Jelas-jelas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang dipimpin Dwi Soetjipto gagal meraih target produksi sejuta barel per hari, kini menyalahkan tukang las. Lho kok bisa?
Dalam konferensi pers, Jakarta, dikutip Jumat (9/8/2024), Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas, Rudi Satwiko menyebut, industri hulu minyak dan gas bumi (migas) yang beroperasi di Indonesia, saat ini, keculitan mencari tukang las alias welder.
Hal ini, menurut Rudi berdampak kepada anjloknya produksi minyak dan gas bumi (migas), karena terhambatnya sejumlah proyek. “Cuma memang yang sekarang agak susah terus terang saja masalah welder. Jadi ada beberapa pekerjaan kami ini ter-delay semacam proyek-proyek besar kaya Forel ada beberapa yang lain-lain, itu ternyata welder kita juga dibajak,” kata Rudi.
Artinya, kata Rudi, pekerja hulu migas yang dibajak, bukan hanya engineer. Namun banyak tenaga terampil termasuk tukang las juga dibajak. “Jadi yang dibajak yang keluar negeri bukan hanya engineer, tapi tenaga-tenaga terampil kita juga dibajak,” ungkapnya.
Namun, pihaknya tak mempermasalahkan hal tersebut. Dia mengatakan, pihaknya telah bekerjasama dengan Solo Techno Park untuk melakukan pembinaan sumber daya manusia.
“Jadi sudah ada beberapa KKKS yang bekerja sama dengan Solo Techno Park seperti Pertamina dan lain-lain,” ungkapnya.
Pernyataan ini boleh dibilang lebai. Ya, tentunya tukang las sektor hulu migas berhak memilih tempat kerja. ketika di Indonesia tidak terlalu dihargai, boleh dong mereka melirik tempat lain. Selain soal gaji, kepindahan mereka bisa jadi untuk meningkatkan kualitas. Jadi, bukan sekedar isi dompet.
Sebelumnya, praktisi migas Hadi Ismoyo mengatakan, ketidakmulusan lifting migas domestik akibat momentum sinergitas yang kurang kuat antarpemangku kepentingan.
“Target produksi di era Presiden Jokowi memang sangat mengecewakan karena kehilangan banyak momentum bagus untuk meningkatan produksi,” kata Hadi.
Untuk mengejar target produksi sejuta barel minyak dan gas bumi sebesar 12 miliar kaki kubik (BCF) pada tahun 2030, maka butuh dukungan dari seluruh stakeholder.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah (PR) yang besar bagi pemerintahan baru mendatang untuk memperkuat core team mulai dari Kementerian ESDM, SKK Migas, Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga pemerintah daerah.
“Kita sudah darurat energi, subsidi energi sudah Rp200 triliun setiap tahun, impor kita sudah 1 juta barel per hari sehingga perlu strategi masif yang di-drive oleh presiden sendiri,” ujarnya.