News

Cawapres Kunci Kemenangan Pilpres

Pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) tinggal lima bulan lagi, yaitu pada 19 Oktober 2023-25 November 2023. Meski saat ini sudah muncul nama-nama bakal capres yang resmi diusung oleh koalisi parpol, namun hingga sejauh ini belum memiliki cawapres.

Sembilan parpol di parlemen masih terus mengkalkulasi dan tarik-menarik kepentingan untuk menentukan cawapres yang akan diusung agar dapat memenangkan pertarungan Pemilu Presiden atau Pilpres 2024.

Mungkin anda suka

Penentuan cawapres memang menjadi variabel paling menentukan dalam pilpres mendatang. Penyebabnya, dalam analisis Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago adalah karena dalam beberapa temuan survei hanya terdapat tiga nama capres yang kuat dan kompetitif dengan selisih elektabilitas yang tipis, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

Elektabilitas ketiga tokoh ini di berbagai lembaga survei bersaing sangat ketat dan saling salip menyalip, sehingga membuat posisi cawapres menjadi kunci pemenangan pemilu mendatang.

“Tidak ada capres yang leading sendiri jauh di atas angka psikologis 30 persen, sebagai capres pemenang tanpa lawan tanding, masih relatif dalam rentang range margin of error. Dengan demikian, maka cawapres lah menjadi kunci kemenangan,” ujar Pangi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (11/5/2023).

Kata Pangi, dinamika elektoralnya tidak terlalu terpaut jauh, bahkan pernah Prabowo menyalip Ganjar, Anies pernah menyalip Prabowo, dan Anies pernah menyalip Ganjar dan Prabowo dan seterusnya.

Dengan demikian, penting memastikan posisi cawapres mampu menggenjot elektabilitas capresnya. Dengan kata lain, cawapres berfungsi sebagai doping politik. Salah menggandeng cawapres bisa menjadi blunder yang mematikan langkah politik capres. Maka tak heran, parpol koalisi sengaja menyimpan nama cawapres.

Sejauh ini, menurut pengamatan Pangi, parpol koalisi tidak akan mau terburu-buru mengumumkan cawapresnya. Caranya, mengunci nama cawapres sebab cawapres harus dipastikan kontributif terhadap capresnya. “Menjadi bagian dari desain adu strategi politik. Kenapa penting parpol koalisi meracik cawapres ideal dan potensial pendamping capres, sebab kalau salah maka bisa bunuh diri politik.”

Jadi, bila keliru menggandeng cawapres berpotensi menggerus elektabilitas capresnya. Dalam situasi ini, jika capres memilih cawapres yang tidak tepat, bisa jadi perolehan suara tidak akan mengalami peningkatan yang signifikan atau bisa saja tidak terjadi tren pertumbuhan elektoral secara signifikan. Di sini ada dua model, yakni cawapres yang berhasil mendongkrak capres sehingga mendapatkan tambahan yang kontributif menggenjot elektabilitas capresnya atau justru sebaliknya dukungan modal elektoral yang sudah ada pada capres malah kian tergerus.

Ia mencermati setidaknya terdapat tiga kriteria penting dalam penentuan cawapres, yaitu pertama, modal elektabilitas atau racikan elektoral. Kedua, dukungan partai politik. Kemudian ketiga, ketersedian isi tas alias modal logistik kampanye sebab biaya pilpres “high cost”.

Dukungan partai politik

Dalam pemilihan presiden, partai politik memiliki peran penting dalam memperoleh suara dan mendapatkan dukungan dari anggota partai. Oleh karena itu, memilih cawapres yang berasal dari partai politik yang memiliki basis dukungan yang kuat dapat membantu pasangan capres memperoleh suara dari basis partai tersebut.

Untuk mengamankan basis dukungan, lanjut Pangi dalam analisisnya bahwa cawapres yang memiliki pengaruh politik yang kuat dan berasal dari daerah yang memiliki potensi elektoral besar dapat memberikan keuntungan bagi pasangan capres. Hal ini karena cawapres yang berasal dari daerah tersebut memiliki kecenderungan untuk mendapatkan dukungan dan memperluas dari basis pemilih di wilayah tersebut.

Cawapres yang memiliki basis elektoral yang kuat atau memiliki jaringan politik yang luas dapat membantu pasangan calon untuk memenangkan dukungan dari partai politik atau koalisi politik yang sebelumnya tidak mendukung yang pada akhirnya akan mempengaruhi format koalisi dan partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi untuk membentuk koalisi yang stabil dan solid.

Selain itu, memilih cawapres yang dapat menjaga stabilitas politik dan meredam potensi konflik di dalam pemerintahan dapat memberikan keyakinan kepada pemilih bahwa pasangan tersebut mampu menghadapi tantangan dan dinamika politik dengan baik. Salah satu contoh, bagaimana Jusuf Kalla (JK) sebagai wapres waktu itu bisa menarik Partai Golkar ke gerbong koalisi pemerintah, sehingga tercipta stabilitas politik dalam koalisi.

