Tahun Depan, Sri Mulyani tak Melihat Titik Cerah Perekonomian Nasional


Ini gawat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak melihat adanya titik cerah sektor ekonomi di tahun depan. Situasi global diprediksikan semakin rumit dan gelap. Bisa jadi, dampaknya buruk bagi perekonomian Indonesia.

“Situasi ekonomi global sungguh saat ini terus mengalami dinamika luar biasa,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Rabu (11/12/2024)

Kewaspadaan atas perekonomian global meningkat eskalasinya pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Hubungan negara maju dengan Blok China dan Rusia kekhawatiran mengganggu rantai pasok perdagangan dan komoditas.

Di sisi lain, kata dia, masih ada ketegangan di Timur Tengah (Timteng) dan gejolak di sejumlah negara di Amerika Latin. “Dinamika politik security ini beri pengaruh sangat nyata terhadap tren ekonomi dunia,” jelasnya.

Pada pasar keuangan, Sri Mulyani melihat ada perubahan seiring dengan ketidakpastian suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate (FFR). “Kita selalu dengar sepanjang 2024 bahwa FFR akan higher for longer dan mulai turun dan sudah mulai melakuan beberapa prediksi penurunan sekarang dengan munculnya dinamika politik dan sequrity global penambahan penurunan ini menjadi tertunda,” terang Sri Mulyani.

Ini membuat kebijakan fiskal dan moneter dari beberapa negara akhirnya tertahan, menunggu perkembangan terbaru. “Semuanya harus tertunda terhenti untuk lihat perkembangan situasi politk yang mempengaruhi demand supply dan dinamika harga maupun nilai tukar tentu ini pengaruhnya ke nilai tukar dan exchange rate,” pungkasnya.

Berdasarkan kajian Schroders, sebuah perusahaan manajemen aset global yang berbasis di London, kebijakan pro-pertumbuhan AS yang dicanangkan Trump, terkait pemotongan pajak korporasi dan tarif impor, diprediksi menekan perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia.  

“Ketika ekonomi AS tumbuh kuat, arus keluar portofolio dari pasar negara berkembang dapat terjadi, menciptakan tekanan pada neraca pembayaran Indonesia,” tulis Schroders dalam laporan terbaru, Rabu (11/12/2024).

Selain itu, Schroders menuliskan, pertumbuhan ekonomi China bakal melemah karena lesunya properti serta tekanan tarif yang diterapkan pemerintah AS. Hal ini berdampak kepada volume ekspor Indonesia ke China.

Namun demikian, harga komoditas unggulan asal Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit (crude palm oil/CPO), berpeluang naik. kalau benar, bisa menjadi penyeimbang untuk memperbaiki neraca perdagangan Indonesia.  

Di sisi lain, Schroder mencermati pasar obligasi Indonesia bakal menghadapi tantangan besar pada 2025. Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga pada akhir 2024, tetapi fleksibilitas kebijakan BI masih tergantung pada nilai tukar rupiah yang cenderung rentan terhadap arus keluar modal asing.  

Instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi salah satu strategi penting untuk menarik minat asing. Hingga Oktober 2024, kepemilikan asing atas SRBI mencapai Rp262 triliun, sebuah indikasi kuat akan keberhasilan instrumen ini dalam menarik modal asing.