Market

Tak Paham Harga Pangan, Sri Mulyani Disarankan Tinggal di NTT Setahun

Ekonom senior, Anthony Budiawan mempertanyakan keyakinan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani bahwa harga pangan bergizi di daerah tertinggal lebih murah ketimbang daerah yang lebih maju.

“Alasan Sri Mulyani tidak benar, dan terbantahkan oleh hasil analisis Kompas. Menurut Kompas, biaya pangan bergizi di beberapa daerah tertinggal justru lebih mahal dari biaya rata-rata nasional,” ungkap Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu kepada Inilah.com, Jakarta, Senin (15/5/2023)

Mungkin anda suka

Anthony menegaskan, harga pangan di daerah tertinggal umumnya jauh lebih mahal. Karena, harus impor dari daerah surplus pangan. Kedua, produktivitas tanaman di daerah tertinggal sangat rendah, sehingga biaya produksi lebih mahal.

“Biaya pangan gizi seimbang di Maluku Utara mencapai Rp26.050 per orang per hari, atau Rp3.924 lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar Rp22.126 per orang per hari. Dengan biaya tersebut, angka kemiskinan di Maluku Utara mencapai 80 persen dari jumlah penduduknya,” beber Anthony.

Pun demikian Nusa Tenggara Timur (NTT), angka kemiskinannya mencapai 86 persen dari jumlah penduduk. Biaya pangan gizi seimbang di NTT, mencapai Rp23.126 per orang per hari. Atau Rp1.000 lebih tinggi dari rata-rata nasional Rp22.126.

“Mungkin ada baiknya Sri Mulyani coba menjalani hidup di NTT selama setahun, dengan uang Rp535.547 per bulan, sesuai garis kemiskinan BPS, untuk membiayai kebutuhan hidup non-makanan dan makanan. Atau sekitar Rp13.000 per hari untuk biaya makanan. Masyarakat sangat ingin tahu sampai berapa lama Sri Mulyani dapat bertahan,” ungkapnya.

Sebelumnya, Sri Mulyani melayangkan protes terkait perhitungan garis kemiskinan Bank Dunia yang mengubah perhitungan ukuran paritas daya beli, atau Purchasing Power Parity (PPP) pada 2017.

Hal ini membuat Sri Mulyani khawatir, sebanyak 40 penduduk Indonesia bakal masuk kategori miskin seketika. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada 2022 sebanyak 275 juta orang. Jika 40 persen tergolong miskin, maka jumlahnya kemiskinan di Indonesia mencapai 110 juta orang.

“Ibu Satu Kahkonen (Country Director World Bank Indonesia) mengatakan dalam pidatonya, ketika anda dapat menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol, tapi garis kemiskinan anda adalah US$ 1,9, anda harus gunakan US$ 3. Seketika 40 persen, kita semua menjadi miskin,” kata Sri Mulyani dalam World Bank’s Indonesia Poverty Assessment di Jakarta, Kamis (11/5/2023).

Sri Mulyani berargumen, perhitungan Bank Dunia tidak bisa seketika digunakan di Indonesia. Alasannya, masing-masing daerah di Indonesia, memiliki struktur harga yang berbeda. Sehingga, pengeluaran masyarakat untuk hidup akan berbeda pula. Selain itu, tak cocok kalau kemiskinan hanya diukur dari sisi pendapatan.

“Karena bahkan saat anda berpergian saat Ramadan, mudik Lebaran, seperti saya ke Semarang dan berkeliling menikmati restoran lokal, harganya sangat murah, ini di Semarang salah satu kota besar. Jika ke tempat yang lebih rendah akan lebih murah,” tegasnya.

Asal tahu saja, Bank Dunia telah mengubah ukuran PPP yang baru sebagai acuan untuk menentukan jumlah masyarakat miskin ekstrim atau miskin di suatu negara. Ukuran ini telah dijalankan sejak 2022, melalui angka PPP 2017 dari sebelumnya PPP 2011.

Pada basis perhitungan baru, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$2,15 per orang per hari, atau setara Rp32.250 per hari (kurs Rp15.000/US$). Sebelumnya, garis kemiskinan ekstri berada di level US$1,90 (Rp28.500).

Sementara, batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi US$3,65 atau Rp 54.750 per orang per hari dari sebelumnya US$3,20 atau Rp48.000. Adapun, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi US$6,85 atau Rp102.750 per hari dari sebelumnya US$5,50 atau Rp82.500 per hari.

Dengan ukuran PPP US$1,90 per hari, Bank Dunia menganggap Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan ekstrim, dari 19 persen pada 2002 menjadi 1,5 persen pada 2022.

Namun, sebagai calon negara berpenghasilan menengah ke atas, Indonesia menurut Bank Dunia perlu memperluas fokusnya di luar kemiskinan ekstrem, dengan beralih dari garis kemiskinan US$1,9 (Rp28.500) per kapita per hari.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button