Tiongkok telah berupaya dalam beberapa tahun terakhir mempengaruhi pemilu di Taiwan baik dengan ancaman militer maupun upaya disinformasi untuk menurunkan moral warganya. Namun Taiwan berhasil menangkalnya dengan penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan baru.
Tindakan militer langsung Tiongkok dan aksi intimidasi lainnya tidak menghalangi Partai Progresif Demokratik (DPP) Taiwan yang berkuasa untuk meraih kemenangan besar bagi kandidatnya, Lai Ching-te, sebagai Presiden berikutnya dalam pemilu yang diadakan pada 13 Januari.
Mengutip Eurasian Times, Lai mengalahkan kandidat saingan terdekatnya Hou Yu-ih dari Kuomintang (KMT), yang bisa dibilang merupakan kandidat yang didukung Beijing. Ada juga kandidat ketiga yakni Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP). Menurut angka perolehan suara terakhir, Li memperoleh 5.586.019 suara (sekitar 41 persen) dibandingkan dengan Hou yang memperoleh 4.671.021 (33 persen) dan Ko yang memperoleh 4.671.021 (26 persen).
Kemenangan Li memberi partainya masa jabatan ketiga berturut-turut, sebuah rekor baru sejak negara kepulauan itu mengadopsi pemilihan Presiden langsung pada 1996. Dia berjanji untuk tetap mengikuti pendekatan pemimpin saat ini, Presiden Tsai Ing-wen yakni menjaga jarak dengan Beijing sambil berusaha menghindari konflik dan memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat serta negara demokrasi lainnya.
Seperti yang dicatat EurAsian Times sebelumnya, Tiongkok telah berupaya selama beberapa tahun terakhir untuk mempengaruhi pemilu dengan menggunakan ancaman militer dan taktik zona abu-abu. Faktanya, pada saat pemungutan suara, Sabtu (13/1/2024), Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan (MND) mengklaim telah melacak delapan pesawat militer Tiongkok dan enam kapal angkatan laut di sekitar Taiwan antara pukul 6 pagi pada Jumat (12/1/2024) dan waktu yang sama pada Sabtu (13/1/2024) bersamaan dengan tanggal pemilihan presiden Taiwan.
Menurut MND, dari delapan pesawat Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), satu pesawat perang anti-kapal selam Shaanxi Y-8 memasuki sudut barat daya zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan. Tidak ada pesawat PLA yang melintasi garis median Selat Taiwan selama waktu tersebut.
Tentu saja, Tiongkok selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mempengaruhi pemilu Taiwan. Upayanya lebih dari sekadar ancaman militer, ini adalah “perang disinformasi” terhadap Taiwan untuk menurunkan moral 23 juta penduduknya sebagai sebuah strategi penting Beijing.
Namun semua ini tampaknya tidak efektif. Seperti yang diungkapkan oleh Kenton Thibaut, Senior Resident Fellow untuk Tiongkok di Lab Penelitian Forensik Digital Dewan Atlantik, pulau ini telah merespons dengan gelombang inovasinya sendiri.
“Taiwan memiliki jaringan kelompok masyarakat sipil, seperti DoubleThink Lab, yang memelopori cara-cara baru untuk memerangi campur tangan asing. Pemerintah juga telah mengembangkan inisiatif anti-disinformasi, dan berupaya keras untuk membasmi proxy Tiongkok (agen atau simpatisan Taiwan). Dan para pemilih Taiwan sangat peka terhadap operasi Beijing,” kata Thibaut.
Organisasi masyarakat sipil telah mendirikan “Pusat Fakta Taiwan” untuk meningkatkan literasi media dan menekan dampak disinformasi. Inovasi digital lainnya—seperti aplikasi pengecekan fakta untuk platform media sosial populer di Taiwan—juga bermunculan untuk melawan serangan Tiongkok terhadap ruang informasi Taiwan. Mereka telah mengembangkan alat kecerdasan buatan (AI) baru untuk memindai dan menandai postingan di platform media sosial dengan cepat jika menemui konten yang menyesatkan.
