Komisi Yudisial (KY) memastikan komitmen untuk mengawasi persidangan perkara Pemilu dan Pilkada 2024. Pemantauan yang akan dilakukan bersama lembaga penyelenggara pemilu dan sejumlah elemen masyarakat sipil ini di antaranya bertujuan menjaga integritas yang merujuk pada kejujuran dan netralitas atau ketidakberpihakan.
“Kemudian konsistensi moral, keadilan, dan transparansi,” kata Ketua KY Amzulian Rifai saat Deklarasi Pengawasan Persidangan Pemilu dan Pilkada 2024 di Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Amzulian menjelaskan, komitmen dan misi menjaga integritas persidangan Pemilu dan Pilkada 2024 itu sepatutnya juga tertanam di lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan demikian, publik pun akan percaya dengan proses persidangan Pemilu dan Pilkada 2024.
“Dalam tahapan ini legitimasi demokrasi kita masih harus diuji melalui proses peradilan, bagi sebagian publik kepercayaan kepada proses peradilan kita masih belum sebagaimana diharapkan,” imbuhnya.
Komisioner dan Juru Bicara KY Mukti Fajar Dewata mengatakan, pengawasan perkara Pemilu dan Pilkada 2024 yang dilakukan KY sejatinya juga bertujuan menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
“Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pemilu maupun pilkada di pengadilan,” kata Mukti.
Ia menyebut, pemantauan persidangan menjadi langkah preventif untuk memastikan hakim bersikap independen dan imparsial dalam memutus, tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Diketahui, dalam deklarasi tersebut turut hadir Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Manajer Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dan perwakilan lembaga pemerintahan.
Pada Pemilu 2019, KY juga menggelar pemantauan perkara pemilu yang perkaranya tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. KY melakukan 28 pemantauan persidangan Pemilu 2019 di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sumatera utara, dan lainnya.
Pemantauan persidangan itu dilakukan karena perkara terkait politik uang, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye, dan kampanye di tempat ibadah, menyebabkan suara pemilih tidak bernilai. Mayoritas kasus melibatkan calon legislatif, bahkan beberapa di antaranya adalah kepala daerah.
Leave a Reply
Lihat Komentar