Kanal

Tertutupnya Xi Jinping: Pemimpin Otoriter China Setelah Mao yang Sempat Dililit Rumor Kudeta

Yang ganjil, alih-alih membenci Partai Komunis yang telah mendatangkan prahara ke kelaurganya, Xi justru senantiasa berupaya memeluknya. Keganjilan lain, laiknya Stockholm syndrome, ia justru terlihat memuja Mao Zedong. Dia mencoba untuk bergabung ke PKC beberapa kali, beberapa kali pula ditolak karena masa lalu sang ayah.

Xi Jinping, presiden China sejak 2012 yang baru-baru ini diisyukan digulingkan dan menjalani tahanan rumah, adalah gambaran pribadi paling paradoksal dari politisi Negara Tirai Bambu. Banyak rekam jejaknya yang menegaskan bahwa  dirinya selalu punya jawaban berbeda untuk orang yang tak sama.

Mungkin anda suka

Ini hanya sedikit contoh. Sebuah bocoran kawat diplomatik mengatakan, kepada seorang duta besar Amerika Serikat Xi Jinping pernah mengatakan dirinya menyukai film-film Hollywood. Alasannya,”Karena semua menunjukkan bahwa Amerika memiliki pandangan yang jelas tentang nilai-nilai, dan dengan jelas pula membedakan antara yang baik dan yang jahat.”

Namun, di masa kepemimpinannya, kepada rakyatnya ia kerap mengecam Hollywood. The New York Times, awal tahun ini menulis, para pejabat Pendidikan China memberlakukan pembatasan pendidikan bahasa Inggris; selain mengharuskan para sarjana meminta izin untuk menghadiri konferensi internasional bahkan virtual. Pemerintah China telah menghukum perusahaan China karena mengumpulkan uang di luar negeri. Xi sendiri mendesak para seniman untuk merangkul “keyakinan budaya” dengan mempromosikan sastra dan seni tradisional Tiongkok, sekaligus memperingatkan agar tidak meniru Hollywood.

Untuk diri dan keluarganya sendiri, Xi dan tampaknya para elit Partai Komunis China lainnya—lebih terbuka. Xi mengirim putrinya, Xi Mingze, untuk belajar di Universitas Harvard. Begitu pula Bo Xilai, bekas lawan politiknya saat sama-sama berlomba naik di kepemimpinan PKC, yang menyekolahkan putranya ke Oxford, dan kemudian ke Universitas Harvard. Bagi para pangeran seperti mereka, ideologi utama bukanlah komunisme, nasionalisme atau reformasi; semuanya hanya soal kekuasaan. ‘Pengeran’? Nanti kita ulas sedikit soal itu.

Bagaimanapun, keterlibatan dalam (perdagangan) global telah membantu China menjadi negara makmur. Tapi sekarang, pemimpinnya tampaknya berniat menyusun kembali pertemuan pikiran dan budaya sebagai bentrokan zero-sum.

Yang menarik, dengan alasan pandemi virus corona, pemerintah China tidak lagi secara bebas mengeluarkan banyak paspor, simbol fisik dari dunia yang saling terhubung. Perbatasan hampir seluruhnya tertutup untuk dimasuki (orang) asing.

Itu jelas berlawanan diametral dengan kebijakan China sebelumnya, terutama era Deng Xiaoping. Lebih dari 6,5 juta orang China belajar di luar negeri antara tahun 1978 dan 2019, dengan jumlah yang meningkat setiap tahun. Perusahaan teknologi China terdaftar di Wall Street, inovasi mereka disalin oleh Silicon Valley. Guru sekolah China biasa saja menggunakan lagu-lagu boy band Barat untuk mengajar bahasa Inggris, yang dianggap penting untuk peluang ekonomi.

Sebaliknya, dunia luar juga ingin tahu lebih banyak tentang China. Antara tahun 2002 dan 2018, jumlah siswa internasional di Tiongkok tumbuh hampir enam kali lipat. Olimpiade Beijing 2008 membantu negara itu menempatkan dirinya sebagai tujuan wisata global.

Kini,“Tidak ada lagi integrasi dan pertukaran antara budaya yang berbeda,” kata Zhang Jincan, pemilik Dusk Dawn Club, tempat pertunjukan musik langsung di Beijing. Sebelum pandemi, klub itu seolah melting pot kebudayaan. Penduduk setempat berdesakan untuk mendengarkan kuintet jazz Polandia atau pemain perkusi Argentina yang berkunjung. Sementara ekspatriat dapat menemukan band punk China yang sedang naik daun. Pertunjukan sering diselenggarakan bekerja sama dengan organisasi kebudayaan asing. Sekarang Zhang khawatir bahwa inti dari klubnya akan lenyap. “Anda akan didatangi semacam kelelahan estetika,” katanya.

Tetapi dalam omongan ke dunia luar, Xi senantiasa bermanis mulut. “Negara-negara di seluruh dunia harus menjunjung tinggi multilateralisme sejati,” kata Xi, dalam pidatonya untuk Forum Ekonomi Dunia di Davos, 17 Januari 2022. “Kita harus menghilangkan penghalang, bukan membangun tembok.”

China memang butuh uang asing, tapi mereka ‘mengusir’’ orang-orang yang menyertainya. Jumlah orang asing yang tinggal di Beijing dan Shanghai telah turun hampir sepertiga dalam dekade terakhir, menurut kelompok bisnis Eropa.

Bahkan Olimpiade Musim Dingin—acara dunia yang seharusnya dinikmati warga dunia–yang tahun ini digelar di Beijing pun dilakukan dengan gaya China mutakhir: tanpa penonton asing, dengan seolah mempersetankan boikot diplomatik oleh negara-negara dunia, termasuk Amerika Serikat.

