Kebijakan tarif Presiden Donald Trump kembali mengguncang tatanan perdagangan global. Dengan retorika agresif, Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat kini mengumpulkan 2 miliar dolar AS per hari dari tarif yang diberlakukan terhadap puluhan negara, termasuk Indonesia. Klaim itu segera dibantah oleh data Department of the Treasury AS yang menunjukkan bahwa pendapatan dari bea masuk pada Maret 2025 hanya mencapai 8,75 miliar dolar. Angka itu memang meningkat dari tahun sebelumnya, tetapi jelas jauh dari klaim Trump. Fakta ini menunjukkan bahwa tarif bukan hanya instrumen ekonomi, melainkan telah menjadi senjata politik untuk menggertak dan menekan negara lain.
Dampak dari kebijakan ini tidak bisa dianggap enteng. Pasar global merespons dengan gejolak nilai tukar, arus modal yang tidak stabil, dan penurunan ekspor. Negara-negara berkembang menjadi pihak yang paling rentan terhadap tekanan ini. Indonesia, sebagai salah satu negara tujuan ekspor AS dan mitra dalam rantai pasok global, tidak bisa sekadar bersikap netral. Kita perlu menyusun strategi cerdas agar tidak terseret dalam pusaran pertarungan antarkekuatan besar, sekaligus memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga.
Ekonomi dalam Tekanan Politik
Jika kita menelaah lebih dalam, persoalan ini tidak hanya soal neraca dagang atau defisit fiskal. Apa yang sedang berlangsung adalah perebutan kekuasaan ekonomi global dengan alat-alat politik. Presiden Xi Jinping bahkan secara terbuka menyatakan bahwa Tiongkok dan Uni Eropa perlu bekerja sama untuk menolak tindakan sepihak yang bersifat intimidatif. Pernyataan ini disampaikan langsung kepada Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez dalam kunjungan resmi. Xi mengajak negara-negara lain untuk tidak tunduk pada logika politik agresif yang digunakan Amerika Serikat untuk mengubah aturan main perdagangan internasional.
Di sinilah tantangan besar kita. Ketika ekonomi tidak lagi ditentukan oleh kalkulasi rasional dan efisiensi pasar, tetapi oleh keputusan impulsif dan strategi politik, maka respons yang kita ambil pun harus berada pada level yang sama. Jika tekanan yang kita hadapi datang dari ruang politik, maka solusi kita juga harus menyentuh ranah politik. Kita tidak bisa berharap pada teori ekonomi klasik yang mengandaikan harmonisasi antara individu, pasar, dan negara. Dalam dunia yang dikendalikan oleh kepentingan kekuasaan, kita perlu merancang ulang strategi ekonomi dengan pendekatan yang lebih realistis dan strategis.
Indonesia Harus Bertindak
Presiden Indonesia memiliki tanggung jawab historis untuk bersikap. Saat ekspor Indonesia ke Amerika Serikat—yang hanya mencakup sekitar 11–13 persen dari total ekspor—mulai terancam penurunan akibat tarif, pemerintah harus segera mencari pasar baru. Jika penurunan ekspor ke AS mencapai 30 persen, maka pengaruhnya terhadap total ekspor nasional bisa mencapai 3–4 persen. Jumlah ini cukup signifikan dan tidak boleh diabaikan.
Pemerintah harus mengambil inisiatif untuk menjalin kerja sama strategis dengan negara-negara yang juga terkena dampak dari kebijakan tarif Trump. Indonesia dapat memimpin konsolidasi poros ekonomi baru yang melibatkan ASEAN, Jepang, Korea Selatan, India, Brasil, dan Meksiko. Dalam posisi ini, kita bisa membentuk poros ketiga yang menolak dikotomi China–AS. Kita tidak perlu berpihak dalam konflik tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah memanfaatkan celah geopolitik untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Strategi ini pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno saat menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Dengan keberanian politik dan kepemimpinan moral, Indonesia muncul sebagai pelopor gerakan dunia ketiga yang mandiri. Kini, Presiden Prabowo memiliki peluang untuk menghidupkan kembali semangat itu. Ia bisa menjadi simbol kepemimpinan Global South yang mendorong solidaritas baru antarkawasan.
Kekuatan Ekonomi Nasional
Kebijakan luar negeri yang aktif dan berani tidak akan berarti jika tidak didukung oleh kekuatan ekonomi domestik yang kuat. Pemerintah dan Bank Indonesia harus memastikan bahwa stabilitas makroekonomi tetap terjaga. Inflasi harus ditekan agar daya beli rakyat tidak tergerus. Nilai tukar rupiah perlu dikelola dengan baik agar tidak terlalu rentan terhadap gejolak global.
Lebih dari itu, kita harus mempercepat agenda industrialisasi dan hilirisasi. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah membuat kita rapuh terhadap fluktuasi harga dan tekanan eksternal. Pemerintah harus memberikan insentif kepada sektor manufaktur dan teknologi agar mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan nilai tambah. Kita perlu membangun fondasi industri yang tidak hanya melayani pasar domestik, tetapi juga mampu bersaing di pasar internasional yang semakin kompetitif.
Diplomasi ekonomi juga perlu diperluas ke wilayah yang selama ini kurang terjamah. Kawasan Asia Pasifik dan Amerika Latin harus menjadi fokus baru dalam strategi ekspor kita. Kawasan ini menyumbang sekitar 88 persen dari ekspor Indonesia dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Dunia sedang bergerak ke arah timur, dan Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi penghubung antara dua benua ekonomi besar.
Saatnya Indonesia Menentukan Arah
Kebijakan tarif Presiden Trump telah mengubah wajah perdagangan global. Kita tidak sedang menghadapi kebijakan biasa. Ini adalah strategi politik yang bertujuan mengubah tatanan dunia. Jika kita hanya merespons dengan kebijakan ekonomi konvensional, kita akan tertinggal. Indonesia harus bangkit dengan strategi yang sepadan: menguatkan posisi politik, memperluas diplomasi ekonomi, dan memperkuat fondasi industri nasional.
Tantangan ini besar, tetapi juga membuka peluang. Kita bisa membentuk poros kerja sama baru, memperluas pasar, dan memperkuat peran Indonesia di panggung global. Kita tidak boleh ragu untuk mengambil inisiatif. Dunia sedang bergerak cepat, dan hanya negara yang berani menentukan arah yang akan bertahan dan menang.
Tarif, Trump, dan tantangan global telah mengetuk pintu kita. Sekarang waktunya kita menjawab dengan keberanian, kecerdasan, dan strategi yang berpihak pada kemandirian dan masa depan bangsa.