Tak Perlu Respons Berlebihan soal Ejekan ‘Jilat’ Trump, Pemerintah Harus Fokus pada Dampak Kebijakan Tarif Impor


Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyebut Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak perlu merespons berlebihan, terhadap ucapan Presiden AS Donald Trump yang menyebut banyak negara mulai ‘menjilatnya’ pasca diumumkannya tarif impor.

Ia menyebut, sikap dan tindakan Trump memang sering menunjukkan perilaku yang acak, sering tidak terduga, cenderung bersikap seenaknya sendiri, dan bahkan terlihat seperti ‘orang gila’ yang tidak peduli dengan sikap dan pendapat orang lain.

“Kebijakan tarif impor AS yang sangat provokatif adalah cermin dari perilaku Presiden Trump di atas. Menurut saya, pemerintah sebaiknya tidak perlu merespon secara berlebihan atas sikap personal Presiden Trump. Pemerintah sebaiknya hanya berfokus pada kebijakan AS dan dampak dari kebijakan tersebut pada perekonomian kita,” tutur Yusuf kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Kamis (10/4/2025).

Yang terdekat, lanjut dia, adalah mitigasi terhadap pelemahan nilai tukar. Faktor utama pelemahan kurs rupiah saat ini hingga jatuh di kisaran Rp17.000 per dolar AS.

“Sejak awal kita sudah mengetahui bahwa kepemimpinan Presiden Trump cenderung menghasilkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan domestik AS dengan pendekatan negosiasi bilateral yang tegas,” jelasnya.

Di periode pertama kekuasaannya, Trump mengobarkan perang dagang antara AS dengan China sejak 2018, demi memperbaiki defisit neraca perdagangan sekaligus melindungi pasar domestik AS. Yang menarik, kata Yusuf, kebijakan perang dagang era Trump ini dilanjutkan oleh Presiden Joe Biden, yang bahkan semakin menaikkan tarif impor barang-barang dari China jelang pemilu.

Tarif impor dari China yang lebih tinggi telah mendorong kenaikan harga-harga di AS. Sejak 2021 inflasi di AS mulai meningkat dan berpuncak di 2023. Inflasi tinggi di AS ini ironisnya kemudian menjadi faktor utama kemenangan Trump.

Seiring inflasi tinggi AS ini kebijakan bank sental AS, The Fed, cenderung hawkish dengan agresif menaikkan suku bunga. Seiring hal tersebut, rupiah melemah. Rupiah sempat menguat pasca pandemi dari kisaran Rp16.000 per dolar AS menjadi di bawah Rp15.000 per dolar AS seiring kenaikan harga komoditas dan surplus neraca perdagangan.

Namun, sejak awal 2023, dari kisaran Rp14.700 per dolar AS, kurs rupiah mulai melemah, dan pada April 2024 menembus Rp16.000 per dolar AS. Sejak itu rupiah tidak pernah lagi menguat hingga sekarang ini dihantam kebijakan tarif AS hingga jatuh di kisaran Rp17.000 per dolar AS.

“Kebijakan tarif Presiden Trump ini sebenarnya kontradiktif dengan upaya AS yang terus berupaya memerangi inflasi pasca pandemi. Kenaikan tarif AS yang bahkan dilakukan tidak hanya ke China namun juga ke semua mitra dagang AS, tentu akan berdampak ke inflasi AS,” ungkap Yusuf.

Ekspektasi inflasi AS ini, menurutnya, semakin dengan stance kebijakan fiskal Presiden Trump yang cenderung ekspansif. Kombinasi dari pemotongan pajak dan belanja infrastruktur yang masif, membuat kebijakan fiskal Trump menghasilkan defisit anggaran dan utang pemerintah yang lebih besar sehingga ekspektasi inflasi AS lebih tinggi ke depan.

Kombinasi dari kebijakan proteksionisme dan kebijakan fiskal yang ekspansif, maka kepemimpinan Trump akan cenderung menghasilkan inflasi yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya akan cenderung mendorong The Fed untuk mempertahankan suku bunga di kisaran yang tinggi untuk waktu yang lebih lama (higher for longer).

Hal ini akan menarik arus modal dari emerging markets kembali ke AS, mendorong dolar AS menguat dan sekaligus menciptakan tekanan pada mata uang serta pengetatan likuiditas di pasar modal seluruh dunia.

