakhouse juga akan berhadapan dengan tantangan serupa. Wagyu, daging sapi premium yang sering menjadi primadona hidangan steak, juga tergolong bahan makanan mewah.
Dengan kenaikan PPN, biaya produksi steak berkualitas tinggi ini akan meningkat, dan kemungkinan besar harga jual ke konsumen juga akan ikut terdongkrak naik.
Bagi kalangan muda yang menjadikan restoran premium sebagai destinasi untuk ‘dinner’ dengan pasangan, ini mungkin menjadi dilema. Pilihan antara pengalaman romantis yang berkesan atau anggaran yang lebih ramah kantong akan menjadi pertimbangan utama.
Apakah ini akan memengaruhi tren konsumsi generasi muda? Atau justru memunculkan peluang baru bagi restoran untuk berinovasi menghadirkan menu mewah dengan harga yang lebih terjangkau?
Seiring penerapan PPN ini, konsumen dan industri makanan premium perlu bersiap. Karena tahun depan akan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menghadapi perubahan kebijakan, baik itu penyesuaian harga, diversifikasi menu, atau strategi promosi yang lebih menarik.