Pangeran dengan masa lalu kelam

Kecenderungan China menutup diri itu terjadi segera setelah Xi Jinping mengambil alih kekuasaan di China pada 2012. Sejak itu, Partai Komunis China membatasi organisasi non-pemerintah asing, menuduh beberapa warganya berkonspirasi melawan negara. Mereka juga melarang buku teks luar negeri, menekankan bahwa hanya keaslian itu yang dapat membimbing China menuju kebesaran. Meningkatnya permusuhan dengan Amerika Serikat di era Trump juga mendorong para pemimpin China kepada sikap yang lebih defensif.

Lalu virus corona mengkristalkan kecenderungan itu. Bertekad membasmi infeksi, China membatalkan hampir semua penerbangan internasional. Media pemerintah terpaku pada jumlah korban tewas di Barat yang meruyak mengerikan.

Untuk membatasi kasus impor, pemerintah menutup kemungkinan mengeluarkan atau memperbarui paspor, kecuali untuk keadaan darurat, bekerja atau belajar di luar negeri. Jumlah paspor yang diterbitkan pada paruh pertama tahun 2021 hanya dua persen dari periode yang sama tahun 2019.

Siapa Xi Jinping, actor di balik menguatnya nasionalisme—atau sejatinya chauvinisme—China saat ini?

Seperti banyak pemimpin China generasi kelima, Xi yang lahir di Beijing pada 1953 adalah “pangeran”. Ia termasuk dalam kelompok informal yang terdiri dari sekitar 300 anak-anak dari veteran revolusioner komunis. Dalam peta politik China, ‘para pangeran’ ini secara sejarah terus berseteru dengan lawan politiknya dalam partai, Liga Pemuda Komunis China, yang didominasi kalangan rakyat.

Ayah Xi, Xi Zhongxun, bergabung dengan PKC pada tahun 1928, dan merupakan pahlawan revolusioner yang mendirikan daerah basis gerilya komunis utama di China utara. Sang ayah bahkan pernah menjadi wakil perdana menteri.

Tetapi nasib baik, begitu pula kekayaan keluarga itu hilang lenyap di saat-saat menjelang Revolusi Kebudayaan ala Mao. Pada 1962, ayahnya ditangkap, dipenjarakan, dan kekayaan keluarga itu disita negara.

Nama baik Xi  Zhongxun baru direhabilitasi pada era Deng Xiaoping. Dia menjadi ketua partai di provinsi Guangdong, di mana dia meluncurkan eksperimen reformasi ekonomi Shenzhen yang mengawali pembukaan ekonomi China ke dunia pada 1980-an.

Yang ganjil, alih-alih membenci Partai Komunis yang telah mendatangkan prahara ke kelaurganya, Xi justru senantiasa berupaya memeluknya. Keganjilan lain, laiknya Stockholm syndrome, ia justru terlihat memuja Mao Zedong. Dia mencoba untuk bergabung ke PKC beberapa kali, beberapa kali pula ditolak karena masa lalu sang ayah.

Maka setelah akhirnya diterima pada tahun 1974, Xi berupaya keras untuk naik ke puncak. “Ia seorang yang sangat ambisius,”kata teman sekolahnya saat muda, yang ditulis anonym. Menghindari iklim politik Beijing yang sangat kompetitif, Xi memilih untuk memulai karirnya di luar ibu kota.

Selama dua puluh lima tahun berikutnya, Xi naik melalui jajaran kepemimpinan partai, dimulai di provinsi utara yang miskin Hebei (1983-85), sebelum dipindahkan ke provinsi tenggara yang kaya, Fujian (1985-2002) dan Zhejiang ( 2002-2007). Karena program anti-korupsinya yang sukses, ia memperoleh reputasi sebagai “Mr Clean”. Karena itu pula, pada 2007 Xi diterjunkan untuk memimpin Shanghai, yang berada di tengah skandal korupsi. Xi menangani skandal itu dengan sangat efektif,  sehingga dalam waktu tujuh bulan dia dipanggil ke Beijing untuk bergabung dengan kepemimpinan pusat PKC pada Oktober 2007. Hanya beberapa bulam kemudian, pada Maret 2008, ia menjadi wakil presiden RRC.

Bagi banyak orang China, Xi bukanlah pemimpin ideologis. Karir Xi menunjukkan bahwa dia adalah seorang kariris; bukannya ideologis. Ia juga terkenal karena pragmatis dan setia. Yang paling utama membuatnya menjadi penyintas di masa lalu, adalah, ia “menjadi lebih merah dari segala merah”.

Ia pun terlihat terpesona dan ingin mengikuti Mao. Mungkin karena itu, Xi berusaha keras memasukkan namanya dalam Konstitusi, suatu kehormatan yang hanya dimiliki Mao Zedong sampai sekarang. Ada satu klausa “Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme dengan Karakteristik China untuk Era Baru” dalam Konstitusi RRC saat ini. Yang lain, pada tahun 2018, ia bisa mendesak Kongres Rakyat Nasional menyetujui penghapusan batas dua masa jabatan kepresidenan, yang jelas membuat  Xi Jinping bisa berkuasa seumur hidup.

Mungkin itu yang membuat diam-diam rakyat China bosan kepadanya dengan membuat rumors kudeta di media sosial, yang bukan tanpa sensor ketat di sana. Mungkin hanya istri keduanya, mantan penyanyi folk terkemuka China, Peng Liyuan, yang tidak merasakan kebosanan itu. Tapi, siapa tahu? [The New York Times/ Zbigniew Brzezinski desk of CSIS/Wikipedia]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button