“Maka mitigasi terhadap potensi pelemahan rupiah dari terpilihnya Trump sebagai Presiden AS ini, harusnya sudah dilakukan pemerintah dan bank sentral sejak lama. Pelemahan rupiah dan potensi tekanan untuk kenaikan suku bunga acuan BI (BI rate) saat ini tidak terhindarkan seiring ekspektasi inflasi AS yang kini lebih tinggi sehingga akan diikuti tingkat bunga The Fed yang juga lebih tinggi,” jelas Yusuf.

Kebijakan tarif yang sangat provokatif dari Trump hampir dapat dipastikan akan memicu perang dagang dan resesi dunia sehingga akan membuat pelaku pasar cenderung panik dan bereaksi secara berlebihan.

“Karena itu, saya melihat pelemahan rupiah saat ini tidak perlu di respon secara terburu-buru dengan kenaikan suku bunga. Kenaikan BI rate untuk menjaga rupiah, akan berdampak negatif dan semakin menekan pertumbuhan ekonomi domestik. Intervensi di pasar valas secara terukur menjadi opsi kebijakan yang lebih tepat,” imbuh dia.

Selain mendorong turunnya kepanikan pasar, peluang untuk menguatnya kembali rupiah datang dari tren melemahnya harga komoditas terutama harga minyak dunia. Inflasi AS sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia.

Seiring kebijakan tarif AS ini, yang telah meningkatkan ekspektasi resesi global, negara-negara OPEC justru meningkatkan target produksi minyak mereka sehingga harga minyak dunia kini jatuh di kisaran US$60 per barrel. Peluang kembalinya ekspor minyak Rusia seiring proses perdamaian Rusia-Ukraina akan semakin menekan harga minyak dunia ke depan ke kisaran US$ 50 per barrel.

“Yang juga krusial untuk segera dimitigasi menurut saya adalah dampak pelemahan Rupiah terhadap defisit anggaran dan biaya utang pemerintah. Pelemahan rupiah akan lebih besar meningkatkan belanja pemerintah dibandingkan meningkatkan pendapatan sehingga hasil akhirnya defisit anggaran meningkat. Arus keluar modal akibat suku bunga tinggi The Fed dan yield tinggi obligasi pemerintah AS juga akan memberi tekanan pada pasar obligasi yang akan memaksa pemerintah menaikkan imbal hasil surat utang pemerintah,” tutur Yusuf.

Tantangan lebih lanjut yang pemerintah sebaiknya berfokus adalah mitigasi dampak perang dagang antara AS dengan negara-negara lain terutama dengan China yang kemungkinan besar akan mengalami eskalasi seiring China yang melakukan retaliasi. Perang dagang AS-China yang telah dimulai sejak 2018 telah membuat peran Indonesia cenderung semakin mengecil dalam rantai pasok global.

Hal ini terjadi akibat kombinasi dua hal. Pertama, perang dagang AS-China telah membuat banyak perusahaan multinasional yang berlokasi di China mencari alternatif rantai produksi yang lebih aman, antara lain berpindah lokasi ke Asia Tenggara namun tidak memilih pindah ke Indonesia melainkan ke Vietnam, Thailand, atau Malaysia.

Kedua, perang dagang AS-China telah memaksa China mengalihkan tujuan ekspor nya dari pasar tradisional nya yaitu AS ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Pasca perang dagang AS-China di 2018, impor Indonesia dari China melonjak tinggi.

Banjir impor dari China dengan harga sangat murah yang terindikasi dumping ini telah memukul industri dalam negeri seperti industri tekstil, pakaian jadi, alas kaki, keramik, produk kecantikan hingga perangkat elektronik.

“Pasca kebijakan tarif AS, maka tantangan untuk mitigasi terhadap industri domestik semakin menguat. Pertama akibat potensi melemah nya pasar ekspor terutama di pasar AS. Kedua akibat potensi melonjaknya impor terutama dari China,” ungkap Yusuf.

“Jadi, alih-alih disibukkan dengan perilaku dan statement personal Presiden Trump, pemerintah sebaiknya berfokus pada dampak dari kebijakan tarif AS terhadap perekonomian Indonesia, seperti mitigasi pelemahan nilai tukar, mitigasi kenaikan utang pemerintah hingga mitigasi jatuhnya daya saing industri domestik,” tandasnya.