Namun, alasan cawapres digandeng ada kebutuhan lain, yaitu tergantung kebutuhan “user” capresnya, seperti pertama, representasi basis segmen pemilih yang tidak beririsan alias tidak sama dengan capresnya. Kedua, irisan representasi wilayah misalnya Jawa-non Jawa. “Menjaga keseimbangan regional dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman regional, memilih cawapres dari wilayah yang berbeda dengan capres dapat membantu menjaga keseimbangan dukungan dari berbagai daerah.”

Ketiga, kebutuhan cawapres dalam konteks blok ideologis, yakni cawapres digandeng ada kebutuhan lain karena mengentalnya blok ideologis polarisasi isu dan menguatkan politik identitas, sehingga muncul capres-cawapres representasi kombinasi nasionalis-religius seperti dalam kasus Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Model cawapres kebutuhan lain misalnya sipil-militer, cawapres dari kluster kepala daerah, dari menteri, dan dari ketum partai.

Keempat, cawapres representasi kebutuhan pemilih gen-Z dan milenial, sebab bagaimana pun generasi milenial cukup besar dan potensial pemilihnya, bahkan mendekati angka 60 persen. Pemilih ini masuk  pada kategorisasi pemilih rasional dan psikologis, memperhatikan rekam jejak kandidat, kompetensi, kapasitas, integritas dan jam terbang serta pengalaman dari capres-cawapresnya. Jadi, harus hati-hati juga dengan perilaku memilih (voting behavior) kelompok klaster ini.

Gen-Z dan milenial termasuk pemilih yang kritis yang naik kelas menjadi pemilih rasional dan psikologis, sehingga penting juga cawapres mempertimbangkan rekam jejak. “Mempengaruhi persepsi publik dengan memilih calon wakil presiden yang memiliki citra politik yang baik dan bersih akan lebih mudah diterima oleh pemilih kritis gen-Z dan pemilih milenial dan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kemampuan pasangan calon presiden,” terang Pangi menambahkan.

Lebih jauh ia mencermati tampaknya ada desain untuk membisikkan cawapres yang salah kepada capres. Skenario pembusukan dari dalam, membisikkan cawapres yang salah kepada “king maker” atau “veto players” dalam hal konteks menggandeng cawapres, sehingga semakin menyulitkan kans kemenangan.

Harus sangat hati-hati

Penentuan posisi cawapres ideal tentunya tidak bisa reaksioner atau egois. Pangi menekankan, kalau sekadar untuk mendaftar ke KPU, ambil saja ketua umum partai menjadi cawapres. Namun, di sini pastinya harus berhati-hati betul untuk menentukan cawapres yang tepat.

Artinya, perlu kalkulasi dan hitung-hitungan secara matang dengan ukuran matematika politik yang terukur atau jangan sampai salah menghitung.  Selain memang tingkat akseptabilitas cawapres penting, baik penerimaan parpol koalisi, “king maker” maupun penerimaan basis “grasroot” itu sendiri.

Selanjutnya, Pangi menilai bila daya rekat koalisi capres-cawapres sangat transaksional pragmatis bukan ideologis maka dikhawatirkan posisi penentuan cawapres di dalam koalisi dengan pendekatan politik “last minute” atau “injure time” juga punya risiko.

“Membuat guncangan koalisi, rawan. Segmen koalisi berbasiskan siapa cawapres yang akan digandeng di internal koalisi, menyebabkan koalisi gampang mengalami patahan di tengah jalan atau bubar,” sambung Pangi.

Oleh karena itu, dia menggarisbawahi pasangan capres-cawapres yang terpenting adalah paket komplementer atau saling melengkapi. Sehingga, cawapres yang memiliki keahlian dan pengalaman yang komplementer dengan capres dapat memberikan keuntungan tambahan dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan jika terpilih.

Semuanya itu tentu dengan tetap mempertimbangkan variabel elektabilitas, wilayah, logistik, partai, kombinasi latar belakang, representasi figur, dan lain lain. “Cawapres yang mampu menopang kemenangan atau the winning coalition. Kebutuhan cawapres untuk membantu mendulang elektoral kemenangan dan termasuk kebutuhan untuk stabilitas koalisi itu sendiri,” jelas Pangi menguraikan.

Ia memandang Pilpres 2024 adalah gelanggang datar tanpa petahana, sehingga kunci kemenangan pilpres bukan hanya pada capres, tapi sejauh mana piawai menggandeng cawapres yang mengantarkan kemenangan. Sekali lagi, Pangi menegaskan kunci kemenangan adalah cawapresnya.

Chemestry capres-cawapres juga penting menjadi perhatian, jangan sampai matahari kembar seperti SBY-JK tempo dulu. Apalagi pada periode kedua ada potensi persaingan elektoral antara capres dengan cawapresnya untuk merebut RI-1 pada periode kedua masa jabatan,” tambah Pangi mengingatkan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button