The Ten Years of Indonesian Misery


Skor dan peringkat itu menunjukkan tidak adanya perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan rejim Jokowi. Asal tahu saja, pada saat itu posisi koruptif Indonesia bahkan jauh lebih buruk dibanding Botswana, Rwanda, Timor Leste, Namibia, Vanuatu, Ghana, Trinidad dan Tobago, Burkina Faso, Vietnam, Guyana, Tanzania, Suriname, Tunisia, Kosovo, Lesotho, Maladewa, Ethiopia, Gambia, Serbia, Sierra Leone..Ah, sebutlah sekian banyak lagi nama-nama negara yang terdengar ganjil di telinga. 

Hanya perlu seorang Jokowi dan satu dekade waktu untuk mengembalikan Indonesia ke titik nol Reformasi. Namun yang lebih parah adalah perannya untuk menghempaskan harapan rakyat Indonesia menjemput kesejahteraan, ke titik paling nadir.

Tengok saja berita-berita perekonomian Indonesia dalam beberapa hari terakhir. Tidak hanya kaum miskin seperti lazimnya, kondisi ekonomi kelas menengah Indonesia pun pada 2024 ini terus dan kian tertekan. Inflasi harga pangan membuat penghasilan warga Indonesia habis untuk makanan dan minuman, sementara yang masih punya tabungan terus menggerogoti simpanannya untuk makan.

Pada Kamis (16/5) lalu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan,  tekanan tersebut terlihat dari data Mandiri Spending Index (MSI). Menurut Andry, pengeluaran masyarakat saat ini lebih terarah pada kebutuhan terkait super-market. “Supermarket ini biasa kami gunakan sebagai proxy untuk belanja makan dan minuman,”kata Andry, dalam acara “Asian Development Outlook 2024 Discussion” di Perpustakaan Nasional, Jakarta. 

Andry mengatakan data MSI menunjukkan porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk kebutuhan makan minum pada 2024 melonjak tinggi dibandingkan 2023. Pada Januari 2023, menurut Andry, porsi penghasilan yang digunakan untuk membeli kebutuhan primer masih 13,9 persen. Ketika konsumsi makanan melonjak saat Ramadhan dan Lebaran 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan juga masih di angka 16,6 persen. “Namun, pada Mei 2024 ini, porsi penghasilan masyarakat yang dipakai untuk kebutuhan makan dan minum naik hingga 26 persen. Jadi (naik) dua kali lipat,” ujar dia. 

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro
Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro (Foto: RRI)

Jika kemampuan ekonomi masyarakat dibagi menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah, menurut Andry, kelas menengah dan kelas bawah merupakan dua kelompok yang daya belinya tertekan kuat karena kondisi ekonomi saat ini.

Pernyataan yang lebih ekstrem datang dari Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) sekaligus peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri. Dalam penilaian Faisal, hidup rakyat Indonesia kini justru jauh lebih menderita dibanding masa penjajahan. “Rakyat Indonesia merasakan hidup yang lebih parah dan menderita dibandingkan masa penjajahan dahulu,” kata Faisal, saat menghadiri diskusi film “Bloody Nickel”, di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (4/5) lalu. Pernyataan Faisal tentu bersipongang jauh, dengan tersiarnya video berisi penilaiannya itu di media sosial X.  

Menjerembabkan Reformasi

Jika titik tolak kita semua adalah Reformasi 1998, sepuluh tahun pemerintahan Jokowi tidak hanya tak menghasilkan kemajuan berarti, melainkan pada beberapa sisi dominan justru menjerembabkan cita-cita Reformasi 1998 ke got pembuangan. 

Sukar untuk mengerti, apakah pemerintah Jokowi tak paham cita-cita sederhana  Reformasi 1998, yakni pemberantasan tuntas atas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)? Apakah selama bertahun-tahun ini pemerintah tidak pernah sempat membaca—bahkan judulnya sekali pun—Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MR) no XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?

Pasalnya, bila paham, tak mungkin diri dan skuad andalannya membiarkan sejarah pemerintahannya tertulis buruk, dan dibaca generasi mendatang dengan terheran-heran.

Sekadar mengingatkan, pada 2023 Indonesia menempati peringkat 115 dari 180 negara berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), masuk dalam jajaran lima besar negara paling koruptif dari seluruh negara ASEAN. 

Pada tahun sebelumnya, 2022, IPK Indonesia mengalami penurunan skor empat poin dari tahun 2021, menjadi 34, dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. Skor IPK tersebut diberikan lembaga Transparency International Indonesia (TII). IPK dihitung Transparency International Indonesia dengan skala 0-100, di mana 0 artinya paling korup, sedangkan 100 artinya paling bersih.

“Skor ini turun empat poin dari 2021, atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” ujar Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko, di Jakarta, pada Selasa, 31 Januari 2022 lalu. 

