Untuk menstabilkan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS (US$) yang semakin ambruk hingga di atas Rp16.000/US$, Bank Indonesia (BI) ancang-ancang memborong Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp150 triliun pada 2025.
Rencana itu mengemuka dalam pertemuan Gubernur BI, Perry Warjiyo dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, beberapa waktu lalu.
Perry memaparkan, langkah tersebut merupakan salah satu operasi moneter bank sentral untuk stabilkan rupiah. Terlebih setelah mata uang Indonesia anjlok menembus Rp16 ribu per dolar AS pada Desember 2024.
Atas rencana ini, ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengingatkan ekses negatifnya. Kebijakan moneter ‘rasa’ quantitative easing atau menambah uang beredar ini, memiliki sejumlah risiko.
Menurut dia ada beberapa risiko yang bakal terjadi imbas keputusan yang diambil bank sentral ini. Di antaranya adalah meningkatnya inflasi serta risiko kredibilitas dan independensi BI.
“Keputusan BI ini, mirip burden sharing di era pandemi COVID-19. Bedanya hanya bank sentral membeli SBN dari pasar sekunder. Sedangkan burden sharing, BI membeli dari pasar primer,” ungkapnya.
Secara sederhana, lanjut Andri, langkah BI adalah menginjeksi likuiditas langsung atau secara harafiah, mencetak uang.
“Keduanya pada dasarnya memiliki risiko yang berbahaya, karena sama-sama menginjeksi likuiditas langsung dari bank sentral dan bukan dari perekonomian,” kata Andri.
Dalam burden sharing, pemerintah bisa mendapatkan dana segar berdenominasi rupiah secara langsung. Sedangkan dalam operasi ini, yang mendapatkan rupiah adalah swasta.
Bank sentral memang memiliki kewenangan untuk menarik kembali rupiah yang beredar saat SBN jatuh tempo, namun hal ini bisa berisiko bagi kredibilitas dan independensi BI.
Likuiditas yang langsung diinjeksi oleh BI kepada pemegang SBN saat ini juga akan sulit dikontrol dampaknya terhadap perekonomian. Bebannya akhirnya ditanggung masyarakat. Karena BI dan pemerintah lebih mengesampingkan dampak inflasi dibandingkan nilai tukar.
Menurut Andri, pilihan ini diambil karena ada rencana menarik utang baru dalam jumlah besar pada tahun depan.
Berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025 utang pemerintah yang akan ditarik sebesar Rp775,87 triliun. “Sehingga menjadi imperatif bagi pemerintah untuk menjaga yield (imbal hasil) SBN agar tidak semakin naik karena beban bunganya akan bertambah lebih berat ke depan,” ujarnya.
Beban bunga utang saat ini, lanjutnya, sudah cukup besar. Porsinya sekitar 19,50 persen dari seluruh belanja negara. Sedangkan beban bunga utang yang harus dibayar pemerintah pada 2025 mencapai Rp552,85 triliun. Terdiri dari bunga utang dalam negeri Rp479,6 triliun dan bunga utang luar negeri Rp55,2 triliun.
Ini menurut dia menjadi penyebab BI mengambil kebijakan operasi moneter tersebut. “Karena jika yield SBN semakin tinggi dan nilai tukar rupiah semakin melemah, maka bisa diperkirakan pengelolaan keuangan pemerintahan Prabowo akan jauh lebih ngos-ngosan lagi,” ujarnya.