Pemerintah Taiwan juga telah mengambil langkah-langkah pelengkap untuk mengatasi upaya disinformasi secara lebih langsung. Tahun lalu, pemerintah membentuk gugus tugas yang menyatukan berbagai departemen—termasuk Kementerian Urusan Digital, Kementerian Pendidikan, Komisi Pemilihan Umum Pusat, dan Kementerian Kehakiman—untuk memantau Internet dan media guna mencari tanda-tanda manipulasi informasi seputar isu pemilihan tersebut.
Taiwan juga telah mengeluarkan undang-undang untuk menindak kasus-kasus dugaan campur tangan pemilu. Ada Undang-Undang Anti-Infiltrasi yang melarang lembaga asing memberikan sumbangan politik dan melarang penggunaan dana yang diperoleh secara ilegal untuk tujuan politik. Pemerintah kini menggunakan undang-undang ini untuk menghentikan upaya Beijing memanfaatkan proxy lokal.
Namun, obat terbaik terhadap pengaruh Tiongkok dalam pemilu Taiwan adalah kesatuan yang luar biasa di antara semua pemain politik mengenai komitmen mereka terhadap demokrasi inklusif dan status quo yang tidak memberikan kemerdekaan formal maupun dukungan terhadap prinsip Satu Tiongkok. Faktanya, upaya Beijing untuk memaksa pemilih tampaknya memperkuat demokrasi di negara pulau tersebut.
Misalnya saja ketiga calon presiden yakni Li, Hou, dan Ko, terlepas dari afiliasi politik mereka, telah menegaskan bahwa Taiwan tidak akan diizinkan menjadi Hong Kong berikutnya atau Kyiv berikutnya.
Mereka semua sepakat bahwa cara terbaik untuk melindungi pulau mereka adalah dengan melanjutkan kebijakan pertahanan dan diplomasi Presiden Tsai untuk memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat, Jepang, dan negara demokrasi lainnya. Ketiganya menekankan pentingnya menerapkan pendekatan asimetris yang memprioritaskan pengembangan dan pembelian sistem serta platform kecil dalam jumlah besar, seperti rudal, ranjau, dan drone.
Dalam konteks ini, patut dicatat bahwa pada rapat umum besar-besaran terakhirnya di Taipei pada hari sebelum pemilu, Hou melakukan hal yang paling tidak terbayangkan dengan tidak mengundang pemimpin paling senior KMT dan mantan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou. Ma sangat dekat dengan Beijing dan secara terbuka mengatakan bahwa Taiwan tidak boleh menghabiskan banyak uang untuk pertahanan dan kita harus “mempercayai Presiden Tiongkok Xi Jinping” karena Taiwan “tidak akan pernah menang melawan Tiongkok.”
“Mantan presiden Ma dan saya memiliki posisi yang sangat berbeda dalam isu-isu tertentu. Jika saya terpilih, saya tidak akan menyinggung isu unifikasi dengan Tiongkok. Jika menyangkut persoalan lintas selat, kita tidak bisa mengandalkan niat baik dari satu pihak saja. Akan sangat berbahaya jika kita sama sekali tidak memiliki persiapan sebelum menanganinya,” kata Hou dalam sebuah wawancara.
Beijing telah memperjelas bahwa kemenangan Li atau DPP akan berisiko mendorong Taiwan “semakin dekat ke perang dan resesi.” Oleh karena itu, masuk akal untuk berasumsi bahwa Tiongkok dapat semakin meningkatkan tekanan ekonomi dan militer terhadap Taiwan dalam beberapa hari dan minggu mendatang.
Apalagi Presiden Xi telah menyatakan bahwa masalah Taiwan tidak dapat diwariskan kepada generasi mendatang dan bahwa mencapai unifikasi adalah inti dari peremajaan negara tersebut. Dia menyebut unifikasi sebagai “keniscayaan historis,” dan ketika Xi menghadapi tantangan ekonomi yang semakin besar, dia mungkin berupaya menjadikan unifikasi sebagai bagian utama dari warisan politiknya.
Leave a Reply
Lihat Komentar