Kenaikan tarif impor yang diputuskan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 3 April 2025 dan berlaku mulai 9 April 2025 menimbulkan gelombang kekhawatiran bagi pelaku ekonomi di dunia, termasuk Indonesia.
Saat ini Trump menunda tarif impor resiprokal selama 90 hari untuk 57 negara, termasuk Indonesia yang awalnya dikenakan 32 persen, sementara ini dikenakan tarif dasar 10 persen. Penundaan selama 90 hari sejak 10 April 2025 ini memberikan waktu bagi Indonesia untuk bernegosiasi.
Presiden RI Prabowo Subianto pun mengutus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Luar Negeri Sugiono untuk berdialog dengan pemerintahan AS terkait tarif impor baru tersebut.
Menanggapi hal ini, Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Universitas Indonesia (LPEM-UI), Teuku Riefky menilai negosiasi perlu dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadapi kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Donald Trump. Alasannya, kebijakan itu akan dirasakan masyarakat Indonesia secara langsung.
“Apa yang akan dirasakan masyarakat Indonesia secara langsung? Pastinya ekspor, lalu hambatan perdagangan yang membuat Indonesia kemungkinan kebanjiran barang impor dari China,” ujar Riefky kepada Inilah.com.
Jika Indonesia dibanjiri produk asal China, menurutnya kondisi ini cukup menguntungkan dari sisi konsumen. Namun di sisi lain, dengan ekspor Indonesia yang cenderung turun, berdampak pada perlambatan industri domestik yang kemungkinan mempengaruhi pasar tenaga kerja.
Sebagaimana diketahui, Indonesia merespons tarif timbal balik 32 persen AS, dengan mengajukan paket negosiasi, di antaranya melalui revitalisasi Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi (TIFA), relaksasi kebijakan non-tarif seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta penyeimbangan neraca dagang lewat pembelian produk-produk strategis asal AS.
“Jadi terkait dengan paket negosiasi, ini saya rasa cukup baik. Daripada kita retaliasi, memang lebih baik kita melakukan negosiasi,” katanya.
Saat ini para pelaku pasar modal pun tengah menanti hasil negosiasi kebijakan tarif resiprokal AS yang dinilai menjadi penentu arah pasar ke depan di tengah tekanan global akibat perang dagang yang memanas.
Menko Airlangga mengaku telah menjalin komunikasi dengan pemerintah AS melalui surat yang dikirim ke United States Trade Representative (USTR) atau Kantor Perwakilan Dagang AS, Secretary Commerce, dan Secretary Treasury.
“Indonesia sudah berkirim surat dan selanjutnya menunggu jadwal yang diberikan oleh masing masing kementerian,” ujar Airlangga.
Dampak Tarif Trump
Pakar Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Rossanto Dwi Handoyo menjelaskan tarif impor Trump ini menunjukkan AS merasa bahwa dalam perdagangan dengan negara lain belum adil, yang mana produk AS yang diekspor ke negara lain memiliki tarif tinggi.
Hal ini mengakibatkan neraca perdagangan AS dengan negara lain mengalami defisit setiap tahunnya.
“Sebagai contoh, Indonesia tahun lalu surplus hingga 31 miliar dolar dengan separuh keuntungannya berasal dari Amerika. Hal ini tidak sebanding dengan surplus Amerika yang harus membayar tarif impor yang tinggi, sehingga kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan keuntungan Amerika dan pembelian produk domestik,” ungkapnya.
Selanjutnya, harga barang impor dari Indonesia di Amerika akan semakin naik, sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS yang mengakibatkan turunnya neraca perdagangan dan surplus Indonesia.
Penurunan daya saing produk Indonesia di AS, lanjutnya, dapat mengakibatkan risiko tutupnya industri yang bergerak dalam produksi komoditas ekspor, meningkatkan pengangguran serta investasi di beberapa sektor ekspor ke Amerika akan turun. Apabila tidak ditangani dengan baik maka dampak ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar.
Hal ini didasari dengan fakta bahwa bukan hanya ekspor Indonesia yang tinggi ke AS, namun juga dalam hal impor masih memerlukan AS di berbagai sektor seperti jasa, sektor keuangan, kedelai impor.
“Kita harus melihat proporsional bahwa Amerika penting bagi kita, jangan sampai pasar yang sudah ada di Amerika yang labour intensive ini akan hilang. Lakukan diplomasi yang soft agar Amerika bisa menurunkan tarif, kita juga menurunkan tarif untuk Amerika agar dapat memperoleh jalan tengah,” jelasnya.
Sementara itu Ketua Persatuan Pengusaha Hotel Indonesia, Hariyadi Sukamdani menilai sektor yang akan terpukul jika tarif impor AS sebesar 32 persen diberlakukan adalah tekstil, makanan, sepatu, dan kelapa sawit.
“Makanan seperti tahu dan kacang kedelai bakal terkena dampaknya karena Indonesia masih impor. Bakal ada perusahaan yang terimbas dengan kondisi ini, ujungnya bisa PHK karyawan,” kata Hari kepada Inilah.com.
