Kanal

Tenang Saja, Gambar di Majalah The Week Itu Bukan Jokowi

Sejak Ahad (25/12) malam memang beredar di grup-grup WA sampul majalah The Week edisi 24 Desember 2022. Cover yang digambar illustrator Howard McWilliam, jurnalis keuangan yang banting stir menjadi sepenuhnya illustrator itu memang memancing common sense kita bahwa itu menggambarkan sosok Presiden Jokowi. Pasalnya, gambar ilustrasi itu memang menyertakan para tokoh dan pemimpin dunia. Ada Pangeran Charles, ada Putin, ada Presiden Zelenskyy, Boris Johnson, PM Inggris Rishi Sunak, Will Smith, juga pengusaha Elon Musk. Jadi, mengapa tidak kalau Jokowi yang kemarin menjadi presiden G20 pun layak masuk?  

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Awalnya, siapa pun warga Indonesia, baik berspesies Kadrun maupun Cebong, wajar panas hati mencermati ilustrasi sampul  majalah terbitan Inggris, The Week, edisi 24 Desember 2022. Benak kita sebagai Timur  kontan panas. Bagaimana pun, seterpecah apa pun Indonesia—dan sejatinya semoga kian baik—tak ada yang rela presidennya dilecehkan sedemikian rupa.

Sejak Ahad (25/12) malam memang beredar di grup-grup WA sampul majalah The Week edisi 24 Desember 2022. Cover yang digambar illustrator Howard McWilliam, jurnalis keuangan yang banting stir menjadi sepenuhnya illustrator itu memang memancing common sense kita bahwa itu menggambarkan sosok Presiden Jokowi. Pasalnya, gambar ilustrasi yang melukiskan isi halaman 14, di rubrik “People” itu memang menyertakan para tokoh dan pemimpin dunia. Ada Pangeran Charles, ada Putin, ada Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, Boris Johnson, PM Inggris Rishi Sunak, Will Smith, juga pengusaha Elon Musk. Jadi, mengapa tidak kalau Jokowi yang kemarin menjadi Presiden G20 pun layak masuk?

Sempat ada teman di grup WA yang segera mengaitkan The Week edisi itu dengan Charlie Hebdo, majalah Prancis yang dikenal kerap meledakkan sensasi. Menurut dia, ada garis tebal yang sama antara The Week edisi terakhir itu dengan Charlie Hebdo.

Mengapa? Menurut dia, dengan asumsi bahwa sosok itu adalah Jokowi, presiden kita itu telah digambarkan dengan cara yang ‘anomali’ dibandingkan cara McBill melukiskan sosok-sosok pemimpin dan seleb dunia yang lain. Ia menunjuk, sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Boris Johnson, PM Inggris Rishi Sunak, Will Smith, juga pengusaha Elon Musk terlihat girang menikmati perbincangan dalam jamuan itu—kecuali Presiden Putin yang dengan geram menyepak boneka salju di luar rumah sendirian—hanya sosok itu yang digambarkan asyik sendiri melahap hidangan.

Yang lebih membuat WNI wajar tersinggung, di atas kepala tokoh yang dikira Jokowi itu dengan tenangnya menclok seekor kodok. Sementara di ujung garpu yang dipegang, siap untuk dinikmati, menggelepar seekor kalajengking.

Itulah yang dengan segera membuat teman itu menghubungkan  The Week terakhir itu dengan Charlie Hebdo. Sebagaimana diketahui, majalah Prancis itu dikenal luas sebagai media massa yang tak pernah jengah menghasilkan kontroversi. Para awak redaksinya seolah telah menjadi penganut fanatik buta agama Jurnalisme. Bukan hanya tak sungkan menghina agama dan kepercayaan orang lain, semisal mengkartunkan Nabi Muhammad untuk hal-hal yang kurang patut.

Bahkan pernah karikatur Charlie Hebdo pada 2015 lalu seakan-akan melecehkan nilai kemanusiaan warga dunia. Beberapa pekan sebelumnya, foto jasad bocah Suriah yang tewas dalam perjalanan laut keluarganya mengungsi menuju Yunani, Aylan Kurdi, yang terbaring kaku di tepian pantai mendominasi media massa dunia. Gambar itu meninju wajah setiap manusia beradab. Eh, Charlie Hebdo dalam karikatur yang menggambarkan peristiwa Aylan itu malah mencantumkan pula kalimat, “Selamat datang migran, Anda sudah sangat dekat…” Majalah itu juga menambahkan gambar iklan sebuah restoran cepat saji dengan tulisan, “Dapatkan promosi menu anak dapat dua bayar satu.”

Mungkin, karikatur tersebut ingin mengritik gaya hidup barat, dibenturkan dengan harapan kaum pengungsi buat mencari penghidupan yang lebih layak di Eropa yang menjadi impian mereka.

“Keputusan Charlie Hebdo menggunakan karikatur Aylan Kurdi untuk menyuarakan pesan tersebut adalah kekeliruan editorial yang serius. Tragedi kematian seorang bocah dan saudara laki-lakinya, serta penderitaan pengungsi tidak seharusnya menjadi subyek satir semacam ini,”tulis Pemimpin Redaksi Deutsche Welle Asia Selatan-Tenggara, Grahame Lucas. “Ini bukan cuma tidak punya cita rasa, tetapi juga menjijikkan.”

