Kanal

Dia Gesang, yang Diberi Hidup

Pengantar:

Di bawah ini adalah tulisan lama, terbit pada sekitar kejayaan media cetak harian, koran. Isinya tentang orang-orang yang mendahului kita pulang ke asal, ke Tanah yang Kekal, Kampung Akhirat. Sebagaimana kelaziman eranya, terbit sehari kemudian. Tak ada niat lain kecuali mungkin bisa berguna untuk mengenang saat-saat itu, atau meneladani jejak-jejak yang telah mereka tapak. Redaksi. 

——————

Tetapi, dari senyum di wajah yang ditinggalkannya, kita berharap almarhum Gesang memang mengingatnya. Barangkali saja, dalam sekitar sepekan sakitnya, aneka rupa pengalaman masa lalu terlintas, membayang di benak. Yang melahirkan senyum pertanda kepuasan seorang hamba atas amanat kehidupan yang tunai tuntas. Senyum bangga akan pemenuhan janji, “Akan kutinggalkan warisan abadi.”

“Sekali ku hidup, sekali ku mati,

Aku dibesarkan di Bumi Pertiwi,

Akan kutinggalkan warisan abadi,

Semasa hidupku sebelum aku mati.” [“Sebelum Aku Mati”, ciptaan Gesang]

Kita tak pernah tahu, adakah Gesang sempat mengingat bait-bait lirik lagu ciptaannya itu sebelum Malaikat Maut datang menjemput. Lembut, bersama kian terbatasnya udara memasuki rongga dada. Ketiadaan hawa yang kemarin, Kamis [20/5/2010]  petang kemudian merenggut nyawa.

“Almarhum berpulang karena infeksi pernapasan. Itu membuat pasokan oksigen ke jantung dan paru-paru sangat berkurang,” kata Suryo Aribowo, salah seorang dokter yang menangani sakitnya.

Tetapi, dari senyum di wajah yang ditinggalkannya, kita berharap almarhum Gesang memang mengingatnya. Barangkali saja, dalam sekitar sepekan sakitnya, aneka rupa pengalaman masa lalu terlintas, membayang di benak. Yang melahirkan senyum pertanda kepuasan seorang hamba atas amanat kehidupan yang tunai tuntas. Senyum bangga akan pemenuhan janji, “Akan kutinggalkan warisan abadi.”

Barangkali, senyum itu pun merupakan ungkapan terima kasih atas kesempatan kedua yang diberikan Illahi. Kita tahu, di masa kanak-kanak ia bernama Sutadi. Ringkih, sakit-sakitan, dan sempat hampir mati. Hingga kemudian kedua orang tuanya, mendiang Martodihardjo dan Sumidah, sepakat mengganti namanya. Gesang Martohartono. Gesang, kita tahu, dalam bahasa Jawa halus berarti kehidupan. Dan, karena pemberian nama merupakan doa, al ismu ad-du’a, kehendak yang dipanjatkan kedua orang tua yang penuh kasih itu pun dijawab-Nya kemarin. Gesang berpulang setelah 93 tahun mengemban amanat kehidupan.

Bahkan, bukankah jawaban Tuhan itu lebih dari yang mereka harapkan? Kanak-kanak Sutadi itu tak hanya mengenyam hidup nyaris seabad lamanya. Gesang, sebagaimana namanya, barangkali bisa terhayatkan lebih lama lagi. Lama, sepanjang orang masih mendengar alunan “Bengawan Solo”, “Jembatan Merah”, dan 42 tembang lain ciptaannya. Sejauh lidah murid-murid dan para pelajar masih mengucapkan namanya dari bacaan mereka di buku-buku.

Sepanjang apa? Kita tak tahu. Karena kalaupun di negeri ini “Bengawan Solo” kian jarang didendangkan, lagu yang telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa itu mungkin masih mengalun di sana. Mungkin di sebuah dusun di Sapporo, Jepang, atau kemah-kemah para nomaden Mongol. Atau, bahkan di kota tua penuh cerita, seperti Amsterdam.