Dirinya mengakui nilai perdagangan AS dengan Indonesia relatif kecil dibanding Indonesia dengan negara lain. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, Indonesia surplus perdagangan sebesar US$ 14,34 miliar pada Januari-Desember 2024 terhadap AS.
Akan tetapi, lantaran AS adalah negara importir terbesar di dunia, maka jika presiden di negara itu berulah, akan berdampak ke negara lain. Contohnya, perang dagang antara China dengan AS. Barang-barang China bakal membanjiri pasar Indonesia karena China mencari pasar baru selain AS.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani pun mewaspadai adanya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Industri garmen menjadi salah satu yang berpotensi atas dampak tarif impor Trump ini.
Seperti halnya sektor garmen, sepatu, karet, perikanan, dan furnitur akan sangat terdampak. Karena ekspornya yang cukup besar ke AS dan kondisi industrinya masing-masing yang memiliki korelasi supply chain dengan UMKM.
“Kekhawatiran kami yang terbesar adalah tekanan layoff [PHK] yang lebih besar di sektor padat karya [garmen terutama] pascakebijakan ini karena industrinya sendiri sudah lama struggling untuk mempertahankan kinerja usaha, kinerja ekspor dan lapangan kerja,” ungkapnya.
Apindo mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sepanjang Januari-Februari 2025 mencapai 40.000 orang, ditambah tahun lalu ada 250.000 orang yang dirumahkan. Sedangkan BPS mencatat, per Agustus 2024, tercatat ada 7,47 juta orang menganggur.
Meningkatnya pengangguran, diakuinya, akan berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia yang menciptakan situasi berbahaya pada sisi sosial, politik dan keamanan.
Peluang Besar
Selain berpotensi buruk, namun kebijakan Trump ini justru memiliki peluang besar bagi industri otomotif nasional. Seperti halnya yang diutarakan Pakar Otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu.
“Kebijakan tarif 32 persen oleh Donald Trump terhadap produk komponen otomotif Indonesia memang belum tentu akan mengguncang industri secara keseluruhan. Justru, ini adalah peluang emas yang tidak boleh disia-siakan,” katanya.
Dirinya menjelaskan, Vietnam mendapat tarif timbal balik resiprokal tertinggi yakni 46 persen, Thailand sebesar 37 persen, dan China sebesar 34 persen. Sedangkan Indonesia 32 persen.
Indonesia mendapat tarif lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Thailand dan Vietnam, atas dasar inilah Indonesia harus memanfaatkan keunggulan kompetitif secara maksimal untuk memperkuat posisinya di pasar global, khususnya pasar AS.
“Pemerintah perlu segera mengimplementasikan insentif fiskal yang menarik bagi industri otomotif, khususnya bagi perusahaan yang akan berkomitmen untuk berinvestasi dalam jangka panjang di Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, deregulasi terhadap aturan-aturan yang menghambat pertumbuhan industri otomotif dan komponennya harus segera dilakukan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
Hal senada juga diungkapkan Ekonom dari LPEM-UI, Teuku Riefky yakni pemerintah sudah semestinya melakukan deregulasi. Hal ini diakuinya menjadi salah satu dampak baik dari kebijakan baru Trump.
“Memang kita selalu merasa deregulasi ini perlu. Memang pemerintah belum melakukan langkah konkret. Nah ini harapannya sih pemerintah terus menjalankan langkah untuk melakukan deregulasi ini,” tambahnya.
Keresahan Eksportir
Teuku Rifky menilai kebijakan Trump sangat menimbulkan keresahan di kalangan eksportir. Meski dirinya tidak melihat secara langsung kondisi yang terjadi di lapangan, namun dapat dipastikan para eksportir harus mencari pasar yang baru.
“Tentu hal ini menimbulkan keresahan di kalangan eksportir, karena kan memang satu eksportir perlu mencari pasar baru. Kalau memang ditetapkan trading halt (pembekuan sementara perdagangan saham) dan mungkin mereka perlu bersaing dengan produk-produk dari negara lain yang tadinya tidak bisa mengakses AS, kalau mereka mau mencari pasar baru,” ungkapnya.
Keresahan ini disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno yang menurutnya para eksportir harus memutar otak dalam mencari pasar baru di luar AS.
“Kita dipaksa mencari pembeli baru di Luar USA. Kekhawatiran eksportir adalah tarifnya harus bisa di-absorb (serap) oleh pembeli USA,” ujarnya kepada Inilah.com.
Pencarian pasar baru ini diakuinya dapat dilakukan dengan memanfaatkan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Uni Eropa dengan Indonesia yang selesai pada Juni 2025.
“Kalau itu bisa terjadi, itu bagian dari alternatif penggalian pasar ya. Kalau seandainya di Amerika itu kita dikenakan cukup tinggi, walaupun kita juga tahu kita tidak lebih tinggi dibanding dengan kompetitor kita yaitu China sama Vietnam,” tandasnya.
(Diana Rizky/Syahidan)