Tantangan Pembangunan Pangan


Krisis pangan kini kian mengancam. Pengakuan jujur terhadap masalah ini muncul dari Mantan Dirut Perum Bulog, Bayu Krisnamurti, yang menyikapi kondisi yang tengah terjadi saat ini. Setidaknya ada tiga masalah serius yang butuh pencermatan. Pertama, adanya iklim ekstrem yang hingga sekarang belum ditemukan solusi terbaiknya. Kedua, semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah pertanian produktif, dan ketiga, soal alih generasi petani.

Banyak pakar mewanti-wanti potensi 50 juta petani kekurangan air, lantaran kondisi iklim yang kurang bersahabat dengan dunia pertanian dan kehidupan kaum tani. Hal ini patut dicermati dengan seksama, mengingat dunia akan menuju “neraka iklim”, dengan suhu yang mencapai rekor tertinggi dalam lima tahun ke depan.

Suasana ini betul-betul merisaukan, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan “warning” dari Badan Pangan Dunia (FAO) yang menyatakan, jika masalah ini tidak segera dicarikan solusinya, diprediksi pada tahun 2050, warga dunia bakal dilanda kelaparan. Itu sebabnya, cukup beralasan jika Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, perlu lebih cerdas dalam membaca isyarat zaman yang tengah bergulir.

Adanya iklim ekstrem membuat banyak negara agraris kesulitan mengelola pembangunannya, termasuk Indonesia. Fenomena El Niño menyebabkan gagal panen di banyak sentra produksi padi, dengan angka yang cukup signifikan. Akibatnya, produksi beras turun secara drastis, sehingga mengganggu ketahanan pangan bangsa dan negara.

El Niño yang berbarengan dengan musim kemarau berkepanjangan jelas melahirkan tragedi kehidupan yang memilukan bagi bangsa kita. Lebih parah lagi, ternyata pemerintah belum siap menjawab tantangan ini. Pemerintah tampak belum mampu melakukan pendekatan deteksi dini dan masih menggunakan pendekatan sebagai “pemadam kebakaran.”

Bayangkan, jika jauh-jauh hari kita telah menyiapkan program pompanisasi, perluasan areal tanam, percepatan masa tanam, dan lain sejenisnya, tentu kita tidak akan kelabakan menghadapi sergapan El Niño. Sayangnya, hal itu belum mampu kita siapkan dengan baik. Baru setelah ada kejadian, kita tampak seperti “kebakaran jenggot.”

El Niño kini telah membawa dampak besar. Pemerintah sering kali menuding El Niño sebagai penyebab utama turunnya produksi beras. Akibatnya, pemerintah terpaksa mengandalkan impor beras sebagai solusinya, dan impor beras pun kini menjadi kebutuhan, bukan lagi pelengkap perdagangan internasional.

Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah: apa solusinya jika dunia dihadapkan pada krisis pangan, khususnya beras, seperti yang diingatkan oleh FAO? Apakah negara produsen beras masih akan meneruskan kebijakan ekspornya, atau justru menghentikannya demi memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka?

Selanjutnya, merosotnya tingkat kesuburan tanah pertanian juga menjadi tantangan serius. Selain tergerus oleh pembangunan untuk kawasan industri, pemukiman/perumahan, dan infrastruktur dasar, kesuburan lahan sawah pun menurun akibat perlakuan yang keliru, seperti tingginya penggunaan pupuk kimia yang mengurangi unsur hara tanah.

Ini adalah dilema pembangunan pertanian sejak revolusi hijau tahun 1970-an. Di satu sisi, kita dituntut untuk meningkatkan produksi, sementara di sisi lain, kita harus menjaga kesuburan lahan sawah. Sayangnya, penggunaan pupuk organik masih setengah hati diterapkan, dan kondisi lahan semakin tidak subur.

Belum selesai soal kesuburan lahan, bangsa ini dituntut untuk mencapai target produksi 32 juta ton beras pada tahun ini. Pengalaman penurunan produksi beras yang terjadi saat ini jelas mengganggu dunia pertanian dalam negeri, membuat harga beras melejit, dan memicu kelangkaan di pasar.

Terakhir, soal regenerasi petani menjadi masalah krusial. Kecenderungan kaum muda perdesaan yang enggan menjadi petani padi merupakan ancaman nyata bagi keberlanjutan pertanian di negeri ini. Ketika kaum muda lebih tertarik berhijrah ke kota, profesi petani padi semakin tidak populer di benak mereka.

Regenerasi petani harus dipandang sebagai tantangan global. Upaya untuk mempercepat regenerasi ini dapat diwujudkan melalui peningkatan dukungan pendidikan, penyuluhan pertanian, serta bantuan ekonomi dari pemerintah. Krisis regenerasi petani disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap modal, teknologi, dan tenaga kerja terampil, yang menghambat produktivitas pertanian.

Jika berbagai ancaman pangan di atas dapat diatasi, kita optimis bahwa dalam lima tahun ke depan, ketahanan pangan bangsa dan negara akan semakin kokoh dan kuat. Kata kuncinya, kita harus tetap hati-hati dalam menjawab krisis pangan ini.