Tekanan Daya Beli di Depan Mata


Tinggal menghitung hari, tahun 2024 akan segera berakhir. Namun, masyarakat Indonesia justru menyongsong tahun baru dengan kecemasan. Di tengah perlambatan ekonomi global, Pemerintah Indonesia memberikan “hadiah” berupa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini, yang diproyeksikan untuk meningkatkan penerimaan negara, lebih terlihat sebagai ancaman bagi daya beli masyarakat.

Di satu sisi, pemerintah berusaha menjaga daya beli masyarakat dengan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada 2025. Namun, angka ini jauh dari cukup untuk mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN yang melonjak. Jika dibandingkan dengan 9% (persentase kenaikan PPN), kenaikan 6,5% masih jauh lebih kecil, sehingga ada kesenjangan yang cukup signifikan.

Sementara itu, negara tetangga Vietnam justru mengambil langkah berbeda. Di tengah perlambatan ekonomi global, Vietnam menurunkan PPN dari 10% menjadi 8%. Langkah ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendorong konsumsi domestik sebagai langkah untuk meningkatkan aktivitas ekonomi. Kebijakan proaktif seperti ini menjadi cermin betapa pentingnya strategi fiskal yang mempertimbangkan kondisi riil masyarakat.

Ironisnya, Indonesia yang sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga justru mengambil jalan yang berisiko. Dengan kontribusi lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi rumah tangga menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Kebijakan yang mengancam konsumsi masyarakat berarti mengabaikan pilar utama pertumbuhan ekonomi negara. Salah satunya adalah kenaikan PPN.

Kenaikan PPN tentu akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa. Meskipun pemerintah juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa barang kebutuhan pokok yang tidak kena PPN, tetapi jangan lupa bahwa sebelumnya juga begitu. Saat ini, seolah-olah masyarakat kelas menengah ke bawah dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang. Padahal, konsumsi mereka adalah penggerak utama roda ekonomi. Untuk kalangan kelas menengah dan calon kelas menengah, mereka memiliki kontribusi lebih dari 80% terhadap penerimaan pajak. Jika harga semakin mahal dan kelompok ini menjadi lebih selektif dalam berbelanja, maka jangan pula disalahkan.

Belum lagi kenaikan harga bahan makanan yang menambah tekanan. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, harga minyak goreng curah di pasar tradisional per 20 Desember 2024 mencapai Rp18.600 per liter, meningkat 20,8% secara tahunan. Angka ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok. Padahal bahan baku minyak goreng berlimpah di Indonesia.

Langkah pemerintah ini seolah-olah tidak belajar dari pengalaman negara lain. Peningkatan pajak dalam kondisi ekonomi yang tertekan justru berpotensi memperparah perlambatan ekonomi. Kebijakan yang hanya berorientasi pada penerimaan negara tanpa mempertimbangkan dampaknya pada daya beli masyarakat adalah kebijakan yang timpang.

Daya beli masyarakat bukan sekadar angka statistik, ini adalah indikator kesejahteraan rakyat. Ketika daya beli melemah, konsumsi domestik akan ikut tergerus. Hal ini pada gilirannya akan memukul sektor usaha, memperlambat investasi, dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Bandingkan dengan Vietnam yang memilih untuk menurunkan PPN sebagai langkah antisipatif. Kebijakan ini tidak hanya menjaga daya beli tetapi juga memberikan insentif bagi konsumsi domestik. Konsistensi kebijakan fiskal yang pro-rakyat menjadi kunci keberhasilan strategi ini.

Mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama ekonomi tanpa memberikan dukungan kebijakan yang memadai adalah langkah yang kontradiktif. Pemerintah perlu memahami bahwa konsumsi hanya dapat dipertahankan jika daya beli masyarakat dan harga-harga tetap terjaga. Dalam kondisi di mana inflasi pangan masih tinggi, menaikkan PPN adalah keputusan yang tidak bijak.

Harga kebutuhan pokok yang terus naik juga menambah kompleksitas masalah. Ketika harga minyak goreng, beras, dan bahan pokok lainnya melambung, masyarakat akan mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan lain. Ini berarti sektor pendidikan dan kesehatan akan menjadi korban. Bahkan akan semakin banyak orang yang “Mantab” (Makan Tabungan) demi bisa bertahan.

Dalam jangka panjang, tekanan daya beli yang terus berlangsung akan menciptakan ketidakstabilan sosial. Ketimpangan ekonomi semakin melebar, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan menurun. Kondisi ini adalah resep bagi krisis sosial-ekonomi yang lebih besar.

Kebijakan fiskal yang bertumpu pada kenaikan pajak seperti ini harus segera dievaluasi. Pemerintah perlu mencari alternatif lain yang lebih berimbang. Misalnya dengan peningkatan pajak tambang batu bara, atau tambang/galian lain yang berdampak pada lingkungan.

Di sisi lain, upaya-upaya pengendalian harga bahan pokok, subsidi langsung yang tepat sasaran, atau insentif pajak bagi sektor usaha yang menopang konsumsi domestik, juga masih sangat dibutuhkan. Hal ini penting agar masyarakat merasa bahwa pemerintah hadir di tengah-tengah mereka dalam rangka meringankan beban hidupnya. Bukan justru menambah kegelisahan rakyat dengan kebijakan peningkatan tarif PPN ini.

Setiap kebijakan memiliki konsekuensi, tetapi kebijakan yang tidak memihak masyarakat, terutama menengah ke bawah, akan selalu membawa dampak yang lebih luas. Pemerintah harus menyadari bahwa keberlanjutan ekonomi tidak dapat dicapai dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat. Stabilisasi harga bahan pokok dan kebijakan yang mendukung daya beli harus menjadi prioritas. Jika tidak, target penerimaan negara yang dikejar melalui kenaikan PPN hanya akan menjadi mimpi kosong karena konsumsi yang melemah akan menggerus penerimaan pajak itu sendiri.

Masyarakat Indonesia berhak atas kebijakan yang berpihak pada mereka. Dalam situasi ini, pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mengejar target penerimaan. Keputusan yang salah hari ini akan menciptakan beban yang lebih besar di masa depan.

Daya beli adalah nyawa perekonomian. Tanpa daya beli yang kuat, seluruh pilar ekonomi akan runtuh. Pemerintah harus segera mengambil langkah korektif sebelum terlambat. Krisis daya beli bukan hanya ancaman; ini adalah kenyataan yang harus dihadapi dengan kebijakan yang tepat, berimbang, dan pro-rakyat.