Kanal

Ternyata BLT dari Pak Jokowi Cuma “Goceng” Sehari

Bisa difahami jika banyak pihak mencibir kebijakan Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang dicanangkan Presiden Jokowi sebagai pengalihan subsidi BBM. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal misalnya secara tegas menolak program BLT. Kata Iqbal, BLT itu sama sekali tak bermanfaat bagi buruh.

“BLT yang sebesar Rp 600 ribu selama empat bulan dirapel, itu tidak ada manfaatnya, itu gula-gula,” kata Said Iqbal disela aksi di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/9) lalu.

Mungkin anda suka

Apa yang dikatakan Iqbal itu paling tidak sama dengan yang dirasakan Yoyok, seorang calon penerima BLT di kawasan Jakarta Pusat. “Kalau mau dihitung memang gak ada apa apanya. Bukan tidak bersyukur, tapi hari gini uang 150 ribu mana cukup hidup sebulan. Buat jajan anak saja gak cukup. Tapi daripada gak ada, lumayan lah,” katanya Senin (12/9/2022)

Dengan nilai BLT Rp 600 ribu dan dibagi untuk empat bulan, artinya setiap bulan penerima BLT mendapatkan Rp 150 ribu. Jika jumlah ini dibagi 30 hari, masing masing penerima BLT hanya kebagian uang Rp 5000 alias goceng sehari. Uang goceng hanya cukup buat beli gula gula, atau dua potong gorengan, atau bayar parkir.

Bisa jadi perhitungan ini dianggap mengada ada, tetapi itulah kenyataannya. Namun dari sisi pemerintah, penyaluran BLT dianggap sudah terbukti efektif mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 24,17 triliun yang dialihkan untuk melakukan bantuan sosial tersebut sebagai upaya mitigasi dari dampak kenaikan harga BBM.

BLT akan diberikan kepada sekitar 20,65 juta keluarga, beserta sekitar 16 juta pekerja. Bahkan kata Sri Mulyani, dengan data perhitungan tersebut jika dihubungkan dengan kemiskinan, maka bantalan sosial yang diberikan akan mampu menekan angka kemiskinan hingga sebesar 1,07 persen.

Inilah duduk soalnya. Bagaimana mungkin uang Rp 5.000 sehari bisa menurunkan angka kemiskinan? Para ekonom memperkirakan, kenaikan harga BMM kali ini akan membuat laju inflasi sampai akhir tahun 2022 nanti akan mencapai 7 sampai 9 persen. Itu artinya, daya beli masyarakat bawah yang berpenghasilan tetap akan tergerus sebesar laju inflasi. Kualitas hidup mereka akan menurun dan dipastikan akan jatuh dalam kelompok miskin.

Efek selanjutnya adalah semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin. Pada Maret 2022, BPS merilis tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan gini ratio adalah sebesar 0,384. Angka ini meningkat 0,003 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2021 yang sebesar 0,381. Gini ratio di perkotaan pada Maret 2022 tercatat sebesar 0,403. Sedangkan di perdesaan pada Maret 2022 tercatat sebesar 0,314.

Koefisien gini adalah ukuran yang dikembangkan statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilita e Mutabilita. Koefisien ini digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Jika koefisen gini bernilai 1 menggambarkan ketimpangan sempurna yang berarti, hanya satu penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita dan yang lainnya tidak sama sekali.

Soal jurang kaya miskin ini ekonom Kwik Kian Gie pernah menulis, sejak tahun 1930 Prof Boerke dalam bukunya Dualistische Ekonomie menyebut, perekonomian Indonesia terdiri dari perekonomian pedesaan dan perkotaan yang satu sama lain tidak punya daya tarik, sehingga terjadi kesenjangan yang luar biasa antara kota dan desa. Bahwa kondisi seperti itu terjadi di zaman kolonial itu bisa sangat dipahami. Tetapi setelah 77 tahun merdeka, kesenjangan kaya miskin masih tetap saja lebar.