Lucas sendiri bukan seorang jurnalis yang bersimpati pada perasaan umat Muslim. Ia seringkali membela Charlie Hebdo, dengan menegaskan bahwa “Tidak seorangpun boleh merongrong kebebasan berpendapat”, karena “Kebebasan berpendapat adalah nafas kehidupan sebuah masyarakat yang demokratis, walaupun saya sebagai pribadi tidak selalu setuju dengan apa yang dihasilkannya.”

Bagi Lucas, “…mereka yang melakukannya adalah orang yang paling berbahaya. Mereka adalah kaum yang akan membatasi kebebasan pers dan memaksakan sensor.” …Sebagai jurnalis, saya merangkum posisi saya dengan perkataan yang entah benar atau tidak sering dikaitkan dengan filsuf Prancis, Voltaire: “Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat anda, tapi saya akan membela mati-matian hak anda untuk mengungkapkannya.”

Lucas percaya, kebebasan berpendapat (secara total?) adalah fundamen dari demokrasi sekuler di Eropa. Ia meyakini bahwa kebebasan berbicara dan berpendapat jadi amat penting di dunia Barat, karena memberikan kewenangan kepada media untuk mengontrol jalannya pemerintahan, dan mengoreksinya jika diperlukan.

Lucas juga mengutip hak berekspresi itu dikukuhkan dalam traktat Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia dari 1976, termasuk menurut dia, hak untuk mengkritik dan membuat satir terhadap agama dan kepercayaan. Bahkan, tanpa malu-malu ia mengutip diktator Mesir, Presiden As-Sisi, yang seiring terjadinya penyerangan dan terbunuhnya 12 awak redaksi Charlie Hebdo, menyerukan ajakan kepada kalangan Muslim sedunia untuk memerangi ekstremisme.  Ia pura-pura tak tahu bahwa As-Sisi itulah yang mencabut hak demokrasi jutaan rakyat Mesir.

Nah, asumsi bahwa itu Jokowi—pemimpin kelompok G20 pada 2022—memperlihatkan adanya kesamaan besar The Week dengan Charlie Hebdo; tidak menghormati apa yang diyakini dan dihormati pihak lain. Dalam kasus terbaru The Week itu, Jokowi adalah presiden Republik Indonesia, lembaga negara yang dihormati di sini. Bukan berarti tak boleh dikritik, karena tanpa kritik presiden pun bisa terperosok menjadi diktator. Bukankah rasa kemanusiaan kita pun tahu mana yang kritik dan mana yang melecehkan? Mengkritik adalah membuka ketidaksempurnaan, bahkan mungkin kesalahan, untuk memungkinkan pihak yang dikritik melakukan perbaikan. Melecehkan hanya punya satu tujuan, yakni mendegradasi orang yang menjadi target.

Untunglah, rakyat Indonesia bisa bernafas lega. Sosok yang awalnya dikira sebagai ‘Presiden Jokowi’ itu ternyata  mantan Menteri Kesehatan Inggris, Matt Hancock, yang mengundurkan diri pada Juni 2021. Ia harus keluar kabinet setelah skandal ciuman bibirnya dengan sang ajudan, Gina Coladangelo, bocor ke publik. Publik Inggris, terutama para dokter dan keluarga korban COVID-19 marah, karena Hancock tertangkap kamera melanggar aturan menjaga jarak dengan ciuman bibir dan berpelukan dengan sang ajudan, sebulan sebelumnya. Apalagi, baik Hancock maupun Coladangelo sama-sama sudah berkeluarga.

Publik Inggris saat itu menyebut Hancock telah “menghina pengorbanan publik”, dan menyebut perbuatan di tengah serangan pandemi itu “menjijikkan”. “Seratus lima pulih ribu orang tewas selama masa jabatannya yang dirundung skandal, penuh ketidakmampuan dan ketidakjujuran,” kata Konsultan Layanan Kesehatan Nasional (NHS), Dr Farbod Babolhavaeji, kepada The Mirror, saat itu.

Hal yang menegaskan bahwa yang digambar McBill adalah Hancock dan bukan Jokowi, dikuatkan sebuah foto yang beredar luas. Meski mungkin saja editan, foto itu memperlihatkan Hancock tengah berenang, mengenakan kacamata renang. Di atas kepalanya menclok seekor kodok, persis penggambaran McBill.

Oh ya, bagaimana kredibilitas The Week sendiri? Majalah ini setidaknya memberikan janji kepada pembacanya. Dalam brosur promosi mereka mengatakan,” Setiap terbit The Week datang dengan 200-an lebih narasumber…” dan “…The Week memastikan bahwa Anda diberikan pandangan berita yang seimbang dan tidak memihak selama tujuh hari sebelumnya. Hanya dalam satu jam membaca, majalah pemenang penghargaan ini akan memberi Anda semua sorotan utama dan cerita yang perlu Anda ketahui.”

Majalah itu juga mengklaim punya 300 ribuan pembaca setiap pekan. Jumlah yang relatif kecil mengingat majalah itu tak hanya diterbitkan di Inggris, melainkan pula AS.

“Kami memberikan semua fakta yang Anda butuhkan untuk merenungkan tujuh hari terakhir dengan percaya diri, dan mempersiapkan apa yang akan terjadi selanjutnya. …karena kami memahami bahwa ada lebih dari dua sisi untuk setiap cerita.” [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button