Tak Kunjung Diusut, Apa Kabar Demurrage Impor Beras?


DPR mulai gerah lantaran perkara demurrage (denda kelebihan waktu) dan dugaan mark up impor beras tak kunjung ada penyelesaiannya.

Seakan-akan kasus ini dibiarkan menguap begitu saja. Padahal fakta-fakta adanya maladministrasi yang menyebabkan negara berpotensi merugi sudah terpampang ke publik.

Salah satu contoh, dokumen hasil riviu sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri pada tanggal 17 Mei 2024 yang ditandatangani Plh Kepala SPI Arrahim K. Kanam menyebut, ada masalah dalam dokumen impor yang tidak proper dan komplet sehingga menyebabkan biaya demurrage atau denda yang terjadi di wilayah pabean/pelabuhan Sumut, DKI Jakarta, Banten dan Jatim.

Dokumen itu juga menyebutkan bahwa kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum dapat dilakukan lantaran dokumen impor belum diterima melebihi waktu yang telah ditentukan. Dokumen tersebut mengungkap telah terjadi kendala pada sistem Indonesia National Single Windows (INWS) di kegiatan impor tahap 11 yang dilakukan pada bulan Desember 2023.

Dalam dokumen riviu juga disebutkan terjadinya biaya demurrage atau denda karena perubahan Perjanjian Impor (PI) dari yang lama ke baru. Lalu ada juga phytosanitary yang expired dan kedatangan container besar dalam waktu bersamaan sehingga terjadi penumpukan container di pelabuhan.

Akibat tidak proper dan kompletnya dokumen impor serta masalah lainnya, telah menyebabkan biaya demurrage atau denda senilai Rp Rp294,5 miliar. Dengan rincian wilayah Sumut sebesar Rp22 miliar, Rp94 miliar dan Jawa Timur Rp177 miliar.

Stagnasinya perkara membuat Anggota Komisi III DPR RI Santoso buka suara. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak cepat. Santoso menilai persoalan demurrage impor beras harus dituntaskan dan usut. “Perilaku oknum yang menyengsarakan rakyat harus di hukum seberat-beratnya,” ucap Santoso dalam keterangannya, dikutip di Jakarta, Senin (22/7/2024).

Lebih buruknya, kata Santoso, hal tersebut ditengarai memicu kenaikan harga komoditas yang akan mengakibatkan turun dan tergerusnya daya beli masyarakat. “Harga beras naik berdampak pada naiknya harga komoditas lainnya yang mengakibatkan daya beli rakyat menurun,” kata Santoso.

Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi tetap bersikeras bahwa tidak ada persoalan dalam pengadaan impor beras. Bayu mengklaim mekanisme lelang dilakukan terbuka, diawali dengan pengumuman terbuka bahwa Perum Bulog akan membeli sejumlah beras.

“Lalu akan ada pendaftaran peminat lelang yang jumlahnya antara 80 sampai 100 perusahaan eksportir penjual,” kata Bayu dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/7/2024).

Tahap selanjutnya, kata Bayu, yakni sesi penjelasan. Pada sesi ini dijelaskan syarat dan ketentuan mengikuti lelang terbuka yang merujuk pada praktek transparan dalam perdagangan internasional.

Syarat tersebut antara lain eksportir harus punya pengalaman pernah mengekspor, harus bersedia diinspeksi jika perlu dan harus bersedia menerbitkan uang jaminan tender (bid bond), serta uang jaminan kinerja (performance bond) di bank terkemuka Indonesia, selain persyaratan administrasi lainnya.

Bayu mengatakan beberapa perusahaan, terutama yang baru, biasanya akan mundur karena persyaratan yang ketat tersebut. Sehingga, yang kemudian benar-benar ikut lelang sekitar 40-50 perusahaan. “Semua kami lakukan secara transparan sesuai dengan komitmen kami dalam melakukan transformasi. Kepercayaan pada perdagangan internasional sangatlah mahal harganya, karenanya harus selalu kami jaga,” kata dia.

Akan tetapi kabar terbaru menyebut, ada mekanisme yang tidak wajar, kapal pengirim yang semestinya bisa langsung ke Jakarta, mesti mampir dulu ke Singapura. Kejanggalan ini, menguatkan adanya kesalahan adminstrasi sehingga proses impor mesti transit. Bahkan pihak pengekspor dari Vietnam pun dibuat bingung dengan skema Shipment seperti ini.