“Jika Anda menonton film ini, saya punya satu pesan sederhana. Tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk Anda melakukan penghukuman.”
Demikian kalimat pembuka yang diucapkan oleh pakar hukum tata negara Dr. Zainal Arifin Mochtar dalam film dokumenter berjudul Dirty Vote. Penghukuman yang dimaksud Zainal tentu saja adalah pencoblosan yang akan dihelat pada 14 Februari mendatang.
Selanjutnya, Zainal, bersama dua pakar hukum tata negara lain, yakni Bivitri Susanti dan Feri Amsari, secara gamblang mengungkap kecurangan Pemilu 2024 dalam film berdurasi 1 jam, 57 menit, dan 21 detik ini.
Film tersebut bisa diakses lewat channel YouTube Dirty Vote sejak hari pertama masa tenang Pemilu, yakni Minggu, 11 Februari 2024, pukul 11.11 WIB.
Dalam film tersebut, ketiga pakar hukum tata negara itu menjelaskan penggunaan kekuasaan dikerahkan untuk mempertahankan status quo. Adapun penjelasan dimaksud berpijak pada sejumlah fakta dan data.
Bivitri mengatakan, secara sederhana Dirty Vote merupakan sebuah rekaman sejarah perihal rusaknya demokrasi di Indonesia.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi,” kata perempuan yang juga salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.
“Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” sambungnya.
Bivitri mengingatkan sikap publik saat ini menjadi sangat penting untuk merespons praktik lancung dalam pelaksanaan pemilu. Ia berharap publik dapat bersuara lantang dan bertindak supaya cita-cita negara dapat terus hidup dan bertumbuh.
Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari. Menurut aktivis yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, esensi pemilu adalah rasa cinta Tanah Air. Membiarkan kecurangan pemilu, terang dia, sama saja dengan merusak Bangsa Indonesia.
“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” tutur Feri.
Film dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya dengan mengambil momentum Pemilu.
Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film Ketujuh. Saat itu, Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru.
Pada 2017, menjelang Pilkada DKI Jakarta, Dandhy menyutradarai Jakarta Unfair.
Dua tahun kemudian, Dandhy menyutradarai Sexy Killers, film dokumenter yang cerita tentang jaringan oligarki pada kedua capres-cawapres ketika itu, Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Film itu ditonton lebih dari 20 juta pada masa tenang Pemilu 2019.
Menurut Dandhy, Dirty Vote merupakan tontonan reflektif di masa tenang pemilu. Dia berharap film tersebut akan mengedukasi publik.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tapi, hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) sekaligus produser film ini, Joni Aswira, mengatakan bahwa Dirty Vote sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksi dihimpun melalui crowdfunding, sumbangan individu, dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu, Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan, lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.
Sebanyak 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film Dirty Vote. Mereka adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Dalam penutup film ini, Feri Amsari mengatakan bahwa sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif untuk mengakali Pemilu ini sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain.
“Mereka adalah kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama,” kata Feri.
Sedangkan Zainal menyinggung pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan.
“Persaingan politik dan perebutan kekuasaan, desain kecurangan yang sudah disusun bareng-bareng ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran,” tuturnya.
Bagi Bivitri, kecurangan Pemilu yang diungkap dalam film ini sebenarnya bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Menurut dia, skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah.
“Karena itu untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua mental: culas dan tahan malu,” ujar Bivitri.
Leave a Reply
Lihat Komentar