Paling kanan: Research Departement Manager TII, Wawan Heru Suyatmiko.
Paling kanan: Research Departement Manager TII, Wawan Heru Suyatmiko. (Foto: Linkedin)

Menurut Wawan saat itu, skor dan peringkat itu menunjukkan tidak adaya perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan rejim Jokowi. Asal tahu saja, pada saat itu posisi koruptif Indonesia bahkan jauh lebih buruk dibanding Botswana, Rwanda, Timor Leste, Namibia, Vanuatu, Ghana, Trinidad dan Tobago, Burkina Faso, Vietnam, Guyana, Tanzania, Suriname, Tunisia, Kosovo, Lesotho, Maladewa, Ethiopia, Gambia, Serbia, Sierra Leone.. Ah, sebutlah sekian banyak lagi nama-nama negara yang terdengar ganjil di telinga. 

Bahkan, fakta itu sempat membuat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (saat itu), seolah “keisinan”. Mahfud saat mengakui bahwa itu merupakan penurunan paling tinggi sepanjang sejarah reformasi Indonesia. Padahal, kata dia, IPK Indonesia sejak Reformasi selalu meningkat, kurang lebih 19 poin sejak Presiden Soeharto turun dari jabatannya di 1999. Mahfud menyayangkan, IPK itu kembali menurun di akhir-akhir masa kepemimpinan Jokowi. 

“Pada tahun 1999 ketika Pak Harto baru turun, Indeks Persepsi Korupsi kita itu 20. Nah itu setiap tahun naik, naik, naik terus setiap tahun, sehingga terakhir mencapai tertinggi 39. Berarti selama 22 tahun kita reformasi itu naik 19 poin,” kata Mahfud saat itu.

Mengedepankan berbaik sangka, tentu tak elok jika yang menyeruak kuat adalah sikap curiga. Misalnya, berwasangka bahwa pemerintah dalam 10 tahun ini memang sengaja membuat masa depan Indonesia tersandera, hingga menyebabkan  warga-nya pun menderita. Paling mungkin, kesalahan bukan pada bab niat, nawaitu. Melainkan ketidakmampuan mempredikasi dampak buruk ke depan, yang otomatis artinya sama dengan ketidakbecusan pada sisi manajemen. 

Hujjah di atas bukan tanpa alasan kuat. Apa lagi yang membuat pemerintahan Jokowi tanpa beban meloloskan bahkan menginisiasi UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bila bukan dua hal itu: tak bisa memprediksi dan lemah secara manajemen? Padahal, rakyat pun bukan tak menolak dan bergerak. UU 19/2019 itu sejak dari pengusulan sudah diprediksi warga akan memperlemah dan mengebiri KPK. Belakangan, fakta di realitas membenarkannya. KPK bukan lagi lembaga yang digjaya menyeret 13 menteri kabinet masuk bui, seperti pada masa-masa jayanya dulu.  

Juga pada cita-cita memberantas Nepotisme dalam pemerintahan. Kisruh sejak pencalonan yang melibatkan kisah “Hikayat Paman Usman” di Mahkamah Konstitusi (MK), hingga terpilihnya sang putra, Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden, sudah menjelaskan secara terang benderan posisi dan tempat berdiri Jokowi dalam urusan ini.   

Jokowi, dianggap tidak hanya cawecawe dalam Pilpres kemarin, melainkan juga terindikasi bermain untuk Pilkada mendatang. “Setelah secara telanjang cawe-cawe memenangkan anaknya dalam pemilihan presiden 2024, kini ia bersiap cawe-cawe dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Jokowi mengerahkan menantu, orang dekat, asisten, hingga ajudan istrinya maju dalam pemilihan gubernur, bupati, hingga wali kota,” bunyi opini yang diterbitkanTEMPO edisi 13-19 Mei. 

“Untuk memperpanjang masa berkuasa, dalam pemilihan presiden, Jokowi berupaya menunda pemilihan umum–yang belakangan gagal. Dalam pemilihan kepala daerah, ia mencoba memajukan jadwal pada September, dua bulan lebih cepat dari rencana semula. Pada September, ia masih memiliki pengaruh sebagai presiden….” 

Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi. (Foto: Antara).

Rencana itu dijalankan dengan pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat, akhir tahun lalu. Untung DPR menolak Perpu Pemilihan Kepala Daerah dan Mahkamah Konstitusi menguatkannya dengan menetapkan waktu Pilkada serentak tetap 27 November 2024.

Oh ya, karena Reformasi 1998 pun berkaitan dengan nilai tukar rupiah, tdak ada salahnya jika hal itu kita pelototi tajam-tajam. Hasilnya kita tahu, kurs dolar AS pada Minggu (19/5), tercatat Rp15.960.   Angka itu jauh di bawah prestasi Presiden BJ Habibie yang mampu menurunkan dolar AS dari Rp16.800 ke Rp7.500. Bahkan jauh lebih cemen dibanding prestasi presiden yang sering diledek relawan Jokowi, SBY. 

Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tatkala terjadi krisis finansial global pada 2007 akibat krisis subprime mortgage di AS, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 9.000-10.000. Pelemahan rupiah justru terjadi sekitar tahun 2009, membuat dolar AS berada di rentang Rp 11.800 hingga di atas Rp 12.000. Tapi itu pun masih di bawah Rp 15.000-an yang tak pernah turun-turun itu, bukan?   

Untunglah, relawan SBY bukan gerombolan yang latah bilang di medsos,”Presiden sekarang kemane aje?” [dsy/vonita betalia]