Indonesia saat ini sedang berada di tengah tanda tanya besar. Optimisme yang diungkapkan Burhanuddin Abdullah dari Tim Transisi Presiden Terpilih pada 26 September lalu, bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sangat mungkin dicapai di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, memang patut diapresiasi. Namun, di balik angka-angka tersebut, timbul pertanyaan mendasar: Bagaimana mungkin mencapai target tersebut ketika masyarakat semakin terpuruk dalam tekanan ekonomi?
Data survei konsumen Bank Indonesia menunjukkan bahwa porsi konsumsi terhadap pendapatan masyarakat meningkat signifikan, dari 68,5% pada tahun 2014 menjadi 74,3% di tahun 2023. Sebaliknya, porsi tabungan masyarakat terus menurun, dari 18,3% menjadi 15,7% dalam kurun waktu yang sama.
Angka-angka ini mengindikasikan bahwa masyarakat mengalami tekanan yang semakin besar dalam pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, sementara pendapatan mereka stagnan, bahkan cenderung menurun. Kenaikan biaya hidup yang tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat kelabakan. Tidak bisa tidak, mereka terpaksa mengurangi tabungan. Mantab: Makan tabungan.
Belum lagi ada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tak kunjung berhenti, diikuti dengan deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut. Deflasi yang terjadi bisa menjadi indikasi bahwa daya beli masyarakat tengah melemah. Penurunan kondisi kelas menengah, yang selama ini dianggap sebagai penopang utama perekonomian, juga semakin mempertegas bahwa ada krisis yang perlu segera diatasi.
Alih-alih mengatasi kesenjangan, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini justru memperkaya konglomerat dan oligarki. Tak percaya? Tengok saja alat ukur seperti Material Power Index (MPI) yang dikemukakan oleh Jeffrey Winters. MPI dirancang untuk mengukur stratifikasi ekonomi dalam konteks oligarki, dan Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana indeks ini semakin menjulang. Pada tahun 2014, MPI Indonesia mencapai 674 ribu, yang berarti rata-rata kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan 674 ribu kali lipat rata-rata pendapatan masyarakat. Angka ini sudah cukup mencengangkan. Namun, pada tahun 2023, indeks ini melonjak drastis menjadi 1,2 juta. Itu artinya, rata-rata kekayaan 40 orang oligark terkaya di negeri ini pada tahun 2023 sudah setara 1,2 juta kali lipat dari rata-rata pendapatan seluruh masyarakat. Hanya butuh satu dekade bagi kaum oligark untuk mencapai peningkatan yang fantastis tersebut.
Makanya, ketika pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa mencapai 8 persen, muncul lagi pertanyaan: siapa yang akan paling banyak menikmati dampak pertumbuhan itu? Jika rekam jejak selama 10 tahun terakhir menjadi perhatian, maka tidak salah jika pertumbuhan itu akan menguntungkan segelintir elit ekonomi.
Tak ayal, ketimpangan yang terjadi semakin terlihat jelas ketika kita menggunakan kesenjangan yang semakin menganga ini sebagai bukti bahwa kekayaan di Indonesia tidak terdistribusi dengan merata. Ketika rakyat biasa semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, segelintir elit terus menumpuk kekayaan. Pertumbuhan ekonomi yang terus digembar-gemborkan seakan menjadi angin segar bagi mereka yang berada di puncak piramida ekonomi, tetapi menjadi badai bagi mereka yang berada di dasar. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: Apakah hanya para konglomerat yang semakin kaya, sementara masyarakat luas semakin tertinggal?
Realitas ini menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti kemakmuran bagi semua. Ketika ketimpangan semakin melebar, stabilitas sosial dan politik pun menjadi taruhan. Pengalaman negara-negara lain seperti Chili menunjukkan bahwa ketimpangan yang terus dibiarkan dapat memicu gejolak sosial yang serius. Demonstrasi besar yang terjadi di Chili pada tahun 2019 adalah bukti bahwa ketimpangan ekonomi dapat memaksa perubahan politik secara tiba-tiba.
Ironisnya, pemerintah tampak lebih sibuk mengurus infrastruktur fisik daripada mengatasi persoalan ketimpangan yang semakin akut. Sumber daya manusia yang seharusnya menjadi fokus utama dalam menghadapi era otomatisasi dan kecerdasan buatan malah terbengkalai. Ketika pekerjaan manusia semakin digantikan oleh teknologi, pekerja yang tidak siap akan terlempar dari lapangan kerja, dan mereka yang terdampak justru berasal dari kelas menengah ke bawah.
Masyarakat harus mulai mempertanyakan ke mana arah pembangunan ekonomi Indonesia? Apakah ini benar-benar untuk kemakmuran bersama, atau sekadar memperkaya segelintir pihak? MPI yang terus meningkat adalah sinyal bahwa redistribusi kekayaan di Indonesia masih jauh dari kata adil. Para konglomerat semakin kokoh, sementara masyarakat luas terpaksa bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi yang makin besar.
Solusi untuk mengatasi ketimpangan ini tentu tidak mudah. Namun, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil tidak hanya menguntungkan segelintir elit. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya kepada mereka yang memiliki akses terhadap modal besar. Pajak yang lebih progresif terhadap kekayaan konglomerat bisa menjadi salah satu solusi.
Selain itu, pemerintah perlu fokus pada peningkatan pendidikan dan keterampilan tenaga kerja untuk menghadapi era otomatisasi dan teknologi yang semakin dominan, bukan justru menaikkan tarif PPN menjadi 12%.
Di sisi lain, konglomerat yang selama ini menikmati keuntungan dari pertumbuhan ekonomi harus turut serta dalam upaya mengatasi ketimpangan. Mereka harus berkontribusi lebih besar melalui pajak yang adil dan mendukung program-program sosial yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Jika tidak, Indonesia akan terus terperangkap dalam siklus ketimpangan yang semakin merusak tatanan sosial dan politik.
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen mungkin saja tercapai, tetapi pertanyaannya tetap: siapa yang akan menikmati hasil dari pertumbuhan tersebut? Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi yang lebih inklusif, maka pertumbuhan yang ada hanya akan memperkaya segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat terus terpuruk dalam kesulitan ekonomi.
Sebagai catatan untuk pemerintahan yang akan dipimpin Presiden Prabowo ke depan, ketimpangan yang semakin parah bukanlah tanda kemajuan, melainkan sinyal bahaya bahwa kita sedang menuju arah yang salah. Jika kita terus membiarkan ketimpangan ini berkembang tanpa kontrol, bukan tidak mungkin kita akan menghadapi gejolak sosial yang lebih besar di masa depan.