Market

Tak Masuk Akal Jokowi Naikkan Harga Pertalite Cs

Meroketnya harga minyak dunia tak dapat jadi alasan yang masuk akal bagi Pemerintahan Jokowi untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar, dan Tarif Dasar Listrik. Ekonom justru menyarankan untuk melakukan semacam subsidi silang.

“Selama masih ada windfall profits dari kenaikan harga komoditas CPO (crude palm oil), gas, batu bara, dan mineral lainnya yang menjadi pendapatan non-pajak, harga Pertalite, Solar, dan TDL (tarif dasar listrik) seharusnya tidak naik,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (14/4/2022).

Kalaupun harga dinaikkan, jangan terlalu tinggi, seperti kenaikan harga Pertamax per 1 April 2022. “Dengan adanya subsidi, daya beli masyarakat masih memiliki buffer yang menjadi insentif bagi perekonomian,” timpal David.

Kenaikan yang terlalu tinggi akan memicu disparitas harga sehingga terjadi peralihan dari Pertamax ke Pertalite yang membuat subsidi jebol dan tak tepat sasaran. “Pada saat yang sama, penyelundupan pun terjadi di mana BBM yang seharusnya dijual di dalam negeri diselundupkan ke luar negeri,” papar dia.

‘Durian Runtuh’ dari Kenaikan Harga Batu Bara dan CPO

David pun menyarankan pemerintah untuk mensubsidi 80-90% harga BBM dari harga pasar internasional. “Toh pemerintah juga dapat durian runtuh semacam blessing in disguise atau windfall profits dari kenaikan harga komoditas yang lain di luar minyak. Jadi ini bisa dilakukan semacam subsidi silang,” ucapnya menegaskan.

David pun melakukan perhitungan kasar. Katakanlah harga Indonesia Crude Price (ICP) US$100 per barel sementara patokan APBN US$63 per barel sehingga ada selisih US$37 per barel. Misalnya, pemerintah mensubsidi US$20 per barel sehingga total subsidi jadi US$80 per barel. Sisanya, US$20 per barel sesuai dengan mekanisme pasar.

“Dengan cara ini, kenaikan maksimal Pertamax hanya Rp10 ribu per liter dan tidak perlu menaikkan harga Pertalite. Tinggal sisakan untuk biaya angkut logistik dan margin untuk para retailer SPBU,” papar dia.

David memperkirakan, penggunaan Pertalite bisa naik hingga 70% dari sebelumnya 58% dan penggunaan Pertamx juga menjadi turun dari 13%-an sebelumnya. “Subsidi Pertalite juga akan membengkak,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi Pertalite pada kisaran Rp25 triliun-Rp30 triliun.

Lebih jauh David mengakui, kenaikan harga minyak memang berpengaruh negatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab, Indonesia merupakan net oil importer. “Hitungan kasar saya, tiap harga ICP naik sebesar US$1 per barel, nominal PDB turun Rp5,4 triliun,” tuturnya.

Akan tetapi, dengan windfall profits dari kenaikan harga komoditas CPO, batu bara, dan mineral lainnya, ekspor komoditas tersebut berhasil meng-offset (mengimbangi) kenaikan harga minyak. “Kontribusi CPO terhadap neraca dagang contohnya US$26,6 miliar di 2021 atau sekitar 2% PDB sedangkan batubara mencapai US$24,2 miliar,” papar dia. “Dari batu bara dan CPO, kita masih surplus.”

Tak Masuk Akal Jokowi Naikkan Pertalite Cs - inilah.com
Grafik windfall profits dari kenaikan harga crude palm oil (CPO), gas, batu bara, dan mineral lainnya serta rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2001-2021. Dok: Badan Pusat Statistik

Dari Subsidi BBM ke Subsidi Langsung

Apalagi, kata dia, pemerintah sedang menyiapkan draf Peraturan Pemerintah mengenai Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara. Aturan tersebut juga akan mengatur tentang kenaikan royalti batubara bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Ini sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian.

David menegaskan, skema subsidi tersebut bisa pemerintah lakukan selama kebijakan tersebut konsisten untuk menjaga inflasi. “Jangan berubah-ubah!” tukasnya.

Namun demikian, David tak menutup kemungkinan peluang pemerintah untuk menghilangkan subsidi harga BBM secara perlahan karena Indonesia merupakan net oil importer. “Mengingat kondisi kita yang produksi minyaknya terus turun dari 2 juta barel pada era Orde Baru menjadi 600-700 barel per hari,” ungkap dia.

Lebih baik, kata dia, pelan-pelan pemerintah mengurangi subsidi harga BBM dan subsidi tersebut beralih ke subsidi yang lain (bukan subsidi harga), seperti subsidi yang langsung menyasar ke orangnya. “Ini lebih pas, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) sehingga subsidi benar-benar menyasar ke orang yang membutuhkan,” ujarnya.

Kemarin publik terkejut dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam Rapat Dengar Pendapatan (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (13/4/2022). Intinya, pemerintah memberikan sinyal akan menaikkan harga Solar, Pertalite dan Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam waktu dekat.

Kenaikan tersebut tentu akan memicu kenaikan inflasi dan akan menekan daya beli masyarakat. Padahal, dalam kondisi saat ini oun, daya beli masyarakat masih terpuruk karena terpukul krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button