Bila kita percaya hikayat, bahwa kilasan kehidupan seseorang datang menjelang kepergian abadinya, mungkin senyum Gesang itu terlontar untuk menertawakan romantisme masa mudanya. Barangkali senyum itu datang saat Gesang teringat akan selembar sapu tangan. Sehelai selampai pemberian kekasih yang sampai memaksanya menciptakan lagu, “Sapu Tangan”. Sebuah harian mencatat pengakuan mendiang bahwa sapu tangan itu tetap disimpannya hingga wawancara kurang dari lima tahun lalu itu tergelar. Lihatlah, betapa Gesang sangat menghargai momen-momen perjumpaan. Menghargai setiap detik kehidupan. “Sekali ku hidup, sekali ku mati“.

Gesang adalah cermin kesederhanaan. Kesederhanaan itu pun terlihat dari gayanya mencipta. Dengan pendidikan yang hanya kelas lima sekolah Ongko Loro, Gesang jangan terlalu diharap bisa menulis dengan notasi balok. Ia juga tak menguasai teori bermusik.

“Kalau mencipta, saya haya mengira-ngira dalam pikiran. Hanya liriknya yang saya tulis,” kata mendiang saat masih bisa berbicara lancar. Dari sana, baru dimintanya teman-teman satu grup, Orkes Keroncong Kembang Kacang, memainkan melodinya dengan alat musik. “Biasanya, dengan begitu semua lancar.”

Kita tahu, hingga masa tuanya, kesederhanaan itu tak pernah lekang. Setelah lama tinggal di rumah warisan kedua orang tuanya, bahkan saat berkeluarga dan akhirnya bercerai pada 1962 lalu, baru pada 1984 Gesang memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah mungil di Kompleks Perumnas Palur, Solo, pemberian wali kota Surakarta saat itu. Rumah itu ditinggalinya hingga 2004, sampai usia tua membuatnya harus tinggal bersama keponakannya di Jl Bedoyo 5, Kemlayan, Solo.

Usia tua juga yang memaksanya berhenti dari hobinya yang bersahaja dan khas seorang Jawa, memelihara burung perkutut. “Karena saya tak mampu lagi menaik-turunkan sangkarnya,” kata mendiang kepada sebuah harian, tahun lalu. Setelah itu, seperti diakuinya tanpa penyesalan, tak banyak kegiatan yang bisa ia lakukan. “Ah, saya sudah mantan. Pensiunan. Ya hanya begini seharian,” kata almarhum, Oktober tahun lalu. Perkataan yang meluncur tenang, tanpa gurat sesal itu dikatakannya sambil duduk di sebuah kursi di muka rumah. Berkaus, sarungan dengan kaki terbalut kaus kaki panjang.

Tetapi, tak ada yang bisa menafikan bahwa dalam dada pria tua yang terus merapuh itu tersimpan segunung asa yang panas membara. Tahun lalu pula, saat sekelompok orang yang peduli akan dirinya dan musik keroncong datang memintanya untuk mendukung gerakan Tembang Gesang atau Tembang Kehidupan, mendiang Gesang mengiyakan. Ia hanya menolak saat diminta menciptakan lagu untuk kampanye tersebut.

“Bukan lagi bagian saya,” katanya saat itu.”Biarlah yang lebih muda, yang lebih progresif yang melakukannya.” Mendiang, saat itu menyebut sebuah nama dengan tegas: Iwan Fals. Hari ini, jasad kasar lelaki tua itu akan dikebumikan di Pemakaman Radimaloyo, Solo. Hanya jasadnya, tentu. Selain rohnya yang telah dipapah malaikat sejak kemarin petang, semangatnya, seharusnya tak pernah hilang. [Dimuat 21 Mei 2010]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button