“Adalah pengetahuan umum bahwa apabila leberalisme diberlakukan sejauh mungkin, pertumbuhan ekonomi akan besar, tetapi akan disertai dengan kesenjangan antara yang kaya dan miskin yang semakin besar pula,” tulis Kwik dalam buku “Menuju Ketangguhan Ekonomi”.

Memang BPS mencatat, jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 26,5 juta jiwa pada Maret 2021. Ini berarti persentase penduduk miskin kita ada di angka 9,71persen. Angka di bawah 10 persen ini tercatat sebagai rekor dan pastinya menjadi prestasi bagi pemerintahan Jokowi dalam menekan angka kemiskinan.

Hanya saja kita perlu mencermati indikator yang dipakai sebagai alat ukur kemiskinan di Indonesia. Pada September 2021 lalu, garis kemiskinan nasional ditetapkan Rp 486 ribu per kapita per bulan. Dengan rincian Rp 360 ribu per kapita per bulan untuk kebutuhan makanan, dan Rp 126 ribu per kapita per bulan untuk kebutuhan non-makanan.

Sementara PBB menetapkan ambang garis kemiskinan adalah pendapatan sebesar dua dolar AS per orang per hari. Dengan nilai tukar rupiah saat ini (Selasa 13/9/22) di angka Rp 14.800, berarti dua dolar sama dengan Rp 29.600. Kalau sebulan, tinggal kita kali 30 hari, dapatlah angka Rp 888 ribu. Jika ini yang dijadikan acuan, angka kemiskinan kita bisa naik dua kali lipat dari perhitungan yang dikeluarkan BPS.  Lantas tingkat kesenjangannya juga dipastikan akan melebar.

Pengalaman di banyak negara menunjukkan tidak ada obat yang cespleng dalam menyelesaikan masalah ketimpangan. Mengutip pidato Boediono dalam konferensi kemiskinan dan kesenjangan oleh Bank Dunia, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UI Mohammad Ikhsan menuliskan, beberapa sebab terjadinya ketimpangan itu.

Sumber pertama,  masih segmen masyarakat Indonesia yang tidak tunduk dengan rule of law seperti terjadi pada masa the wild west.  Dalam kasus Indonesia, persoalan ini masih cukup intensif dan menimbulkan ketidakpastian. Kelompok yang dekat dengan kekuasaan memanfaatkan dan menimbulkan perlakuan diskriminatif. Solusi dari kasus ini adalah penegakan hukum yang fair.

Sumber ketimpangan kedua masih berkaitan dengan persoalan hukum dan regulasi. Dalam konteks ini hukum formal eksis tetapi dalam penerapannya tidak sesuai dengan tujuan seperti pada masa the Robben Barrons. Akibatnya, kegiatan pemburu rente marak dan menimbulkan kesenjangan akses. Reformasi hukum merupakan solusi untuk mengatasi persoalan ini.

Ketiga, kesenjangan bisa muncul walaupun penerapan hukumnya relatif baik, karena aturan hukumnya tidak terdesain dengan baik dan memiliki persoalan sendiri. Reformasi politik untuk memperbaiki aturan hukum merupakan solusi untuk mengatasi persoalan ini.

Ketimpangan keempat, berkaitan dengan ketimpangan terhadap opportunity dan akses. Bagaimana kita berharap segmen terbawah kita bisa bersaing jika persentase asupan gizinya tak cukup (stunting problem). Kunci penyelesaiannya adalah mengefektifkan peran negara, khususnya membuka dan memberikan kesempatan yang seluas luasnya kepada semua elemen masyarakat, terutama masyarakat miskin.

Akhirnya, penyelesaian empat sumber ketimpangan tadi merupakan prasyarat penting, agar mobilitas sosial bidang ekonomi dapat berjalan dan memberikan dampak dalam perbaikan kesenjangan ekonomi yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button